Suasana pertemuan keluarga besar yang semula diterapkan dengan protokol kesehatan yang ketat dengan saling bersalaman ala tinju dan sikut, tiba-tiba berubah kikuk karena eyang lebih suka salaman berpegang telapak tangan, bahkan ingin memeluk erat anak-anak cucu-cucunya.
Eyang tidak paham soal penularan virus corona yang sangat menular itu, dan tidak peduli dengan ancaman itu. Anak-anak sempat mengingatkan eyang, namun tidak ada yang tak berani melarang. Alhasil, eyang, walaupun sudah memakai masker, tetap saja ingin berpelukan erat dengan cucu-cucunya.
Ada lagi sebuah majelis taklim, dimana sang guru selalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan seluruh jamaah. Siapa yang sanggup untuk menolak bersalaman dengan sang guru, walaupun paham itu berpotensi terjadi penularan. Siapa pula jamaah yang berani menceramahi sang guru soal bahaya bersentuhan telapak tangan bisa menularkan virus corona.
Dua contoh di atas sudah bukan rahasia umum terjadi di semua keluarga besar, dan terjadi di sejumlah pertemuan keagamaan. Semua menganggap sepele soal jaga jarak dan bersalaman, tetapi itu menjadi sebab mengapa kurva penularan virus yang berasal dari Kota Wuhan, China, itu di Indonesia tidak juga melandai.
Banyak pejabat, tokoh dan politikus yang menghadiri acara seremonial untuk menguatkan protokol kesehatan, seperti bagi-bagi masker dan handsanitizer, penyemprotan disinfektan, razia masker, razia kerumunan, pencanangan vaksinasi dan macam-macam lainnya.
Namun begitu mereka menggelar acara keluarga, mereka mulai menurunkan standar protokol dan mulai ewuh pakewuh atau sungkan untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Yang paling mudah ditemui soal abai protokol kesehatan adalah hajatan nikah dengan mengundang ratusan tamu di permukiman. Walaupun sudah disediakan alat cuci tangan, handsanitizer, dan tulisan wajib memakai masker, tetapi saat ada tamu yang dianggap terhormat abai atas aturan itu, siapa yang berani untuk melarang atau menegurnya. Ewuh pakewuh untuk tidak mempermalukan sang tamu, membuat ada toleransi yang tidak semestinya.
Banyak kasus penularan virus corona terjadi akibat abai penerapan protokol kesehatan saat ada pertemuan keluarga. Apalagi persentase orang tanpa gejala (OTG) lebih tinggi dibanding mereka yang bergejala, khususnya pada usia muda, sehingga tanpa sengaja mereka menularkan virus pada anggota keluarga yang lain.
Petugas survailans di sejumlah daerah juga mengakui kesulitan menelusuri jika yang melanggar ini komunitas keluarga yang jumlahnya tidak sebanding dengan tenaga survailans yang ada.
Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa jumlah kluster keluarga semakin hari semakin meledak karena banyak yang tidak di-tracing secara akurat karena keterbatasan tenaga survailans. Sejumlah satgas di daerah sudah mulai mengakui kesulitan untuk mengendalikan kluster keluarga dan menjadi penyumbang yang dominan dalam kasus COVID- 19.
Ewuh pakewuh menjadikan orang Indonesia tidak berani menegur orang lain yang sebenarnya jelas melanggar protokol kesehatan di masa pandemi. Kita akhirnya menoleransi sebuah pelanggaran karena sungkan atau merasa tidak enak, tetapi akibatnya penyebaran menjadi makin sulit dikendalikan.
Sansekerta
Ewuh pakewuh berasal dari bahasa sangsekerta. Ewuh yang berarti repot dan pakewuh memiliki arti tidak enak perasaan. Namun budaya ewuh pakewuh yang merupakan budaya khas ketimuran sering dianggap sebagai perilaku yang menghormati sikap orang lain, menoleransi perbedaan pandangan dan sikap karena perasaan tidak enak berkonfrontasi dengan pihak lain atau tidak ingin mempermalukan orang di hadapan orang lain.
Budaya ini telah menghegemoni masyarakat Jawa, namun dengan sebaran suku Jawa yang hampir ada di pelosok Indonesia menjadikan ewuh pakewuh juga dikenal dan diikuti komunitas suku lainnya.
Dengan perasaan ewuh pakewuh maka setiap orang akhirnya memaklumi jika ada orang lain atau komunitas lain tidak menjalankan protokol kesehatan, apalagi jika yang melanggar adalah orang yang lebih tua atau tokoh dan pimpinan mereka.
Mengubah atau minimal mengabaikan budaya ini saat berhadapan dengan protokol kesehatan, tentu tidaklah mudah, tetapi harus ada yang berani bersuara dan disuarakan, baik oleh kepala negara, kepala daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan komunitas.
Berani mengingatkan, berani tegas dan tidak pandang bulu harus menjadi sikap bersama setiap individu dalam menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi COVID-19.
Harus disadari, status apapun yang disandang seseorang, harus menerima setiap kritikan, teguran, atau sanksi jika melanggar protokol kesehatan.
Sikap ini wajib dijalankan secara konsisten oleh setiap individu, tidak peduli apakah dia adalah pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau bos yang patut dihormati bawahannya.
Konsisten artinya tanpa disorot publikpun adaptasi kebiasaan baru harus tetap dilakukan dan diterapkan, tidak hanya di lingkungan kerja dan lingkungan sosial, tetapi juga yang paling penting di lingkungan keluarga.
Ada seorang pegawai yang sempat berujar bahwa ada sejumlah pejabat yang selalu mengimbau penerapan protokol kesehatan, ternyata dalam keluarganya sendiri sering abai menerapkan hal itu, seperti saat menerima tamu dari kerabatnya dan sesama kader partainya.
Hal-hal sepele ini sering diamati publik dan menjadi perbincangan sehingga menurunkan semangat untuk menerapkan protokol kesehatan, seolah aturan ketat hanya berlaku untuk acara-acara resmi saja.
Walaupun saat ini program vaksinasi sudah berjalan, protokol kesehatan tetap menjadi kebiasaan mutlak yang harus diterapkan dan tidak bisa dikendorkan, apalagi belum tercapai kekebalan imunitas atau herd immunity.
Risiko lebih tinggi
Ingatlah kluster keluarga, menurut Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas COVID-19 dr. Dewi Nur Aisyah, mempunyai risiko penularan COVID-19, 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kluster penularan lain karena tidak memungkinkan terus memakai masker dalam rumah dan menjaga jarak sesama anggota keluarga.
Oleh karena itu menjaga jangan sampai terjadi paparan virus corona masuk dalam lingkungan keluarga menjadi sangat penting, karena sekali saja satu anggota keluarga terpapar, maka potensi penularan ke anggota keluarga lain menjadi sangat tinggi.
Tumbuhkan budaya saling mengingatkan di antara anggota keluarga agar setiap masuk rumah harus yakin bahwa tangan dan pakaian terbebas dari kemungkinan paparan corona.
Mulailah mengingatkan dari hal sepele soal masker dengan menggantinya setiap hari dan cuci tangan sebelum masuk rumah, menyiapkan handsanitizer sampai menyiapkan aturan khusus bagi tamu yang datang dan protokol kesehatan yang ketat jika ada gelaran pertemuan di rumah.
Keluarga sebaiknya mulai menata ruang tamu khusus di luar rumah dengan ventilasi udara segar yang lebih banyak dan mengatur jarak duduk tamu yang lebih jarang. Membuat aturan baru menerima tamu yang disesuaikan dengan kondisi ruang tamu yang tersedia.
Sampaikan aturan main itu kepada siapa saja tamu yang sering berkunjung agar sama-sama mencegah virus corona berpindah inang. Bisa lewat status di media sosial atau mengirimkan pesan langsung kepada tamu yang akan berkunjung.
Harus berani menempelkan status “Tamu wajib menerapkan protokol kesehatan” atau “Tamu wajib pake masker dan jaga jarak” di setiap rumah tanpa sungkan atau dianggap paranoid. Lebih baik dianggap paranoid daripada membiarkan virus berpotensi menularkan pada anggota keluarga.
Banyaknya rumah dengan tipe sederhana atau rumah petak dengan ruang tamu terbatas, pada daerah perkotaan, harus disiasati para ketua rukun warga mulai mencari cara agar dibuat “saung tamu” di lokasi lain, yang bisa dipakai bergantian jika ada tamu yang memang harus penting untuk bertatap muka. Balai kampung di RT/ RW, pos ronda atau taman yang ada bisa disulap menjadi saung tamu sementara.
Ingatkan anggota keluarga untuk keluar rumah untuk hal-hal yang sangat penting atau menghindari mengunjungi rumah teman karena khawatir rumah yang dituju juga tidak berkenan menerima tamu secara langsung.
Namun yang lebih penting adalah usahakan sebisa mungkin mengadakan pertemuan secara virtual baik silaturahmi antarkeluarga ataupun pertemuan komunitas seperti arisan atau pengajian kelompok karena semakin rendah mobilitas warga maka semakin sulit virus ini untuk menyebar.
Salah satu kunci penting menekan sebaran adalah penerapan budaya protokol kesehatan di tingkat keluarga dan mulailah meninggalkan ewuh pakewuh untuk urusan pandemi corona yang siapapun tidak bisa meramalkan kapan pandemi ini akan berakhir.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
Eyang tidak paham soal penularan virus corona yang sangat menular itu, dan tidak peduli dengan ancaman itu. Anak-anak sempat mengingatkan eyang, namun tidak ada yang tak berani melarang. Alhasil, eyang, walaupun sudah memakai masker, tetap saja ingin berpelukan erat dengan cucu-cucunya.
Ada lagi sebuah majelis taklim, dimana sang guru selalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan seluruh jamaah. Siapa yang sanggup untuk menolak bersalaman dengan sang guru, walaupun paham itu berpotensi terjadi penularan. Siapa pula jamaah yang berani menceramahi sang guru soal bahaya bersentuhan telapak tangan bisa menularkan virus corona.
Dua contoh di atas sudah bukan rahasia umum terjadi di semua keluarga besar, dan terjadi di sejumlah pertemuan keagamaan. Semua menganggap sepele soal jaga jarak dan bersalaman, tetapi itu menjadi sebab mengapa kurva penularan virus yang berasal dari Kota Wuhan, China, itu di Indonesia tidak juga melandai.
Banyak pejabat, tokoh dan politikus yang menghadiri acara seremonial untuk menguatkan protokol kesehatan, seperti bagi-bagi masker dan handsanitizer, penyemprotan disinfektan, razia masker, razia kerumunan, pencanangan vaksinasi dan macam-macam lainnya.
Namun begitu mereka menggelar acara keluarga, mereka mulai menurunkan standar protokol dan mulai ewuh pakewuh atau sungkan untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Yang paling mudah ditemui soal abai protokol kesehatan adalah hajatan nikah dengan mengundang ratusan tamu di permukiman. Walaupun sudah disediakan alat cuci tangan, handsanitizer, dan tulisan wajib memakai masker, tetapi saat ada tamu yang dianggap terhormat abai atas aturan itu, siapa yang berani untuk melarang atau menegurnya. Ewuh pakewuh untuk tidak mempermalukan sang tamu, membuat ada toleransi yang tidak semestinya.
Banyak kasus penularan virus corona terjadi akibat abai penerapan protokol kesehatan saat ada pertemuan keluarga. Apalagi persentase orang tanpa gejala (OTG) lebih tinggi dibanding mereka yang bergejala, khususnya pada usia muda, sehingga tanpa sengaja mereka menularkan virus pada anggota keluarga yang lain.
Petugas survailans di sejumlah daerah juga mengakui kesulitan menelusuri jika yang melanggar ini komunitas keluarga yang jumlahnya tidak sebanding dengan tenaga survailans yang ada.
Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa jumlah kluster keluarga semakin hari semakin meledak karena banyak yang tidak di-tracing secara akurat karena keterbatasan tenaga survailans. Sejumlah satgas di daerah sudah mulai mengakui kesulitan untuk mengendalikan kluster keluarga dan menjadi penyumbang yang dominan dalam kasus COVID- 19.
Ewuh pakewuh menjadikan orang Indonesia tidak berani menegur orang lain yang sebenarnya jelas melanggar protokol kesehatan di masa pandemi. Kita akhirnya menoleransi sebuah pelanggaran karena sungkan atau merasa tidak enak, tetapi akibatnya penyebaran menjadi makin sulit dikendalikan.
Sansekerta
Ewuh pakewuh berasal dari bahasa sangsekerta. Ewuh yang berarti repot dan pakewuh memiliki arti tidak enak perasaan. Namun budaya ewuh pakewuh yang merupakan budaya khas ketimuran sering dianggap sebagai perilaku yang menghormati sikap orang lain, menoleransi perbedaan pandangan dan sikap karena perasaan tidak enak berkonfrontasi dengan pihak lain atau tidak ingin mempermalukan orang di hadapan orang lain.
Budaya ini telah menghegemoni masyarakat Jawa, namun dengan sebaran suku Jawa yang hampir ada di pelosok Indonesia menjadikan ewuh pakewuh juga dikenal dan diikuti komunitas suku lainnya.
Dengan perasaan ewuh pakewuh maka setiap orang akhirnya memaklumi jika ada orang lain atau komunitas lain tidak menjalankan protokol kesehatan, apalagi jika yang melanggar adalah orang yang lebih tua atau tokoh dan pimpinan mereka.
Mengubah atau minimal mengabaikan budaya ini saat berhadapan dengan protokol kesehatan, tentu tidaklah mudah, tetapi harus ada yang berani bersuara dan disuarakan, baik oleh kepala negara, kepala daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan komunitas.
Berani mengingatkan, berani tegas dan tidak pandang bulu harus menjadi sikap bersama setiap individu dalam menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi COVID-19.
Harus disadari, status apapun yang disandang seseorang, harus menerima setiap kritikan, teguran, atau sanksi jika melanggar protokol kesehatan.
Sikap ini wajib dijalankan secara konsisten oleh setiap individu, tidak peduli apakah dia adalah pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau bos yang patut dihormati bawahannya.
Konsisten artinya tanpa disorot publikpun adaptasi kebiasaan baru harus tetap dilakukan dan diterapkan, tidak hanya di lingkungan kerja dan lingkungan sosial, tetapi juga yang paling penting di lingkungan keluarga.
Ada seorang pegawai yang sempat berujar bahwa ada sejumlah pejabat yang selalu mengimbau penerapan protokol kesehatan, ternyata dalam keluarganya sendiri sering abai menerapkan hal itu, seperti saat menerima tamu dari kerabatnya dan sesama kader partainya.
Hal-hal sepele ini sering diamati publik dan menjadi perbincangan sehingga menurunkan semangat untuk menerapkan protokol kesehatan, seolah aturan ketat hanya berlaku untuk acara-acara resmi saja.
Walaupun saat ini program vaksinasi sudah berjalan, protokol kesehatan tetap menjadi kebiasaan mutlak yang harus diterapkan dan tidak bisa dikendorkan, apalagi belum tercapai kekebalan imunitas atau herd immunity.
Risiko lebih tinggi
Ingatlah kluster keluarga, menurut Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas COVID-19 dr. Dewi Nur Aisyah, mempunyai risiko penularan COVID-19, 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kluster penularan lain karena tidak memungkinkan terus memakai masker dalam rumah dan menjaga jarak sesama anggota keluarga.
Oleh karena itu menjaga jangan sampai terjadi paparan virus corona masuk dalam lingkungan keluarga menjadi sangat penting, karena sekali saja satu anggota keluarga terpapar, maka potensi penularan ke anggota keluarga lain menjadi sangat tinggi.
Tumbuhkan budaya saling mengingatkan di antara anggota keluarga agar setiap masuk rumah harus yakin bahwa tangan dan pakaian terbebas dari kemungkinan paparan corona.
Mulailah mengingatkan dari hal sepele soal masker dengan menggantinya setiap hari dan cuci tangan sebelum masuk rumah, menyiapkan handsanitizer sampai menyiapkan aturan khusus bagi tamu yang datang dan protokol kesehatan yang ketat jika ada gelaran pertemuan di rumah.
Keluarga sebaiknya mulai menata ruang tamu khusus di luar rumah dengan ventilasi udara segar yang lebih banyak dan mengatur jarak duduk tamu yang lebih jarang. Membuat aturan baru menerima tamu yang disesuaikan dengan kondisi ruang tamu yang tersedia.
Sampaikan aturan main itu kepada siapa saja tamu yang sering berkunjung agar sama-sama mencegah virus corona berpindah inang. Bisa lewat status di media sosial atau mengirimkan pesan langsung kepada tamu yang akan berkunjung.
Harus berani menempelkan status “Tamu wajib menerapkan protokol kesehatan” atau “Tamu wajib pake masker dan jaga jarak” di setiap rumah tanpa sungkan atau dianggap paranoid. Lebih baik dianggap paranoid daripada membiarkan virus berpotensi menularkan pada anggota keluarga.
Banyaknya rumah dengan tipe sederhana atau rumah petak dengan ruang tamu terbatas, pada daerah perkotaan, harus disiasati para ketua rukun warga mulai mencari cara agar dibuat “saung tamu” di lokasi lain, yang bisa dipakai bergantian jika ada tamu yang memang harus penting untuk bertatap muka. Balai kampung di RT/ RW, pos ronda atau taman yang ada bisa disulap menjadi saung tamu sementara.
Ingatkan anggota keluarga untuk keluar rumah untuk hal-hal yang sangat penting atau menghindari mengunjungi rumah teman karena khawatir rumah yang dituju juga tidak berkenan menerima tamu secara langsung.
Namun yang lebih penting adalah usahakan sebisa mungkin mengadakan pertemuan secara virtual baik silaturahmi antarkeluarga ataupun pertemuan komunitas seperti arisan atau pengajian kelompok karena semakin rendah mobilitas warga maka semakin sulit virus ini untuk menyebar.
Salah satu kunci penting menekan sebaran adalah penerapan budaya protokol kesehatan di tingkat keluarga dan mulailah meninggalkan ewuh pakewuh untuk urusan pandemi corona yang siapapun tidak bisa meramalkan kapan pandemi ini akan berakhir.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021