Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan bahaya ledakan populasi alga di ekosistem pesisir yang memiliki karakter berupa teluk seperti di Kota Ambon karena membuat kurangnya kadar oksigen dalam air yang sering kali menyebabkan kematian massal biota laut.

“HABs sering dijumpai di perairan pesisir yang berbentuk teluk. Perancis, Jepang, Malaysia, China, Thailand, dan Vietnam melaporkan kejadian HABs di pesisir dengan karakteristik teluk,” kata Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Nugroho Dwi Hananto dalam keterangan tertulisnya untuk kegiatan Talkshow Fenomena HABs di Teluk Ambon di ajang Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di ICE BSD Serpong yang diterima di Jakarta, Kamis.

Kasus ledakan populasi alga atau dikenal dengan istilah Harmful Alga Blooms (HABs) seperti yang kerap terjadi di Teluk Ambon salah satu tanda utama terjadi perubahan warna air laut menjadi merah. Masyarakat Maluku menjuluki fenomena alam tersebut dengan istilah laut merah atau air berdarah.

Nugroho menjelaskan Teluk Ambon merupakan perairan semi tertutup (semi-enclosed bay), di mana antara teluk bagian dalam dan teluk luar dipisahkan oleh sebuah ambang (sill) yang sempit dan dangkal.

“Kondisi ini menyebabkan sirkulasi massa air di teluk bagian dalam terhambat yang membuat terhambatnya sirkulasi massa air dan adanya pengaruh antropogenik dari daratan,” kata Nugroho.



Di Ambon rekam jejak fenomena HABs sudah tercatat setidaknya dekade 90-an. “Pada bulan Juli tahun 1994 terjadi blooming alga jenis Pyrodinium bahamense var compressum dan dilaporkan tiga orang meninggal dan puluhan orang harus dirawat secara medis setelah mengkonsumsi biota laut,” ujar dia.

Kejadian kemudian berlanjut di 2012 dengan jenis yang sama. Sementara pada tahun ini tercatat ada dua kejadian HABs di Teluk Ambon yaitu pada Januari dan akhir Agustus sampai awal September.

“Terjadi blooming jenis Gonyaulax dengan luasan area yang mengalami perubahan warna mencapai 88 hektar,” ujar Nugroho.

Pemahaman masyarakat akan bahaya HABs yang berdampak pada kematian ikan yang menjadi sumber pangan, masih rendah.

“Sedikit sekali masyarakat yang mengetahui berita kematian ikan akibat HABs. Untuk itu perlu adanya sosialisasi maupun menyebarluaskan informasi kepada masyarakat,” kata Nugroho. (*)

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019