Dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Jember Ria Wiyatfi Linsiya mengimbau masyarakat tidak memberikan stigma negatif kepada pasien positif COVID-19 dan keluarganya, karena dapat mempengaruhi kesembuhan pasien itu.
"Masyarakat tidak perlu berlebihan dan tidak boleh menghakimi seseorang yang memiliki gejala maupun yang positif terjangkit COVID-19 karena mereka justru butuh dukungan moral agar bisa segera sembuh," kata Ria Wiyati di Kabupaten Jember, Selasa.
Ia juga menyayangkan masyarakat yang secara sosial menjauhi orang-orang yang menderita COVID-19, bahkan di beberapa daerah terjadi penolakan jenazah warga atau tenaga medis yang terpapar virus corona, sehingga menambah duka dalam bagi keluarga pasien yang sudah kehilangan anggota keluarganya.
"Tidak perlu mengucilkan pasien COVID-19 dan keluarganya yang akan menyebabkan pasien semakn depresi dan rendah diri, justru masyarakat seharusnya menjalin komunikasi untuk memberikan dukungan moral dan semangat, agar mereka bisa segera sembuh," ucap psikolog di Jember itu.
Menurutnya, masyarakat hanya perlu menerapkan protokol kesehatan dengan tidak melakukan kontak fisik dengan pasien, menjaga jarak, dan melakukan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, sehingga tidak perlu memberikan stigma negatif kepada pasien COVID-19.
"Selain itu, semua pihak diharapkan menyebarkan berita positif dengan melakukan edukasi yang menunjukkan adanya pasien positif bisa sembuh, sehingga memberikan dukungan dan solidaritas kepada pasien untuk segera sembuh," katanya.
Setelah sembuh pun, pasien positif tersebut harus diberikan apresiasi agar memiliki rasa percaya diri dan bisa kembali atau diterima di lingkungan masyarakat dengan baik karena dia sudah membantu memutus rantai penyebaran COVID-19 dengan bersedia diisolasi dan berjuang untuk sembuh.
Ria mengatakan, stigma negatif tersebut muncul karena corona merupakan penyakit baru dan banyak warga yang belum tahu bagaimana penularan penyakit tersebut, sehingga kekhawatiran itu muncul di kalangan masyarakat.
"Yang kedua stigma muncul karena takut pada hal-hal yang tidak diketahui, sehingga timbul kecemasan dan mengalihkan rasa takut itu ke orang lain sebagai objek yakni pasien COVID-19," ujarnya.
Menurutnya, kecemasan dan ketakutan tersebut tidak jarang menimbulkan stigma masyarakat kepada para pasien Covid-19 dan keluarganya, serta tenaga medis yang menanganinya. Bahkan kadang, stigma tersebut menimbulkan perilaku diskriminatif terhadap mereka yang terpapar virus corona.
Ia menjelaskan, pelabelan stigma negatif justru akan membuat penyebaran virus Corona tidak terkendali karena masyarakat yang memiliki gejala COVID-19 cenderung menyembunyikan dan tidak jujur saat berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena takut dengan stigma negatif dari masyarakat.
"Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghilangkan stigma negatif terhadap pasien COVID-19 dan keluarganya, serta tenaga medis yang menangani pasien terpapar virus corona, terutama di lingkungan terdekat yakni RT dan RW," ujarnya.
Tidak hanya dengan memberi dukungan moral, tetapi masyarakat juga bisa membantu memenuhi kebutuhannya agar pasien bisa mengisolasi diri secara optimal tanpa harus kontak fisik dengan keluarga pasien.
Salah satu keluarga pasien positif COVID-19 di Jember yang enggan disebutkan namanya mengakui adanya stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada pasien terjangkit corona dan keluarganya.
"Saya berharap masyarakat tidak memberikan stigma negatif kepada pasien dan keluarganya karena kami juga membutuhkan dukungan moral, agar anggota keluarga kami bisa sembuh dari COVID-19," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Masyarakat tidak perlu berlebihan dan tidak boleh menghakimi seseorang yang memiliki gejala maupun yang positif terjangkit COVID-19 karena mereka justru butuh dukungan moral agar bisa segera sembuh," kata Ria Wiyati di Kabupaten Jember, Selasa.
Ia juga menyayangkan masyarakat yang secara sosial menjauhi orang-orang yang menderita COVID-19, bahkan di beberapa daerah terjadi penolakan jenazah warga atau tenaga medis yang terpapar virus corona, sehingga menambah duka dalam bagi keluarga pasien yang sudah kehilangan anggota keluarganya.
"Tidak perlu mengucilkan pasien COVID-19 dan keluarganya yang akan menyebabkan pasien semakn depresi dan rendah diri, justru masyarakat seharusnya menjalin komunikasi untuk memberikan dukungan moral dan semangat, agar mereka bisa segera sembuh," ucap psikolog di Jember itu.
Menurutnya, masyarakat hanya perlu menerapkan protokol kesehatan dengan tidak melakukan kontak fisik dengan pasien, menjaga jarak, dan melakukan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, sehingga tidak perlu memberikan stigma negatif kepada pasien COVID-19.
"Selain itu, semua pihak diharapkan menyebarkan berita positif dengan melakukan edukasi yang menunjukkan adanya pasien positif bisa sembuh, sehingga memberikan dukungan dan solidaritas kepada pasien untuk segera sembuh," katanya.
Setelah sembuh pun, pasien positif tersebut harus diberikan apresiasi agar memiliki rasa percaya diri dan bisa kembali atau diterima di lingkungan masyarakat dengan baik karena dia sudah membantu memutus rantai penyebaran COVID-19 dengan bersedia diisolasi dan berjuang untuk sembuh.
Ria mengatakan, stigma negatif tersebut muncul karena corona merupakan penyakit baru dan banyak warga yang belum tahu bagaimana penularan penyakit tersebut, sehingga kekhawatiran itu muncul di kalangan masyarakat.
"Yang kedua stigma muncul karena takut pada hal-hal yang tidak diketahui, sehingga timbul kecemasan dan mengalihkan rasa takut itu ke orang lain sebagai objek yakni pasien COVID-19," ujarnya.
Menurutnya, kecemasan dan ketakutan tersebut tidak jarang menimbulkan stigma masyarakat kepada para pasien Covid-19 dan keluarganya, serta tenaga medis yang menanganinya. Bahkan kadang, stigma tersebut menimbulkan perilaku diskriminatif terhadap mereka yang terpapar virus corona.
Ia menjelaskan, pelabelan stigma negatif justru akan membuat penyebaran virus Corona tidak terkendali karena masyarakat yang memiliki gejala COVID-19 cenderung menyembunyikan dan tidak jujur saat berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena takut dengan stigma negatif dari masyarakat.
"Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghilangkan stigma negatif terhadap pasien COVID-19 dan keluarganya, serta tenaga medis yang menangani pasien terpapar virus corona, terutama di lingkungan terdekat yakni RT dan RW," ujarnya.
Tidak hanya dengan memberi dukungan moral, tetapi masyarakat juga bisa membantu memenuhi kebutuhannya agar pasien bisa mengisolasi diri secara optimal tanpa harus kontak fisik dengan keluarga pasien.
Salah satu keluarga pasien positif COVID-19 di Jember yang enggan disebutkan namanya mengakui adanya stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada pasien terjangkit corona dan keluarganya.
"Saya berharap masyarakat tidak memberikan stigma negatif kepada pasien dan keluarganya karena kami juga membutuhkan dukungan moral, agar anggota keluarga kami bisa sembuh dari COVID-19," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020