Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2014-2019 Ir. Dwi Hary Soeryadi, M.MT, meluncurkan buku yang berjudul "Pro-Kontra PLTN" untuk menyoroti perdebatan tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia.

"Buku ini menyajikan pengalaman saya saat menjadi anggota DEN. Saya mengamati apa yang terjadi saat ini di masyarakat energi Indonesia, di mana perdebatan tentang PLTN terilhat semakin tajam antara yang pro dan yang kontra," kata Dwi di Surabaya, Jumat.

Dwi mengatakan, masyarakat yang mendukung adanya PLTN mendorong agar pembangunan segera dilakukan. Sementara yang kontra mengatakan Indonesia tak perlu PLTN.

Menurutnya, meski dalam peraturan kebijakan energi di Indonesia sudah dibuat dan sudah sangat jelas, yaitu di UU 30/2007 tentang Energi, PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Namun yang kontra PLTN, tetap saja kurang nyaman dengan istilah energi baru dan terbarukan (EBT) dan lebih cocok bila menyebutkan dengan istilah energi terbarukan (ET).

"Sebab, di dunia internasional pun tidak ada istilah new and renewable energy, yang ada hanya istilah renewable energy," kata lulusan Magister Manajemen Teknologi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.

Sedangkan yang pro PLTN, tidak suka jika disebut bahwa PLTN ditempatkan sebagai pilihan terakhir, karena bagaimanapun PLTN adalah salah satu teknologi mutakhir yang harus dimanfaatkan.

"Akan tetapi, dengan sejarah adanya beberapa kecelakaan besar meledaknya reaktor PLTN di beberapa negara di dunia, menggugah kita semua untuk mawas diri dan berhati-hati di dalam memanfaatkannya, karena Indonesia ada pada zona ring of fire," ujar pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, 12 Juli 1967 itu.

Di samping itu dengan besarnya potensi sumber energi terbarukan Indonesia yang sangat berlimpah, mulai dari air, matahari, panas bumi, angin, bio, dan laut yang menurut data di direktorat jendral EBTKE Kementrian ESDM totalnya adalah sebesar 417,8 GW, dan baru termanfaatkan hanya 2,5 persen-nya saja, juga menjadikan pertimbangan yang tidak boleh dikesampingkan.

Begitu juga sebaliknya, dengan perkembangan teknologi nuklir yang semakin mutakhir, telah hadir yang disebut dengan Nuklir FUSI yang tidak menghasilkan limbah radioaktif sehingga mengurangi risiko kecelakaan, membawa semakin dekatnya kepada teknologi yang sesuai dengan harapan semua masyarakat di seluruh dunia.

"Nuklir FUSI sangat berbeda karakter dengan Nuklir FISI yang saat ini dipakai oleh semua PLTN di seluruh dunia yang mempunyai risiko meledak/bocor yang berdampak kecelakaan yang sangat fatal," katanya.

Di bab terakhir, Dwi juga menyajikan pengalaman nyatanya yang didapat di beberapa lokasi PLTN maupun energi lain di beberapa negara.

Selain itu diulas juga tentang kunjungannya ke semua reaktor nuklir yang dipunyai Indonesia saat ini, mulai dari reaktor yang ada di Bandung, Yogyakarta, maupun di Serpong untuk memberikan gambaran nyata bagi pembaca. 

"Buku ini sudah bisa dipesan melalui Tokopedia dengan harga Rp85.000. Akan diberlakukan diskon 20 persen untuk umum dan 50 persen untuk mahasiswa," katanya. (*)

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021