Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan isu rencana belanja alat sistem utama pertahanan (alutsista) oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) senilai Rp1,760 triliun masih tergolong kecil.
"Kalau menghitung 25 tahun, itu sebenarnya kecil," kata Khairul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Pernyataan itu disampaikan Khairul menanggapi beredarnya draf Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan dan TNI. Dalam draf tersebut, terdapat jumlah biaya rencana kebutuhan (renbut) yang mencapai angka 124,9 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp1,760 triliun.
Dia mengatakan, meski tergolong kecil untuk kebutuhan 25 tahun ke depan, pemerintah perlu cermat dalam mencari pendanaan sebab rencananya hal itu akan dipenuhi dari pinjaman luar negeri.
"Bagaimana dari skema pinjaman suku bunga serendah mungkin dan tenornya sepanjang mungkin. Artinya, suku bunga di bawah 2 persen atau bahkan 2 persen, dengan dengan tenor panjang 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," jelas Khairul.
Khairul melihat rencana belanja jangka panjang seperti yang tengah disusun oleh Kemenhan dibutuhkan. Sebab, selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista.
Sementara, dalam Ranperpres yang diwacanakan ini, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista secara maksimal dengan pengadaan yang ditarik ke depan.
Permasalahan utama yang ada selama ini, menurut dia, adalah adanya pelambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019, padahal Indonesia memiliki Minimum Essential Force (MEF) sejak 2007.
Khairul menjelaskan beberapa rencana pembelian yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini, misalnya wacana pembelian Sukhoi SU-35. Kemudian, penambahan kapal selam baru, apakah Indonesia melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kesempatan kerja sama dengan negara-negara lain.
"Sehingga target yang mestinya dicapai pada akhir renstra II pada 2019 itu tidak tercapai. Dari yang tidak tercapai itu, kalau kita lihat porsinya, ada kesenjangan antara yang sudah dicapai oleh TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. TNI AD mendekati hampir 80 persen, sementara TNI AU sendiri belum sampai 50 persen. Artinya, tidak berimbang. Ini yang kemudian dibenahi melalui masterplan yang sedang disusun melalui rancangan perpres ini, menyiapkan rancangan kebutuhan, roadmap, business plan-nya," jelas Khairul.
Namun demikian, ia berharap perpres tersebut nantinya memuat lampiran berupa rencana kebutuhan.
Jika kembali ke-25 tahun ke belakang, ungkapnya, masih banyak pengadaan alutsista yang belum terpenuhi. Di era Orde Baru, misalnya, Indonesia memiliki puluhan kapal bekas baru (rekondisi) yang akhirnya kemudian banyak diparkir.
Menurut dia, kondisi alutsista sedikit berubah memasuki era reformasi, terutama di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Di era SBY, saya kira, banyak, ya, pengadaan-pengadaan baru dan sebagai besar alutsista yang datang hari-hari ini, dari 2015 sampai sekarang. Sebagian besar kontraknya dilakukan pada masa SBY, ya, karena memang belanja alutsista ini, kan, bukan barang yang pesan sekarang, besok datang," urainya.
Karena itu, Khairul mengatakan, penyusunan rencana kebutuhan alutsista haruslah visioner. "Menjawab tantangan masa depan. Ya memang kesannya jadi abstrak karena yang kita gunakan sebagai acuan, kan, potensi-potensi ancaman, tetapi, ya kalau kita bicara keamanan, bicara pertahanan, selalu kemungkinan terburuk yang paling diantisipasi," jelas Khairul.
Mengenai skema perencanaan, bagi Khairul tidak ada masalah mau bottom up atau top down. Begitu pula tentang pelibatan asrena-asrena, tak perlu didebatkan. Khairul lebih menekankan pada bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kemenhan, untuk menguatkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
"Itu amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012. KKIP ini wadah untuk merumuskan kebijakan, merencanakan kebutuhan. Itu ada diatur dalam undang-undang," jelasnya.
Menyoal munculnya rumor mafia alutsista, Khairul berpendapat, perlu ditekankan adalah bagaimana mengatur peran pihak ketiga dalam belanja alutsista. Tujuannya, menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
"Kita juga perlu menyusun indikator industri pertahanan. Kita perlu tahu kondisi alutsista sekarang seperti apa, kesenjangan dengan kebutuhan itu seperti apa, terus bagaimana skenario industri pertahanan dalam negeri menjawab kebutuhan masa depan, terus bagaimana jika industri dalam negeri belum memenuhi, belanja impor yang paling menguntungkan itu seperti apa," tandas Khairul.
Hal senada diungkapkan pengamat militer Universitas Bina Nusantara, Curie Maharani. Menurutnya, angka Rp1.760 triliun untuk belanja alutsista masih normal bahkan cenderung konservatif.
"Sepengetahuan saya, anggaran modernisasi alutsista pada MEF III itu Rp186.623,3 milar (lampiran RPJMN) yang berarti sekitar 2,7 miliar dolar amerika per tahun, sedangkan rerata anggaran modernisasi autsista yang dialokasikan untuk 2020-2044 berkisar Rp3 triliun per tahun. Ada selisih sedikit di mana kita harus memperhitungkan defisit dan kenaikan harga alutsista," kata Curie.
Menurut Curie, isu yang bisa dilihat dalam rancangan perpres adalah implementasi modernisasi yang tidak sesuai target (behind schedule). Salah satu penyebabnya adalah perubahan atau kaji ulang MEF, yang mengalami penyesuaian beberapa kali. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Kalau menghitung 25 tahun, itu sebenarnya kecil," kata Khairul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Pernyataan itu disampaikan Khairul menanggapi beredarnya draf Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan dan TNI. Dalam draf tersebut, terdapat jumlah biaya rencana kebutuhan (renbut) yang mencapai angka 124,9 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp1,760 triliun.
Dia mengatakan, meski tergolong kecil untuk kebutuhan 25 tahun ke depan, pemerintah perlu cermat dalam mencari pendanaan sebab rencananya hal itu akan dipenuhi dari pinjaman luar negeri.
"Bagaimana dari skema pinjaman suku bunga serendah mungkin dan tenornya sepanjang mungkin. Artinya, suku bunga di bawah 2 persen atau bahkan 2 persen, dengan dengan tenor panjang 12 tahun, kalau memungkinkan sampai 30 tahun," jelas Khairul.
Khairul melihat rencana belanja jangka panjang seperti yang tengah disusun oleh Kemenhan dibutuhkan. Sebab, selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista.
Sementara, dalam Ranperpres yang diwacanakan ini, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista secara maksimal dengan pengadaan yang ditarik ke depan.
Permasalahan utama yang ada selama ini, menurut dia, adalah adanya pelambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019, padahal Indonesia memiliki Minimum Essential Force (MEF) sejak 2007.
Khairul menjelaskan beberapa rencana pembelian yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini, misalnya wacana pembelian Sukhoi SU-35. Kemudian, penambahan kapal selam baru, apakah Indonesia melanjutkan kerja sama dengan Korea Selatan atau membuka kesempatan kerja sama dengan negara-negara lain.
"Sehingga target yang mestinya dicapai pada akhir renstra II pada 2019 itu tidak tercapai. Dari yang tidak tercapai itu, kalau kita lihat porsinya, ada kesenjangan antara yang sudah dicapai oleh TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. TNI AD mendekati hampir 80 persen, sementara TNI AU sendiri belum sampai 50 persen. Artinya, tidak berimbang. Ini yang kemudian dibenahi melalui masterplan yang sedang disusun melalui rancangan perpres ini, menyiapkan rancangan kebutuhan, roadmap, business plan-nya," jelas Khairul.
Namun demikian, ia berharap perpres tersebut nantinya memuat lampiran berupa rencana kebutuhan.
Jika kembali ke-25 tahun ke belakang, ungkapnya, masih banyak pengadaan alutsista yang belum terpenuhi. Di era Orde Baru, misalnya, Indonesia memiliki puluhan kapal bekas baru (rekondisi) yang akhirnya kemudian banyak diparkir.
Menurut dia, kondisi alutsista sedikit berubah memasuki era reformasi, terutama di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Di era SBY, saya kira, banyak, ya, pengadaan-pengadaan baru dan sebagai besar alutsista yang datang hari-hari ini, dari 2015 sampai sekarang. Sebagian besar kontraknya dilakukan pada masa SBY, ya, karena memang belanja alutsista ini, kan, bukan barang yang pesan sekarang, besok datang," urainya.
Karena itu, Khairul mengatakan, penyusunan rencana kebutuhan alutsista haruslah visioner. "Menjawab tantangan masa depan. Ya memang kesannya jadi abstrak karena yang kita gunakan sebagai acuan, kan, potensi-potensi ancaman, tetapi, ya kalau kita bicara keamanan, bicara pertahanan, selalu kemungkinan terburuk yang paling diantisipasi," jelas Khairul.
Mengenai skema perencanaan, bagi Khairul tidak ada masalah mau bottom up atau top down. Begitu pula tentang pelibatan asrena-asrena, tak perlu didebatkan. Khairul lebih menekankan pada bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kemenhan, untuk menguatkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).
"Itu amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012. KKIP ini wadah untuk merumuskan kebijakan, merencanakan kebutuhan. Itu ada diatur dalam undang-undang," jelasnya.
Menyoal munculnya rumor mafia alutsista, Khairul berpendapat, perlu ditekankan adalah bagaimana mengatur peran pihak ketiga dalam belanja alutsista. Tujuannya, menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
"Kita juga perlu menyusun indikator industri pertahanan. Kita perlu tahu kondisi alutsista sekarang seperti apa, kesenjangan dengan kebutuhan itu seperti apa, terus bagaimana skenario industri pertahanan dalam negeri menjawab kebutuhan masa depan, terus bagaimana jika industri dalam negeri belum memenuhi, belanja impor yang paling menguntungkan itu seperti apa," tandas Khairul.
Hal senada diungkapkan pengamat militer Universitas Bina Nusantara, Curie Maharani. Menurutnya, angka Rp1.760 triliun untuk belanja alutsista masih normal bahkan cenderung konservatif.
"Sepengetahuan saya, anggaran modernisasi alutsista pada MEF III itu Rp186.623,3 milar (lampiran RPJMN) yang berarti sekitar 2,7 miliar dolar amerika per tahun, sedangkan rerata anggaran modernisasi autsista yang dialokasikan untuk 2020-2044 berkisar Rp3 triliun per tahun. Ada selisih sedikit di mana kita harus memperhitungkan defisit dan kenaikan harga alutsista," kata Curie.
Menurut Curie, isu yang bisa dilihat dalam rancangan perpres adalah implementasi modernisasi yang tidak sesuai target (behind schedule). Salah satu penyebabnya adalah perubahan atau kaji ulang MEF, yang mengalami penyesuaian beberapa kali. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021