Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa menyebutkan pernyataan sikap lima pelapor khusus hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Veronika Koman dibuat tak berimbang dan tak akurat karena hanya fokus pada satu aspek HAM.

Laporan itu tidak menyebutkan upaya pemerintah Indonesia menjamin hak konstitusional warga Papua dan Papua Barat, serta belum menjelaskan proses hukum yang tengah dihadapi pengacara/aktivis HAM, Veronika Koman, kata PTRI Jenewa melalui siaran tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Bagi PTRI Jenewa, penetapan tersangka terhadap Veronika telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

"Berkaitan dengan penyebaran informasi hoax dan kebencian oleh Veronika Koman, jelas tindakan tersebut tidak sesuai dengan pengakuannya sebagai pembela HAM namun lebih kepada sebagai tindakan individu yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong yang menimbulkan incitement dan provokasi yang menyebabkan situasi kerusuhan," kata PTRI Jenewa.

Lima pelapor khusus HAM PBB pada Senin menyiarkan pernyataan sikap yang meminta Pemerintah Indonesia mencabut tuntutan terhadap Veronika Koman agar ia dapat melanjutkan pelaporan mengenai penegakan HAM secara independen di Papua dan Papua Barat.

"Kami menyambut baik langkah yang dibuat Pemerintah Indonesia untuk menghadapi insiden rasisme, tetapi kami meminta Pemerintah Indonesia untuk melindungi Veronika Koman dari segala aksi balas dendam dan diskriminatif, serta mencabut tuntutan terhadap dirinya sehingga ia dapat melaporkan situasi penanganan HAM secara independen di Indonesia," kata lima pelapor khusus HAM PBB dalam pernyataan sikapnya.

Menurut PTRI Jenewa, Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali mengingat Indonesia menganut prinsip kesetaraan hukum dan asas praduga tak bersalah.

"Hak dan kewajiban Veronika Koman di mata hukum setara dengan WNI lain. Veronika Koman dijadikan tersangka karena telah dua kali mangkir terhadap pemanggilan penegak hukum," terang PTRI Jenewa.

Tak hanya soal Veronika Koman, PTRI Jenewa juga mengklarifikasi sejumlah poin dalam pernyataan sikap yang dibuat oleh lima pelapor khusus PBB, yaitu Clement Nyaletsossi Voule, David Kaye, Dubravka Šimonovi, Meskerem Geset Techane, dan Michel Forst.

Salah satu poin yang diklarifikasi terkait pembatasan akses internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat. PTRI Jenewa menjelaskan pelaksanaan demokrasi di Indonesia memungkinkan pemangku kebijakan membatasi data internet untuk sementara ke warga, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Ombudsman.

"Seiring dengan kondisi yang semakin kondusif di Papua, kebijakan ini (pembatasan internet, red) dicabut sejak tanggal 4 September 2019," tambah PTRI Jenewa.

Pembatasan internet itu, menurut PTRI Jenewa, dilakukan sebaga upaya mencegah penyebaran pesan kebencian dan berita bohong yang diyakini dapat memicu aksi kekerasan dan kericuhan di Papua. (*)

 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019