Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. Windhu Purnomo menilai jumlah pasien COVID-19 yang masih rawat inap di rumah sakit seharusnya tidak menjadi penghalang Kota Surabaya terlambat masuk level 1. 

"Sebab, pasien-pasien ini merupakan kiriman dari daerah-daerah lain," kata Dr. Windhu di Surabaya, Jumat.

Berdasarkan asesmen situasi COVID-19 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per tanggal 14 September 2021 menyebut Kota Surabaya, Jatim, diketahui baru masuk level 1, sementara Kabupaten Gresik dan Sidoarjo yang masuk aglomerasi Surabaya Raya sudah lebih dahulu masuk level 1. 

Bahkan, ia juga memastikan bahwa pasien COVID-19 yang dirawat di RS di Kota Surabaya jumlahnya melebihi jumlah pasien terkonfirmasi positif. Dalam sepekan, selisih yang terjadi mencapai 462 kasus. 

Selisih jumlah pasien di RS dan jumlah kasus aktif ini cukup aneh dan menjadi anomali data untuk Kota Surabaya. Anomali ini kemudian membuat level asesmen Surabaya tak kunjung turun. 

"Pelaporan di Kemkes ini masih pakai dasar di RS. Tapi gak dipilah. Pokoknya yang dilaporkan sekian di Kota Surabaya, padahal gak dipilah," katanya.
 
Selama ini, lebih lanjut, jumlah pasien di RS ini menjadi salah satu indikator penentuan asesmen level oleh Kemenkes. Namun, pasien yang dimaksud di RS tidak memandang daerah asal pasien. Padahal, pasien yang dirawat di Kota Surabaya kebanyakan merupakan kiriman dari luar daerah. 

Apalagi, lanjut dia, beberapa RS di Surabaya menjadi rujukan utama di wilayah Indonesia Timur. "Di kota-kota besar lain juga kasus rawat inapnya lebih besar dari kasus konfirmasinya karena jadi rujukan daerah-daerah lain," ujarnya.
 
Oleh karena itu, Windhu berpesan kepada Kemenkes RI agar memperbaharui peraturan mengenai batas pasien RS tersebut. Seharusnya, asesmen dilakukan berdasarkan jumlah pasien yang berasal dari daerah yang bersangkutan. 

"Kalau seperti ini terus banyak daerah itu tidak bisa mencapai level yang lebih rendah karena ada ketidaktepatan," katanya.

Mengenai status Surabaya yang baru saja masuk level 1, Windhu mengatakan, sudah pantas karena kalau dilihat dari kapasitas responsnya dan transmisi komunitasnya sudah memenuhi semuanya dan di bawah standart atau level 1 semuanya.
 
"Asesmen ini yang terbaik yang kita punya sekarang, karena sesuai dengan acuan WHO. Berbeda dengan dulu ketika masih pakai warna-warni, itu lebih tidak fair. Kalau yang sekarang ini sudah bagus," kata Dr. Windhu.
 
Ia juga merinci capaian Surabaya dilihat dari transmisi komunitas dan kapasitas respons. Khusus untuk transmisi komunitas ada tiga indikator, yaitu kasus konfirmasi sudah bagus dengan nilai 8,81 per 100 ribu penduduk, angka ini sudah di bawah standart Kemenkes 20 per 100 ribu penduduk.

Kemudian untuk rawat inapnya 3,43 per 100 ribu penduduk, angka ini sudah di bawah standart Kemenkes 5 per 100 ribu penduduk. Lalu untuk angka kematiannya, Surabaya sudah 0,65 dan standartnya Kemenkes tidak boleh lebih dari 1. 

"Berarti oke semua kalau dilihat dari sini," kata dia.
 
Selanjutnya, khusus untuk kapasitas responsnya juga ada tiga indikator, yaitu untuk positivity ratenya sudah 0,41 persen dan jauh di bawah 5 persen sesuai standart Kemenkes. Lalu untuk tracingnya sekarang di Surabaya sudah 1:20,71 dan standartnya Kemenkes 1:14. Kemudian untuk BOR-nya sekarang 14,45 persen dan sudah jauh dari standart Kemenkes 40 persen. 
    
Berdasarkan data terbaru dari Dinkes Surabaya, vaksinasi dosis pertama di Kota Surabaya sudah mencapai 101,32 persen dan khusus lansianya sudah mencapai 90,10 persen. Padahal, dari level 2 ke level 1 itu standart vaksinasi dosis pertamanya 70 persen dan untuk lansianya 60 persen. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021