Kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur merupakan dampak dari pemberlakukan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 yang diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat karena membatasi impor gula mentah atau raw sugar hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. 

Pabrik gula di Jawa Timur berhenti memasok kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna skala UKM dan pabrik setelah tidak diperbolehkan lagi melakukan impor dan mengolah gula mentah menjadi gula rafinasi karena izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010.

Sementara itu, ketersediaan tanaman tebu saat ini tidak dapat memenuhi masa giling satu tahun sehingga kelangsungan pabrik gula di Jatim bakal terancam.

“Patut disayangkan dengan Permenperin 3/2021, pasokan gula rafinasi hanya menjadi hak istimewa segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. Indikasi kartel ini menyebabkan kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur karena tidak ada pabrik gula yang mendapat izin impor gula mentah dan memasok gula rafinasi untuk kebutuhan industri pengguna,” ujar Sekretaris Lakpesdam PWNU Jawa Timur Khoirul Rosyadi dalam keterangan tertulis di Surabaya, Senin.

Khoirul mengatakan regulasi industri gula seharusnya mempertimbangkan aspek persaingan usaha yang sehat dari hulu hingga ke hilir dan tata kelola industri gula yang berkesinambungan.

Semua pabrik gula seyogyanya didorong untuk memiliki dan bekerja sama dengan perkebunan tebu dan mengurangi impor gula mentah.

Kenyataannya, lanjut Khoirul, keran impor gula mentah hanya dibuka untuk segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010, sementara yang lain harus menyerap gula tebu yang pasokannya tidak mencukupi.

Pengamat ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad pada kesempatan sama menegaskan aturan pembatasan impor tersebut berdampak merugikan bagi semua pihak, baik pabrik gula yang izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010, petani tebu, maupun industri pengguna, seperti industri makanan dan minuman.

”Pabrik gula yang tidak mendapatkan izin impor bakal kekurangan gula mentah, sementara industri pengguna seperti perusahaan makanan dan minuman di Jawa Timur mendadak mengalami kelangkaan pasokan gula rafinasi karena selama ini mendapat pasokan dari pabrik gula di Jawa Timur,” katanya.

Pada sisi lain, tambah Tauhid, Permenperin 03/2021 melemahkan kontrol atas impor gula dan mendukung hadirnya gula rembesan. Dalam aturan tersebut, rekomendasi izin impor gula mentah dapat diperoleh pabrik gula tanpa menyertakan kontrak jual beli gula rafinasi dengan industri pengguna.

Perubahan bongkar muat gula impor juga tidak memerlukan persetujuan dan rekomendasi dari kementerian, sehingga pabrik gula dapat melakukan bongkar muat gula impor di pelabuhan mana saja. Gula rembesan tersebut mengancam petani tebu karena menyebabkan kelebihan pasokan gula konsumsi di pasaran dan disparitas harga.

“Aturan Permenperin 3/2021 tersebut banyak kelemahan, cenderung menguntungkan segelintir perusahaan, dan mengacaukan tata kelola industri gula hulu dan hilir secara terpadu. Aturan ini harusnya direvisi,” katanya.

Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki menambahkan pihaknya menyambut baik upaya Kementerian Perindustrian untuk turun langsung dan menyaksikan kondisi riil industri makanan dan minuman di Jatim, namun tetap menyarankan agar Permenperin 3/2021 dicabut.

“Dengan mempertimbangkan kebutuhan gula rafinasi di Jawa Timur yang cukup banyak, juga untuk provinsi-provinsi lainnya, akan lebih bijak apabila masing-masing daerah kebutuhannya dipenuhi dari industri gula di daerah tersebut yang telah mendapatkan izin dan memenuhi persyaratan teknis. Hal ini akan mendorong persaingan sehat dengan distribusi yang efisien. Pasokan gula rafinasi dari luar Jawa Timur tidak efisien untuk kami,” katanya. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani/DK

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021