Ketua bidang advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Yuli Supriati mengungkapkan masih kerap mendapati anak-anak mengonsumsi kental manis, bahkan pada bayi berusia di bawah 12 bulan sebagai nutrisi harian.

“Ini didapat saat terjun ke masyarakat melakukan edukasi tentang gizi,” ujarnya pada siaran pers yang diterima ANTARA di Surabaya, Minggu malam.

Awal September 2020, kata dia, pihaknya bersama PP Aisyiyah melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat mengenai kental manis dan kaitannya dengan gizi buruk, di desa Parung, Kab Bogor, yang hasilnya ada lima anak dari tiga keluarga yang mengonsumsi kental manis sehari-hari.

“Mereka mengatakan minum susu. Orang tua mengaku tidak tahu cara penggunaan kental manis yang tepat, mereka pikir kental manis adalah susu untuk anak,” ucapnya. 

Selain itu, perilaku masyarakat yang memberikan kental manis sebagai minuman sehari-hari anak, balita bahkan bayi juga ditemui di Tigaraksa, Tangerang, Cilengsi, DKI Jakarta dan beberapa wilayah lain.

“Kami telah mengedukasi masyarakat di 20 kota di Indonesia, dan hampir di setiap wilayah kami mendapati balita mengonsumsi kental manis. Ada yang beralasan faktor ekonomi karena harga lebih terjangkau, ada juga yang menjadikan alasan karena ASI-nya tidak keluar,” katanya.

Intinya, lanjut dia, masyarakat belum teredukasi mana yang boleh diberikan dan mana yang seharusnya tidak dikonsumsi anak. 

Menurut Yuli, tidak jarang kader posyandu juga mengaku baru mengetahui fakta kandungan kental manis yang lebih banyak gula daripada protein dan zat gizi lainnya.

“Kader Posyandu sadar rasanya manis, namun tidak paham bahwa zat gizinya sangat rendah, rata-rata mereka juga belum mengetahui mengenai larangan BPOM tentang kental manis,” katanya.

Kepala UPT Puskesmas Parung, dr Dini Sri Agustin mengakui pengetahuan tentang susu tidak termasuk dalam materi penyuluhan Posyandu di wilayah yang menjadi binaan.

“Materi penyuluhan untuk posyandu baik untuk kader maupun masyarakat itu kan ada standarnya, disusun oleh Promkes. Memang tidak ada penjelasan tentang susu karena kita mendorong ASI ekslusif,” kata Dini. 

Meski demikian, ia menyadari pentingnya pengetahuan masyarakat mengenai susu agar tidak terjadi kesalahan persepsi, seperti yang terjadi pada kental manis, sebab susu bukan satu-satunya asupan yang wajib dikonsumsi balita dan anak-anak.

“Ini adalah masukan yang baik, bahwa memang penting disampaikan kepada masyarakat informasi tentang susu, agar tidak ada lagi yang memberikan kental manis untuk anak,” tutur Dini.

Sementara itu, Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang label pangan olahan, yang juga memuat aturan tentang produk kental manis sudah memasuki tahun keduanya.

Artinya, tinggal setahun lagi batas waktu penyesuaian yang diberikan BPOM terhadap produsen kental manis.

Yang diatur terkait kental manis dalam peraturan tersebut antara lain label bahwa kental manis bukan untuk usia di bawah 12 bulan, dilarang menampilkan visual anak-anak dan susu di dalam gelas pada label dan iklan serta kental manis bukan sebagai sumber gizi tunggal. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020