Industri makan minum di Jawa Timur akan terus menderita apabila Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 03 Tahun 2021 tidak segera direvisi karena sampai saat ini industri makanan dan minuman (mamin) masih terbelit persoalan pasokan bahan baku gula rafinasi dengan harga tinggi setelah dipaksa mengambil dari luar provinsi.
”Beberapa perusahaan mamin bahkan sudah menutup operasi karena biaya operasionalnya melonjak tinggi,” kata pengamat strategi bisnis perusahaan yang juga Direktur Quadrant Consulting Ronny Mustamu dalam keterangan tertulis di Surabaya, Minggu.
Menurut ia, Permenperin 03/2021 akan berdampak terhadap kontraksi ekonomi di Jatim, mengingat lebih dari 37 persen ekonomi provinsi ini bergantung pada industri mamin.
Selain itu, aturan pembatasan impor gula rafinasi itu juga memperburuk kondisi masyarakat di tengah pandemi karena ada sejumlah karyawan, distributor, reseller, dan mata rantai ekonomi yang bergantung dari industri mamin ini.
Di lain pihak, lanjut Ronny, berbekal izin usaha yang dikeluarkan pemerintah, pabrik gula yang ada di Jatim berani mengeluarkan investasi untuk sekaligus menyerap tebu dari petani dan memasok gula rafinasi dengan harga yang kompetitif kepada industri mamin.
Di saat industri mamin dan pabrik gula tersebut telah menjalin kerja sama berkesinambungan dengan melakukan investasi agar dapat menyerap gula rafinasi dengan lebih efisien, kondisi yang kondusif tersebut justru dimatikan oleh Permenperin 03/2021 tersebut.
”Tidak ada hal positif yang bisa dilihat dari Permenperin 03/2021 tersebut. Pemerintah telah menabrak tanggung jawabnya untuk menghadirkan kepastian berusaha dan iklim usaha yang kompetitif dan berkesinambungan. Investasi yang sudah digelontorkan industri mamin dan pabrik gula terancam sia-sia. Padahal, izin usaha dari pabrik gula di Jawa Timur dan industri mamin ini juga dikeluarkan pemerintah,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Guniwang dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI menyatakan bahwa penyusunan Permenperin 03/2021 telah melalui harmonisasi dengan berbagai pihak dan menegaskan tidak ada masalah dengan aturan tersebut, termasuk tidak ada petani dan IKM yang dirugikan.
Ronny menegaskan pemerintah harus menjelaskan tindakan pemusatan impor gula hanya pada satu asosiasi yang berkaitan erat dengan batas waktu 25 Mei 2010 seperti yang diatur dalam Permenperin tersebut.
Hal tersebut merupakan penyebab utama dampak negatif yang ditimbulkan oleh Permenperin tersebut bagi industri mamin Jawa Timur, pabrik gula, dan tujuan swasembada gula.
Hadirnya Permenperin 03/2021 tersebut, lanjut Ronny, telah mengakibatkan industri mamin Jawa Timur menanggung biaya operasional yang tinggi. Kenaikan biaya operasional dari Rp80 per kg menjadi Rp300 – Rp400 per kg menyebabkan daya saing industri mamin tidak kompetitif.
“Hal ini terjadi karena industri mamin harus mendatangkan pasokan bahan baku gula rafinasi dari luar Jawa Timur. Karena kenaikan biaya produksi tersebut, industri mamin di Jawa Timur terpaksa menutup operasi,” katanya.
Ia menimpali, “Permenperin ini menabrak banyak aturan dan hukum lain yang lebih tinggi dan menimbulkan diskriminasi yang merugikan pelaku usaha. Sebaiknya Kementerian Perindustrian mempertimbangkan untuk merevisi aturan ini. Belum terlambat kendati kuota impor gula sudah berjalan”.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
”Beberapa perusahaan mamin bahkan sudah menutup operasi karena biaya operasionalnya melonjak tinggi,” kata pengamat strategi bisnis perusahaan yang juga Direktur Quadrant Consulting Ronny Mustamu dalam keterangan tertulis di Surabaya, Minggu.
Menurut ia, Permenperin 03/2021 akan berdampak terhadap kontraksi ekonomi di Jatim, mengingat lebih dari 37 persen ekonomi provinsi ini bergantung pada industri mamin.
Selain itu, aturan pembatasan impor gula rafinasi itu juga memperburuk kondisi masyarakat di tengah pandemi karena ada sejumlah karyawan, distributor, reseller, dan mata rantai ekonomi yang bergantung dari industri mamin ini.
Di lain pihak, lanjut Ronny, berbekal izin usaha yang dikeluarkan pemerintah, pabrik gula yang ada di Jatim berani mengeluarkan investasi untuk sekaligus menyerap tebu dari petani dan memasok gula rafinasi dengan harga yang kompetitif kepada industri mamin.
Di saat industri mamin dan pabrik gula tersebut telah menjalin kerja sama berkesinambungan dengan melakukan investasi agar dapat menyerap gula rafinasi dengan lebih efisien, kondisi yang kondusif tersebut justru dimatikan oleh Permenperin 03/2021 tersebut.
”Tidak ada hal positif yang bisa dilihat dari Permenperin 03/2021 tersebut. Pemerintah telah menabrak tanggung jawabnya untuk menghadirkan kepastian berusaha dan iklim usaha yang kompetitif dan berkesinambungan. Investasi yang sudah digelontorkan industri mamin dan pabrik gula terancam sia-sia. Padahal, izin usaha dari pabrik gula di Jawa Timur dan industri mamin ini juga dikeluarkan pemerintah,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Guniwang dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI menyatakan bahwa penyusunan Permenperin 03/2021 telah melalui harmonisasi dengan berbagai pihak dan menegaskan tidak ada masalah dengan aturan tersebut, termasuk tidak ada petani dan IKM yang dirugikan.
Ronny menegaskan pemerintah harus menjelaskan tindakan pemusatan impor gula hanya pada satu asosiasi yang berkaitan erat dengan batas waktu 25 Mei 2010 seperti yang diatur dalam Permenperin tersebut.
Hal tersebut merupakan penyebab utama dampak negatif yang ditimbulkan oleh Permenperin tersebut bagi industri mamin Jawa Timur, pabrik gula, dan tujuan swasembada gula.
Hadirnya Permenperin 03/2021 tersebut, lanjut Ronny, telah mengakibatkan industri mamin Jawa Timur menanggung biaya operasional yang tinggi. Kenaikan biaya operasional dari Rp80 per kg menjadi Rp300 – Rp400 per kg menyebabkan daya saing industri mamin tidak kompetitif.
“Hal ini terjadi karena industri mamin harus mendatangkan pasokan bahan baku gula rafinasi dari luar Jawa Timur. Karena kenaikan biaya produksi tersebut, industri mamin di Jawa Timur terpaksa menutup operasi,” katanya.
Ia menimpali, “Permenperin ini menabrak banyak aturan dan hukum lain yang lebih tinggi dan menimbulkan diskriminasi yang merugikan pelaku usaha. Sebaiknya Kementerian Perindustrian mempertimbangkan untuk merevisi aturan ini. Belum terlambat kendati kuota impor gula sudah berjalan”.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021