Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan untuk percepatan penanganan virus corona atau COVID-19 di wilayah setempat.

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Laila Mufida menyebut pertemuan virtual dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini belum lama lalu hanya bersifat seremonial.

"Pertemuan itu hanya mendengarkan informasi dari wali kota. Bukan forum untuk pengambilan keputusan berdasarkan pembahasan bersama,” katanya kepada wartawan di Surabaya, Selasa.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menilai yang disampaikan Wali Kota Tri Rismaharini terkait percepatan penanganan COVID-19 di Kota Surabaya masih belum terukur dan tidak berdasarkan pada pemetaan atau roadmap yang jelas.

"Saya mendengarkan langsung keluhan masyarakat terkait kebijakan Pemerintah Kota Surabaya dalam menangani COVID-19 yang ternyata tidak sejalan dengan praktiknya di lapangan," ujarnya.

Dia mencontohkan kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang menyebut pemeriksaan COVID-19 gratis bagi masyarakat.

"Ternyata ada syarat dan ketentuan berlaku yang sengaja disembunyikan. Akhirnya banyak masyarakat kecewa karena harus bayar,” ucapnya.

Mufida juga menyoroti penyediaan bilik disinfektan serta penyemprotan menggunakan drone yang dinilai tidak jelas parameternya apa. "Pada praktiknya kan juga banyak menuai kritikan," ujarnya.

Mufida sebenarnya ingin menanyakan langsung ke Wali Kota Tri Rismaharini saat pertemuan virtual belum lama lalu namun ketika itu waktunya sangat terbatas.

Senada, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Kota Surabaya Arif Fatoni menyebut pertemuan virtual dengan wali kota itu menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya memang tidak memiliki roadmap yang jelas dan terukur. 

"Pengadaan alat seperti bilik-bilik disinfektan itu tanpa koordinasi. Tiba-tiba dibuat. Ternyata kan hasilnya banyak dikritik masyarakat dan para ahli, mulai dari efektivitasnya sampai penggunaan bahannya. Bahkan ada pelarangan dari Kemenkes. Kalau seperti itu kan pemborosan uang rakyat,” ujarnya.

Selain itu soal pengadaan alat pelindung diri. Menurut Fatoni, Pemerintah Kota Surabaya melakukan pengadaan dengan batas penyelesaian satu bulan, yang sampai saat ini belum selesai.

"Padahal daerah lain dan perorangan ada yang bisa melakukan pengadaan dalam waktu satu minggu," katanya. 

Belum lagi soal koordinasi lintas instansi, Fatoni menilai buruk sekali. Dia mencontohkan Pemerintah Kota Surabaya seolah berupaya melakukan "overlap" terhadap tugas-tugas yang sebenarnya menjadi wewenang Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020