Sejumlah pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi mengkritisi rencana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, dalam webinar yang digelar Fakultas Hukum Universitas Jember bertema "Reorientasi Pemberantasan Terorisme di Indonesia" yang digelar Kamis (19/11).
"Terkait pelibatan TNI, kami tidak ingin pemerintah menempatkan terorisme dengan cara berperang, karena yang perlu adalah membangun daya tahan masyarakat sebagai aspek pencegahan," kata pakar hukum yang juga Ketua Jurusan Pidana Fakultas Hukum Unej I Gede Widhiana dalam rilis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat.
Menurutnya, Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merancang regulasi tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yakni harus memberikan definisi yang jelas dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) yang kini sedang dibahas dan aspek pencegahan juga disarankan untuk lebih diutamakan.
"Kami mengapresiasi niat baik pemerintah untuk memberantas terorisme, tapi jangan sampai hal itu melanggar HAM dan memberangus pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah," katanya pula.
Hal senada juga disampaikan dosen hukum pidana yang juga peneliti Pusat Studi HAM Unair Surabaya Amira Paripurna bahwa pelibatan institusi militer untuk operasi penanggulangan terorisme sebenarnya banyak dilakukan di berbagai negara, namun tetap harus membutuhkan payung hukum yang jelas.
"Rancangan Perpres tentang pelibatan TNI untuk penanganan terorisme yang kini sedang dibahas Pemerintah dinilai masih banyak ketidakjelasan," katanya.
Menurutnya, dalam raperpes tersebut menyebutkan pelibatan TNI hanya atas dasar perintah presiden dan hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang harus melalui keputusan politik negara.
"Potensi permasalahan lain, raperpres tersebut juga memuat pasal yang membuka ruang untuk pendanaan penanganan terorisme di luar anggaran negara. Hal itu bisa menimbulkan masalah, karena sumber dananya dari mana," ujarnya.
Amira menilai hal tersebut bisa bertentangan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan potensi masalah juga terjadi ketika TNI diberi kewenangan melakukan penindakan.
"Seperti ketika TNI diberi kewenangan untuk menangkap orang yang diduga terlibat terorisme, meskipun nantinya tetap saja harus diserahkan ke polisi, situasi di lapangan bisa berbeda," ujar peraih PhD dari University of Washington, Amerika Serikat itu pula.
Menurutnya, bantuan TNI untuk penanganan terorisme sudah dilakukan saat ini dengan pembatasan waktu tertentu, pelibatan TNI itu memang bisa dan perlu, tetapi jangan sampai ada impunitas.
Sementara itu, kandidat doktor dalam bidang terorisme di Queensland University of Technology (QuT) Mukhamat Liberty Ady Surya mengatakan pentingnya keterlibatan lembaga negara lain untuk bersama-sama menangani terorisme.
"Sebenarnya ada lembaga lain yang punya peran penting, seperti Dirjen Lapas yang menangani napi terorisme dan juga Kementerian Sosial untuk membantu mantan napiter," katanya lagi.
Dari sejumlah penelitian, lanjutnya, hanya 4 persen mantan napi terorisme yang kembali mengulangi perbuatannya, namun proses deradikalisasi bersifat sangat individual, tergantung pada masing-masing mantan pelaku teror tersebut, sehingga dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan teroris yang ingin berubah.
"Para mantan napi terorisme yang kembali bergabung dengan kelompoknya biasanya karena tidak ada penerimaan dari masyarakat sekitar," ujarnya pula.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Terkait pelibatan TNI, kami tidak ingin pemerintah menempatkan terorisme dengan cara berperang, karena yang perlu adalah membangun daya tahan masyarakat sebagai aspek pencegahan," kata pakar hukum yang juga Ketua Jurusan Pidana Fakultas Hukum Unej I Gede Widhiana dalam rilis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat.
Menurutnya, Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merancang regulasi tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme yakni harus memberikan definisi yang jelas dalam Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) yang kini sedang dibahas dan aspek pencegahan juga disarankan untuk lebih diutamakan.
"Kami mengapresiasi niat baik pemerintah untuk memberantas terorisme, tapi jangan sampai hal itu melanggar HAM dan memberangus pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah," katanya pula.
Hal senada juga disampaikan dosen hukum pidana yang juga peneliti Pusat Studi HAM Unair Surabaya Amira Paripurna bahwa pelibatan institusi militer untuk operasi penanggulangan terorisme sebenarnya banyak dilakukan di berbagai negara, namun tetap harus membutuhkan payung hukum yang jelas.
"Rancangan Perpres tentang pelibatan TNI untuk penanganan terorisme yang kini sedang dibahas Pemerintah dinilai masih banyak ketidakjelasan," katanya.
Menurutnya, dalam raperpes tersebut menyebutkan pelibatan TNI hanya atas dasar perintah presiden dan hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI yang harus melalui keputusan politik negara.
"Potensi permasalahan lain, raperpres tersebut juga memuat pasal yang membuka ruang untuk pendanaan penanganan terorisme di luar anggaran negara. Hal itu bisa menimbulkan masalah, karena sumber dananya dari mana," ujarnya.
Amira menilai hal tersebut bisa bertentangan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan potensi masalah juga terjadi ketika TNI diberi kewenangan melakukan penindakan.
"Seperti ketika TNI diberi kewenangan untuk menangkap orang yang diduga terlibat terorisme, meskipun nantinya tetap saja harus diserahkan ke polisi, situasi di lapangan bisa berbeda," ujar peraih PhD dari University of Washington, Amerika Serikat itu pula.
Menurutnya, bantuan TNI untuk penanganan terorisme sudah dilakukan saat ini dengan pembatasan waktu tertentu, pelibatan TNI itu memang bisa dan perlu, tetapi jangan sampai ada impunitas.
Sementara itu, kandidat doktor dalam bidang terorisme di Queensland University of Technology (QuT) Mukhamat Liberty Ady Surya mengatakan pentingnya keterlibatan lembaga negara lain untuk bersama-sama menangani terorisme.
"Sebenarnya ada lembaga lain yang punya peran penting, seperti Dirjen Lapas yang menangani napi terorisme dan juga Kementerian Sosial untuk membantu mantan napiter," katanya lagi.
Dari sejumlah penelitian, lanjutnya, hanya 4 persen mantan napi terorisme yang kembali mengulangi perbuatannya, namun proses deradikalisasi bersifat sangat individual, tergantung pada masing-masing mantan pelaku teror tersebut, sehingga dibutuhkan dukungan dari masyarakat untuk mau menerima kembali mantan teroris yang ingin berubah.
"Para mantan napi terorisme yang kembali bergabung dengan kelompoknya biasanya karena tidak ada penerimaan dari masyarakat sekitar," ujarnya pula.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020