Tim pasangan Eri Cahyadi dan Armuji menyiapkan segudang bukti dugaan pelanggaran yang dilakukan pasangan Machfud-Mujiaman guna menghadapi gugatan sengketa Pilkada Kota Surabaya 2020 di Mahkamah Konstitusi.
"Kami sudah siapkan segudang bukti pelanggaran. Masyarakat yang berbondong-bondong melaporkan ke kami. Mereka pun siap jadi saksi. Puluhan perkara juga sudah kita laporkan ke Bawaslu. Semuanya akan jadi senjata kita di MK," kata anggota Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPC PDIP Surabaya Tomuan Sugiarto di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, dugaan pelanggaran itu mulai dari bagi-bagi sembako, sarung, baju, dan uang saat kampanye. Bukti-bukti dugaan pelanggaran tersebut akan dibeberkan di sidang MK, jika Machfud-Mujiaman menggugat kemenangan yang diraih pasangan Eri Cahyadi-Armuji.
Tomuan menjelaskan pembagian sembako, uang, dan sarung untuk memengaruhi masyarakat agar memilih paslon nomor 2 Machud-Mujiaman menggunakan metode sistematis dan berlangsung masif.
Ia menjelaskan warga penerima sembako diorganisasi pengurus RT/RW dan PKK serta diminta menyertakan KTP, KK, dan nomor ponsel untuk pendataan. Bahkan, bagi-bagi uang banyak ditemukan pada malam hari sebelum coblosan.
"Warga yang menerima sembako wajib melampirkan KTP Surabaya, lalu ada yang bilang datanya akan di-input dalam aplikasi," ujar Tomuan.
Ia menjelaskan MK seharusnya tidak perlu memproses gugatan MA-Mujiaman karena selisih suara di Pilkada Surabaya cukup besar, yaitu hampir 14 persen atau 56,94 persen dibanding 43,06 persen. Selisih di antara dua kandidat itu adalah 145.746 suara.
"Andaikata kemenangan Eri-Armuji sangat tipis, misal hanya unggul 0,5 persen, perselisihan hasil pilkada lebih rasional untuk dilakukan," katanya.
Mengacu pada Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pilkada kabupaten/kota dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa bisa dilakukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.
Meskipun MK tetap membuka ruang gugatan dengan melihat bukti permulaan, kata Tomuan, gugatan Machfud-Mujiaman dinilai tak rasional karena besarnya selisih suara di antara dua kandidat.
"Kalau memang selisihnya tipis, misalnya pun 0,8 persen, atau bahkan 2 persen, kemudian dinilai ada pelanggaran, masih rasional untuk disengketakan. Bagaimana membangun kerangka logika bahwa selisih tebal 14 persen atau 145.000 suara itu dituduh hasil kecurangan?" ujar Tomuan.
Tomuan percaya MK akan bersikap adil dan objektif dengan menolak gugatan Machfud-Mujiaman. "Kami percaya majelis hakim yang mulia di MK akan menolak bila memang Machfud-Mujiaman mengajukan gugatan," ujarnya.
Sementara itu, salah satu tim hukum paslon Machfud-Mujiaman, M. Sholeh, mengatakan pihaknya saat ini sudah berada di Jakarta untuk selanjutnya melayangkan gugatan ke MK.
"Besok (21/12) kami layangkan gugatan ke MK," kata Sholeh.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Kami sudah siapkan segudang bukti pelanggaran. Masyarakat yang berbondong-bondong melaporkan ke kami. Mereka pun siap jadi saksi. Puluhan perkara juga sudah kita laporkan ke Bawaslu. Semuanya akan jadi senjata kita di MK," kata anggota Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat (BBHAR) DPC PDIP Surabaya Tomuan Sugiarto di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, dugaan pelanggaran itu mulai dari bagi-bagi sembako, sarung, baju, dan uang saat kampanye. Bukti-bukti dugaan pelanggaran tersebut akan dibeberkan di sidang MK, jika Machfud-Mujiaman menggugat kemenangan yang diraih pasangan Eri Cahyadi-Armuji.
Tomuan menjelaskan pembagian sembako, uang, dan sarung untuk memengaruhi masyarakat agar memilih paslon nomor 2 Machud-Mujiaman menggunakan metode sistematis dan berlangsung masif.
Ia menjelaskan warga penerima sembako diorganisasi pengurus RT/RW dan PKK serta diminta menyertakan KTP, KK, dan nomor ponsel untuk pendataan. Bahkan, bagi-bagi uang banyak ditemukan pada malam hari sebelum coblosan.
"Warga yang menerima sembako wajib melampirkan KTP Surabaya, lalu ada yang bilang datanya akan di-input dalam aplikasi," ujar Tomuan.
Ia menjelaskan MK seharusnya tidak perlu memproses gugatan MA-Mujiaman karena selisih suara di Pilkada Surabaya cukup besar, yaitu hampir 14 persen atau 56,94 persen dibanding 43,06 persen. Selisih di antara dua kandidat itu adalah 145.746 suara.
"Andaikata kemenangan Eri-Armuji sangat tipis, misal hanya unggul 0,5 persen, perselisihan hasil pilkada lebih rasional untuk dilakukan," katanya.
Mengacu pada Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 tentang Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pilkada kabupaten/kota dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa bisa dilakukan bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara sah.
Meskipun MK tetap membuka ruang gugatan dengan melihat bukti permulaan, kata Tomuan, gugatan Machfud-Mujiaman dinilai tak rasional karena besarnya selisih suara di antara dua kandidat.
"Kalau memang selisihnya tipis, misalnya pun 0,8 persen, atau bahkan 2 persen, kemudian dinilai ada pelanggaran, masih rasional untuk disengketakan. Bagaimana membangun kerangka logika bahwa selisih tebal 14 persen atau 145.000 suara itu dituduh hasil kecurangan?" ujar Tomuan.
Tomuan percaya MK akan bersikap adil dan objektif dengan menolak gugatan Machfud-Mujiaman. "Kami percaya majelis hakim yang mulia di MK akan menolak bila memang Machfud-Mujiaman mengajukan gugatan," ujarnya.
Sementara itu, salah satu tim hukum paslon Machfud-Mujiaman, M. Sholeh, mengatakan pihaknya saat ini sudah berada di Jakarta untuk selanjutnya melayangkan gugatan ke MK.
"Besok (21/12) kami layangkan gugatan ke MK," kata Sholeh.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020