Pakar Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D menilai edukasi protokol kesehatan antara warga Surabaya dan Bangkalan, Madura, selama penyekatan Suramadu, metodenya harus berbeda.

"Tentu edukasi yang dilakukan kepada warga Surabaya dan Bangkalan metodenya berbeda. Ada budaya-budaya yang harus dipahami," kata Pandu Riono melalui pers rilis Humas Pemkot Surabaya di Surabaya, Jumat.

Untuk itu, lanjut dia, dalam hal ini perlu ada keterlibatan tokoh masyarakat serta tokoh agama sekitar. Hal ini karena edukasi tanpa keterlibatan masyarakat, maka edukasinya tidak sampai. 

"Ini kita khawatir dianggap malah menghambat, memburuk-burukkan suatu kota atau kabupaten. Karena itulah kita harus mengajak masyarakat untuk edukasi yang sama bukan hanya pemerintah saja," ujarnya.

Pandu Riono berpendapat bahwa tujuan dari penyekatan di akses Suramadu adalah untuk membatasi mobilitas penduduk serta meningkatkan testing, tracing dan treatment.

Lebih mudahnya adalah untuk memutus mata rantai penularan dan penyebaran COVID-19. Apalagi, baru ini ditemukan kasus mutasi varian baru dari hasil penyekatan.
 
"Dengan adanya virus baru ini, lebih bermutasi dan lebih menular, maka baik dari Bangkalan maupun Kota Surabaya benar-benar harus menjaga penduduknya agar tidak berimbas lebih banyak," kata Prof. Pandu.

Oleh sebab itu, Prof. Pandu juga mendorong semua pihak agar bisa melakukan langkah preventif supaya virus ini tidak lebih meluas. Salah satu caranya adalah dengan memasifkan upaya testing, tracing dan treatment.

Makanya, perlu adanya kerja sama yang baik antara Pemkot Surabaya dan Pemkab Bangkalan.

"Itu harus kerja sama antara Pemkot Surabaya dan Bangkalan. Karena tujuannya sama, ingin saling menjaga dan saling melindungi agar perluasan virus ini tidak menyebar ke penduduk yang belum terkena," katanya.

Sedangkan mengenai diterapkannya kebijakan screening dan tes COVID-19 berupa tes cepat antigen dan tes usap di kedua arah Jembatan Suramadu, Prof. Pandu pun menyatakan sepakat. Ia menilai bahwa kebijakan ini sebagai upaya melindungi penduduk, baik yang akan menuju Surabaya maupun Bangkalan, Madura.

Selain itu, Prof. Pandu juga menyarankan agar kebijakan tes COVID-19 di kedua sisi akses Suramadu diberlakukan hingga angka positivity rate atau tingkat penularan COVID-19 rendah.

Ia mencontohkan jika positivity rate telah mencapai di bawah 5 persen atau posisi 1 persen, maka intensitas tes usap di penyekatan bisa dikurangi atau tidak dilakukan dalam tiap hari.

"Pengurangannya itu bisa tidak setiap hari. Jadi, mengurangi kegiatan testing. Jadi, kalau tiap hari mau bolak-balik ke Madura itu setiap 3 hari sekali testing. Karena testingnya kan antigen, jadi kalau sudah negatif tidak perlu testing lagi baik yang dari Madura atau Surabaya," katanya.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi sebelumnya mengatakan bahwa Surabaya dan Bangkalan itu ibarat keluarga yang tidak bisa dipisahkan. Karenanya untuk memutus mata rantai COVID-19 ini dibutuhkan kebersamaan. 

"Makanya, sebagai saudara kita harus saling melengkapi dan membantu," ujarnya.

Oleh sebab itu, Wali Kota Eri bersama Bupati Bangkalan sepakat untuk menerapkan tes usap di kedua sisi Jembatan Suramadu. Kebijakan ini dilakukan tak lain semata-mata untuk melindungi warga, baik yang akan ke Bangkalan, Madura, maupun ke Kota Surabaya.

"Yang pasti, warga yang akan masuk ke Madura, harus saya pastikan sehat dengan dilakukan tes di Suramadu sisi Surabaya. Jadi, ini satu keluarga besar yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021