Produksi garam rakyat dari lahan tambak di wilayah Jawa Timur pada musim panen tahun 2020 menurun dibanding tahun lalu akibat cuaca yang tidak menentu, kata sejumlah petani.
Matrai, petani garam di tambak kawasan Benowo Surabaya, mengungkapkan sejak mengawali kerja pada bulan Juli lalu seringkali diselimuti mendung, selain juga hujan yang sampai sekarang masih saja turun.
Video oleh Hanif Nashrullah
"Hasil panen tahun ini belum diketahui karena masih sedang berlangsung. Tapi, kalau cuacanya seperti ini pastinya hasil panen tidak sebagus tahun lalu," katanya saat dikonfirmasi di Surabaya, Rabu.
Matrai menggarap lahan tambak garam seluas sekitar 1 hektare di kawasan Benowo Surabaya, dibantu istri, anak dan sejumlah cucunya yang beranjak remaja.
Ia mendengar kabar, meski hasil panen tahun ini dipastikan menurun, namun tengkulak bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal dari tahun lalu.
"Harga beli tengkulak informasinya naik, tapi saya belum tahu berapa. Kalau tahun lalu dibeli Rp250 ribu perton," ucapnya.
Ketua Umum Himpunan Masyarakat Petani Garam Indonesia (HMPGI) Mohammad Hasan memprediksi produksi garam rakyat yang dikelola petani dari seluruh lahan tambak wilayah Jawa Timur tahun ini sekitar 900 ribu ton. Sedangkan produksi garam rakyat nasional sekitar 2,1 juta ton.
"Kendalanya memang cuaca yang masih sering turun hujan," ujarnya.
Hasan membandingkan hasil panen garam dari para petani di Jawa Timur pada tahun 2019 mencapai 1,1 juta ton, sedangkan produksi nasional 2,9 juta ton.
"Jawa Timur masih penghasil garam rakyat terbesar se-Indonesia. Lumbung nasionalnya ada di Pulau Madura. Totalnya lahan tambak garam di Jawa Timur saat ini seluas 11.150 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota," katanya.
Namun, produksi garam rakyat tersebut hanya terserap pasar sekitar 80 persen, yaitu untuk konsumsi masyarakat.
Menurut Hasan, untuk kebutuhan industri, perusahaan dan pabrik di Indonesia lebih memilih garam impor dari Australia dan India.
"Kami mendorong agar pabrik dan perusahaan menyubstitusi garam impor untuk kebutuhan industri dengan garam berstandar nasional Indonesia (SNI) yang dihasilkan oleh petani lokal. Dengan cara itulah produksi garam rakyat bisa terserap 100 persen di pasaran," tuturnya.
Selain itu, Hasan menandaskan hal yang menjadi persoalan mendasar saat ini adalah harga garam yang dipanen petani ditentukan oleh mekanisme pasar.
Ia mencontohkan hasil panen garam tahun lalu, tengkulak membelinya seharga Rp250 perkilogram dan biasanya menjual kembali ke pasaran seharga Rp550 perkilogram.
Tahun ini, kendati hasil panen dipastikan menurun, tengkulak menaikkan harga beli garam senilai Rp350 perkilogram. Harga yang ditentukan tengkulak tersebut dirasa merugikan petani.
"Untuk itulah sampai sekarang kami terus memperjuangkan agar pemerintah menentukan harga pokok penjualan atau HPP garam. Pada tahun 2017 lalu kami mengusulkan HPP garam sebesar Rp1.500 perkilogram agar petani bisa sejahtera," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
Matrai, petani garam di tambak kawasan Benowo Surabaya, mengungkapkan sejak mengawali kerja pada bulan Juli lalu seringkali diselimuti mendung, selain juga hujan yang sampai sekarang masih saja turun.
Video oleh Hanif Nashrullah
"Hasil panen tahun ini belum diketahui karena masih sedang berlangsung. Tapi, kalau cuacanya seperti ini pastinya hasil panen tidak sebagus tahun lalu," katanya saat dikonfirmasi di Surabaya, Rabu.
Matrai menggarap lahan tambak garam seluas sekitar 1 hektare di kawasan Benowo Surabaya, dibantu istri, anak dan sejumlah cucunya yang beranjak remaja.
Ia mendengar kabar, meski hasil panen tahun ini dipastikan menurun, namun tengkulak bersedia membeli dengan harga yang lebih mahal dari tahun lalu.
"Harga beli tengkulak informasinya naik, tapi saya belum tahu berapa. Kalau tahun lalu dibeli Rp250 ribu perton," ucapnya.
Ketua Umum Himpunan Masyarakat Petani Garam Indonesia (HMPGI) Mohammad Hasan memprediksi produksi garam rakyat yang dikelola petani dari seluruh lahan tambak wilayah Jawa Timur tahun ini sekitar 900 ribu ton. Sedangkan produksi garam rakyat nasional sekitar 2,1 juta ton.
"Kendalanya memang cuaca yang masih sering turun hujan," ujarnya.
Hasan membandingkan hasil panen garam dari para petani di Jawa Timur pada tahun 2019 mencapai 1,1 juta ton, sedangkan produksi nasional 2,9 juta ton.
"Jawa Timur masih penghasil garam rakyat terbesar se-Indonesia. Lumbung nasionalnya ada di Pulau Madura. Totalnya lahan tambak garam di Jawa Timur saat ini seluas 11.150 hektare yang tersebar di 12 kabupaten/kota," katanya.
Namun, produksi garam rakyat tersebut hanya terserap pasar sekitar 80 persen, yaitu untuk konsumsi masyarakat.
Menurut Hasan, untuk kebutuhan industri, perusahaan dan pabrik di Indonesia lebih memilih garam impor dari Australia dan India.
"Kami mendorong agar pabrik dan perusahaan menyubstitusi garam impor untuk kebutuhan industri dengan garam berstandar nasional Indonesia (SNI) yang dihasilkan oleh petani lokal. Dengan cara itulah produksi garam rakyat bisa terserap 100 persen di pasaran," tuturnya.
Selain itu, Hasan menandaskan hal yang menjadi persoalan mendasar saat ini adalah harga garam yang dipanen petani ditentukan oleh mekanisme pasar.
Ia mencontohkan hasil panen garam tahun lalu, tengkulak membelinya seharga Rp250 perkilogram dan biasanya menjual kembali ke pasaran seharga Rp550 perkilogram.
Tahun ini, kendati hasil panen dipastikan menurun, tengkulak menaikkan harga beli garam senilai Rp350 perkilogram. Harga yang ditentukan tengkulak tersebut dirasa merugikan petani.
"Untuk itulah sampai sekarang kami terus memperjuangkan agar pemerintah menentukan harga pokok penjualan atau HPP garam. Pada tahun 2017 lalu kami mengusulkan HPP garam sebesar Rp1.500 perkilogram agar petani bisa sejahtera," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020