Sejumlah tokoh perempuan yang pernah dimunculkan dalam khazanah dongeng Nusantara dikupas dalam seminar daring (webinar) bertema "Kesetaraan Gender dalam Perspektif Budaya" yang digelar Komunitas Seni Budaya BrangWetan melalui media "Zoom" di Surabaya, Jumat. 

Salah satu narasumber, Dr Adriana Venny, mengungkap banyak mitos atau dongeng tentang tokoh-tokoh perempuan yang selalu digambarkan dengan sangat mengerikan.  

"Dalam dongeng 'Calon Arang', digambarkan seorang tokoh perempuan buruk rupa yang jahat, menakutkan dan menyebarkan wabah mematikan. Padahal Calon Arang adalah sosok pemberontak yang sulit diatasi oleh Raja Airlangga," katanya, mencontohkan. 

Bagi peraih "Kartini Award" kategori aktivis sosial dari El John Foundation di tahun 2019 itu, sudah waktunya dongeng-dongeng Nusantara ditulis ulang sehingga tidak ada lagi yang memunculkan kekerasan atau merendahkan perempuan dalam stereotip gender. 

"Beberapa dongeng aslinya memang diciptakan sebagai teror terhadap tubuh maternal dan fungsi reproduksi dengan tujuan antara lain untuk menenggelamkan semiotik feminin dan memenangkan simbolik yang maskulin. Di era sekarang perlu ada teks baru yang berkeadilan gender," tutur mantan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan ini. 

Narasumber lainnya, Dr Antarini Arna, berpendepat dalam setiap cerita dongeng selalu ada kecenderungan untuk meminggirkan tokoh-tokoh perempuan yang berdaya.

"Bahwasanya kalau perempuan menjadi pemimpin itu harus galak dan keras. Sementara perempuan pemimpin yang lemah lembut malah dianggap tidak berdaya. Karena itu diperlukan pendekatan baru dalam narasi kepemimpinan perempuan," ujar perempuan yang pernah menjadi jaksa pembela korban (prosecutor) Juugun Ianfu dan korban kerusuhan tahun 1965-1968 itu.

Selanjutnya, Antropolog Dr Pinky Saptandari mengurai bahwa selama ini kepemimpinan selalu berwajah maskulin dan identik dengan laki-laki.  

"Ada dominasi ideologi patriarki di tengah masyarakat dalam bungkus budaya dan praktik beragama. Juga rendahnya penghargaan terhadap perempuan dalam balutan konsep ibuisme dan domestikasi perempuan. Dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah, selalu berada dalam dominasi patriarki. Karena itu harus ada redefinisi, rekonstruksi dan dekonstruksi kepemimpinan perempuan," ujar Ketua Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S) Jawa Timur ini. 

Arkeolog dari Universitas Negeri Malang M Dwi Cahyono yang tampil sebagai narasumber terakhir mengungkapkan bahwa dalam Cerita Panji tidak sepenuhnya tokoh perempuan berada dalam peran dominasi laki-laki. 

"Filosofi Cerita Panji adalah mencari dan menemukan yang direpresentasikan dalam tokoh Raden Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji alias Candrakirana," kata lelaki kelahiran Tulungagung ini, sembari memaparkan "Citra Perempuan dalam Konteks Budaya Panji".

Doktor Filsafat Universitas Indonesia Prof. Dr. Toeti Heraty Rooseno, yang dalam kesempatan itu hadir sebagai peserta Webinar, menyumbangkan pemikirannya mengenai perlunya dilakukan reformasi pendidikan agama. 

"Sebab apa yang selama ini diceramahkan oleh para ustadz itu berpengaruh kuat dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap posisi perempuan yang masih direndahkan," tuturnya.  (*)
 

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020