Pakar Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si berpendapat jika kasus ditendang dan dibuangnya sesajen di kawasan Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur yang menyeret pria asal Lombok Timur berinisial HF bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. 

Prof. Bagong mengatakan, HF tidak perlu dilaporkan ke kepolisian, karena bangsa Indonesia perlu belajar memaafkan dan memahami orang yang tidak mengerti.

"Menurut saya memang, tidak perlu memperpanjang masalah ini sampai ke ranah hukum. Kita bisa menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan dan yang terpenting ketika pelaku sudah meminta maaf maka ya selesai permasalahannya," ujar dosen di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut. 

"Karena menurut informasi yang saya dapat juga, pelaku tidak berasal dari wilayah Lumajang sehingga mungkin tidak mengetahui adat-istiadat setempat," tutur Prof. Bagong menambahkan. 

Meskipun menganggap bahwa peristiwa yang menyangkut HF bisa diselesaikan secara kekeluargaan, namun Dekan FISIP Unair tersebut tetap tidak menyetujui tindakan itu. 

Menurutnya, Indonesia adalah bangsa multikulturalisme sehingga setiap orang perlu menghargai perbedaan.

"HF kan orang luar daerah yang datang ke komunitas lokal (masyarakat Lumajang). Maka dia harus berempati dan belajar memahami perbedaan," ujar Prof. Bagong.

Sambungnya, HF tidak bisa hanya membenarkan tindakannya sendiri dan menganggap yang lain adalah salah. "Karena nanti akan ada kelompok-kelompok lain yang tersinggung," tuturnya. 

Lebih lanjut, Prof. Bagong menuturkan bahwa hal ini bisa menjadi pelajaran bersama. "Supaya kita mau mengenal dan memahami ritual dari agama dan kepercayaan lain. Itu penting sebagai bekal hidup di negara yang penuh perbedaan ini," katanya. 

Prof. Bagong mengatakan, bahwa masyarakat boleh saja mempercayai dan mengimani suatu keyakinan. Akan tetapi kemudian, mereka tidak perlu menyalahkan atau merendahkan yang lainnya. Cukup dirasakan sendiri tanpa menyinggung keyakinan lain.

Melalui sikap yang demikian itu, maka ke depannya diharapkan tidak akan terulang kejadian serupa. Hal itu karena tidak ada anggapan salah terhadap kelompok atau keyakinan lain. 

Selebihnya yang ada yakni penghormatan dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada. 

"Jadi masyarakat harus betul-betul memahami bahwa kita hidup di lingkungan yang beraneka ragam. Sehingga ketika hendak menilai suatu kelompok lain yang berbeda, janganlah memakai ukuran kita sendiri," katanya. 

"Kita harus berempati dan bertoleransi dan kuncinya adalah memahami dan menerima segala bentuk perbedaan," ucap dosen yang dinobatkan sebagai peneliti terbaik Unair versi Google Scholar tersebut. (*) 

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022