Pakar ilmu komunikasi yang juga dosen FISIP Universitas Jember Dr Muhammad Iqbal berharap peranan media massa untuk gencar menyebarkan jurnalisme harapan di tengah pandemi Coronavirus Disease (COVID-19), sehingga tidak terjebak dalam "jurnalisme virus".
"Media televisi semestinya lebih banyak mengemas jurnalisme berita yang memompa harapan, agar masyarakat bisa lebih tenang, siaga, sabar dan patuh berada di dalam rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona," kata Muhammad Iqbal di Jember, Jawa Timur, Kamis.
Contoh jurnalisme virus yang dimaksud adalah lebih banyak memberitakan perkembangan berapa jumlah yang positif, pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP), juga kelangkaan alat pelindung diri (APD) dan masker, serta emosi warga menolak pemakaman jenazah positif corona.
"Contoh yang lain seperti penertiban aparat atas kerumunan, kehebohan dramatis warga me-lockdown jalanan dengan zooming shot tulisan spanduk yang mencekam, karena jelas semua itu tanpa disadari sangat mungkin berakibat masifnya trauma dan menambah beban derita masyarakat," katanya.
Menurutnya, orang sudah lebih banyak beraktivitas di rumah saat ini sesuai anjuran pemerintah, sehingga punya banyak waktu untuk menonton televisi dan mendengarkan radio, sehingga peranan media televisi dan radio menjadi ujung tombak dalam jurnalisme harapan di tengah wabah COVID-19.
"Fungsi kontrol sosial media terutama televisi di masa wabah bencana seharusnya lebih mengemuka karena regulasi penyiaran di Indonesia sudah mengatur hal tersebut," katanya pula.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Tahun 2012 pasal 49 jelas mengatur bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/atau masyarakat yang terkena bencana atau musibah.
"Bahkan dalam pasal 50 menegaskan lagi bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, namun kadang hal tersebut terabaikan," ujarnya pula.
Ia menjelaskan televisi semestinya lebih banyak mengemas jurnalisme berita yang memompa harapan, bukan seperti yang terjadi saat ini, yakni media terjebak pada "jurnalisme virus", semacam jurnalisme perang yang umumnya memberitakan situasi perang, berapa jumlah korban, alat utama sistem persenjataan (alutsista), jalannya peperangan, dan drama pertempuran.
"Seharusnya dikedepankan adalah jurnalisme damai atau dalam pandemi disebut jurnalisme harapan. Seandainya perspektif jurnalisme media kompak berubah menumbuhkan harapan, saya sangat yakin seluruh elemen masyarakat juga kompak bangkit yang berdampak pada harapan tumbuh pesat, sehingga melawan Corona dari rumah bisa juga sangat dahsyat," ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat tetap tinggal di rumah sambil menggalang berbagai solidaritas dukungan dan untuk penanganan COVID-19, biarlah dokter, dan tenaga medis fokus bekerja menyembuhkan pasien.
"Kesadaran masyarakat seperti itu bisa diedukasi secara masif, kreatif dan produktif oleh jurnalisme harapan yang kompak disiarkan oleh seluruh media, khususnya televisi dan radio," ujar anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) itu lagi.
Iqbal berharap media harus lebih banyak menyiarkan segala aspek yang dapat mempersuasi terbentuknya kesadaran menggalang solidaritas bantuan antarkomunitas, seperti gerakan sejuta masker, penyediaan logistik sembako, penggalangan iuran membantu pekerja harian atau bahkan pengangguran, sehingga mereka tetap di rumah, tapi terbantu kebutuhan pangannya.
"Semua bisa media lakukan dengan berbagai slot program siaran. Tak cukup cuma tayangan running text jumlah donasi peduli pandemi Corona saja, tapi lebih banyak lagi produksi siaran dengan footage visual dan teks yang persuasif, kreatif dan edukatif yang bertujuan agar masyarakat lebih tenang dan sabar karena itulah permulaan kesembuhan," katanya.
Ia menjelaskan Menteri Kominfo harusnya segera tegas dalam mengatur porsi dan konten jurnalisme media penyiaran di tengah pandemi Virus Corona, serta KPI juga lebih ketat pula dalam mengawasi dan bila perlu memberi teguran keras bahkan sanksi jika sudah menyimpang dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau UU Penyiaran.
"Indonesia dan dunia sedang berduka atas pandemi COVID-19, sehingga harusnya media lebih mengedepankan tanggung jawab sosial, bukan cuma memikirkan business as usual," ujarnya pula.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Media televisi semestinya lebih banyak mengemas jurnalisme berita yang memompa harapan, agar masyarakat bisa lebih tenang, siaga, sabar dan patuh berada di dalam rumah untuk memutus rantai penyebaran virus corona," kata Muhammad Iqbal di Jember, Jawa Timur, Kamis.
Contoh jurnalisme virus yang dimaksud adalah lebih banyak memberitakan perkembangan berapa jumlah yang positif, pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pemantauan (ODP), juga kelangkaan alat pelindung diri (APD) dan masker, serta emosi warga menolak pemakaman jenazah positif corona.
"Contoh yang lain seperti penertiban aparat atas kerumunan, kehebohan dramatis warga me-lockdown jalanan dengan zooming shot tulisan spanduk yang mencekam, karena jelas semua itu tanpa disadari sangat mungkin berakibat masifnya trauma dan menambah beban derita masyarakat," katanya.
Menurutnya, orang sudah lebih banyak beraktivitas di rumah saat ini sesuai anjuran pemerintah, sehingga punya banyak waktu untuk menonton televisi dan mendengarkan radio, sehingga peranan media televisi dan radio menjadi ujung tombak dalam jurnalisme harapan di tengah wabah COVID-19.
"Fungsi kontrol sosial media terutama televisi di masa wabah bencana seharusnya lebih mengemuka karena regulasi penyiaran di Indonesia sudah mengatur hal tersebut," katanya pula.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Tahun 2012 pasal 49 jelas mengatur bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/atau masyarakat yang terkena bencana atau musibah.
"Bahkan dalam pasal 50 menegaskan lagi bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, namun kadang hal tersebut terabaikan," ujarnya pula.
Ia menjelaskan televisi semestinya lebih banyak mengemas jurnalisme berita yang memompa harapan, bukan seperti yang terjadi saat ini, yakni media terjebak pada "jurnalisme virus", semacam jurnalisme perang yang umumnya memberitakan situasi perang, berapa jumlah korban, alat utama sistem persenjataan (alutsista), jalannya peperangan, dan drama pertempuran.
"Seharusnya dikedepankan adalah jurnalisme damai atau dalam pandemi disebut jurnalisme harapan. Seandainya perspektif jurnalisme media kompak berubah menumbuhkan harapan, saya sangat yakin seluruh elemen masyarakat juga kompak bangkit yang berdampak pada harapan tumbuh pesat, sehingga melawan Corona dari rumah bisa juga sangat dahsyat," ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat tetap tinggal di rumah sambil menggalang berbagai solidaritas dukungan dan untuk penanganan COVID-19, biarlah dokter, dan tenaga medis fokus bekerja menyembuhkan pasien.
"Kesadaran masyarakat seperti itu bisa diedukasi secara masif, kreatif dan produktif oleh jurnalisme harapan yang kompak disiarkan oleh seluruh media, khususnya televisi dan radio," ujar anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) itu lagi.
Iqbal berharap media harus lebih banyak menyiarkan segala aspek yang dapat mempersuasi terbentuknya kesadaran menggalang solidaritas bantuan antarkomunitas, seperti gerakan sejuta masker, penyediaan logistik sembako, penggalangan iuran membantu pekerja harian atau bahkan pengangguran, sehingga mereka tetap di rumah, tapi terbantu kebutuhan pangannya.
"Semua bisa media lakukan dengan berbagai slot program siaran. Tak cukup cuma tayangan running text jumlah donasi peduli pandemi Corona saja, tapi lebih banyak lagi produksi siaran dengan footage visual dan teks yang persuasif, kreatif dan edukatif yang bertujuan agar masyarakat lebih tenang dan sabar karena itulah permulaan kesembuhan," katanya.
Ia menjelaskan Menteri Kominfo harusnya segera tegas dalam mengatur porsi dan konten jurnalisme media penyiaran di tengah pandemi Virus Corona, serta KPI juga lebih ketat pula dalam mengawasi dan bila perlu memberi teguran keras bahkan sanksi jika sudah menyimpang dari Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran atau UU Penyiaran.
"Indonesia dan dunia sedang berduka atas pandemi COVID-19, sehingga harusnya media lebih mengedepankan tanggung jawab sosial, bukan cuma memikirkan business as usual," ujarnya pula.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020