Pimpinan Wilayah (PW) Aisyiyah Jatim atau organisasi perempuan Muhammadiyah mengajak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui diskusi virtual, Sabtu untuk memberikan pemahaman kepada perempuan terkait pinjaman daring (fintech lending), agar tidak mudah tertipu.
"Perempuan paling banyak menjadi korban dari praktik fintech lending. Minimnya pengetahuan menjadi sebab perempuan banyak terjebak pada fintech illegal. Fakta itu memprihatinkan dan perlu upaya melakukan literasi finansial pada anggota kami, juga pada perempuan Indonesia lainnya," kata Ketua PW Aisyiyah Jawa Timur, Candra Dalilah.
Candra dalam diskusi daring bertema “Bijak Sikapi Pinjaman Online” itu mengakui, popularitas pinjaman daring cukup menanjak, terutama di masa pandemi.
Menurut data OJK per Mei 2021 dana yang dikucurkan fintech lending mencapai Rp21, 75 triliun, atau naik hampir 70 persen dibanding tahun lalu.
"Kemudahan syarat pemberian kredit yang ditawarkan aplikasi pemberi pinjaman, membuat masyarakat banyak tergiur memanfaatkan tawaran tersebut," katanya.
Oleh karena itu, kata Candra, sebagai organisasi perempuan terbesar di Indonesia, Aisyiyah merasa harus ambil bagian untuk mengedukasi anggotanya.
Sementara itu, kegiatan dilaksanakan via daring, hadir dua narasumber, yaitu Rifnal Alfani, Kepala Sub Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur, dan narasumber kedua Imron Mawardi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.
Kepala Sub Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur, Rifnal Alfani mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dengan praktik shadow banking dan ponzi scheme,
"Shadow banking ini menuntut konsumen atau masyarakat agar lebih jeli lagi menganalisa penawaran yang ada," katanya.
Rifnal mengatakan, shadow banking dan ponzi scheme, bukan produk perbankan, meskipun menggiring persepsi masyarakat seolah-olah sebagai produk bank. "Ini yang bahaya, dan saya harap masyarakat tidak mudah terbujuk dengan iming-iming yang ada," katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Imron Mawardi mengatakan fintech dalam Islam diperkenan selama memenuhi ketentuan-ketentuan Syariah yang tercantum pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Prinsip utamanya, tidak ada pihak yang terdzalimi.
"Kedua narasumber juga menekankan mengingatkan pentingnya mengetahui legalitas fintech atau aplikasi pinjaman online, apakah sudah terdaftar pada otoritas jasa keuangan atau tidak. Sebab, praktik fintech illegal pada akhirnya akan membawa kerugian pada konsumen," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Perempuan paling banyak menjadi korban dari praktik fintech lending. Minimnya pengetahuan menjadi sebab perempuan banyak terjebak pada fintech illegal. Fakta itu memprihatinkan dan perlu upaya melakukan literasi finansial pada anggota kami, juga pada perempuan Indonesia lainnya," kata Ketua PW Aisyiyah Jawa Timur, Candra Dalilah.
Candra dalam diskusi daring bertema “Bijak Sikapi Pinjaman Online” itu mengakui, popularitas pinjaman daring cukup menanjak, terutama di masa pandemi.
Menurut data OJK per Mei 2021 dana yang dikucurkan fintech lending mencapai Rp21, 75 triliun, atau naik hampir 70 persen dibanding tahun lalu.
"Kemudahan syarat pemberian kredit yang ditawarkan aplikasi pemberi pinjaman, membuat masyarakat banyak tergiur memanfaatkan tawaran tersebut," katanya.
Oleh karena itu, kata Candra, sebagai organisasi perempuan terbesar di Indonesia, Aisyiyah merasa harus ambil bagian untuk mengedukasi anggotanya.
Sementara itu, kegiatan dilaksanakan via daring, hadir dua narasumber, yaitu Rifnal Alfani, Kepala Sub Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur, dan narasumber kedua Imron Mawardi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.
Kepala Sub Bagian Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur, Rifnal Alfani mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dengan praktik shadow banking dan ponzi scheme,
"Shadow banking ini menuntut konsumen atau masyarakat agar lebih jeli lagi menganalisa penawaran yang ada," katanya.
Rifnal mengatakan, shadow banking dan ponzi scheme, bukan produk perbankan, meskipun menggiring persepsi masyarakat seolah-olah sebagai produk bank. "Ini yang bahaya, dan saya harap masyarakat tidak mudah terbujuk dengan iming-iming yang ada," katanya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Imron Mawardi mengatakan fintech dalam Islam diperkenan selama memenuhi ketentuan-ketentuan Syariah yang tercantum pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Prinsip utamanya, tidak ada pihak yang terdzalimi.
"Kedua narasumber juga menekankan mengingatkan pentingnya mengetahui legalitas fintech atau aplikasi pinjaman online, apakah sudah terdaftar pada otoritas jasa keuangan atau tidak. Sebab, praktik fintech illegal pada akhirnya akan membawa kerugian pada konsumen," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021