Kurs dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), karena investor khawatir tentang perlambatan ekonomi di Eropa.
Jerman, mesin ekonomi di Uni Eropa, baru saja mengumumkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu mengalami kontraksi 0,1 persen pada kuartal kedua 2019.
Banyak analis mengaitkan penurunan pertumbuhan di Jerman dengan ketegangan perdagangan antara ekonomi-ekonomi utama dunia, karena ekonomi Jerman sangat bergantung kepada ekspor.
Data menunjukkan ekonomi zona euro melambat ke tingkat pertumbuhan 0,2 persen pada kuartal kedua, menurut Eurostat.
Mata uang safe haven diuntungkan oleh ketakutan investor akan resesi global yang membayangi, dan melarikan diri ke aset-aset yang dianggap aman.
Inversi kurva imbal hasil (yield) - ketika perbedaan antara imbal hasil surat utang pemerintah bertenor dua tahun dan 10 tahun turun di bawah nol - adalah indikator resesi yang akan datang.
Pendinginan kurva terbalik yang dikirim melalui pasar global diperparah oleh data lemah dari China dan Jerman dan memudarnya optimisme terkait perundingan perdagangan AS-China pada Selasa (13/8/2019).
"Ada banyak malapetaka dan kesuraman menyebar ke seluruh dunia," kata John Doyle, wakil presiden untuk transaksi dan perdagangan di Tempus Inc di Washington seperti dikutip oleh Reuters. Kurva imbal hasil AS "adalah indikator resesi utama. Jerman, Italia, dan Inggris kemungkinan menuju resesi. Data Tiongkok hari ini sangat buruk."
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, naik 0,20 persen menjadi 98,0067 pada perdagangan akhir
Pada perdagangan akhir di New York, euro jatuh menjadi 1,1135 dolar AS dari 1,1173 dolar AS di sesi sebelumnya, dan pound Inggris naik menjadi 1,2058 dolar AS dari 1,2053 dolar AS di sesi sebelumnya. Dolar Australia turun menjadi 0,6745 dolar AS dari 0,6793 dolar AS.
Dolar AS dibeli 105,89 yen Jepang, lebih rendah dari 106,62 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS turun menjadi 0,9735 franc Swiss dari 0,9760 franc Swiss, dan naik menjadi 1,3322 dolar Kanada dari 1,3221 dolar Kanada. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Jerman, mesin ekonomi di Uni Eropa, baru saja mengumumkan bahwa produk domestik bruto (PDB) negara itu mengalami kontraksi 0,1 persen pada kuartal kedua 2019.
Banyak analis mengaitkan penurunan pertumbuhan di Jerman dengan ketegangan perdagangan antara ekonomi-ekonomi utama dunia, karena ekonomi Jerman sangat bergantung kepada ekspor.
Data menunjukkan ekonomi zona euro melambat ke tingkat pertumbuhan 0,2 persen pada kuartal kedua, menurut Eurostat.
Mata uang safe haven diuntungkan oleh ketakutan investor akan resesi global yang membayangi, dan melarikan diri ke aset-aset yang dianggap aman.
Inversi kurva imbal hasil (yield) - ketika perbedaan antara imbal hasil surat utang pemerintah bertenor dua tahun dan 10 tahun turun di bawah nol - adalah indikator resesi yang akan datang.
Pendinginan kurva terbalik yang dikirim melalui pasar global diperparah oleh data lemah dari China dan Jerman dan memudarnya optimisme terkait perundingan perdagangan AS-China pada Selasa (13/8/2019).
"Ada banyak malapetaka dan kesuraman menyebar ke seluruh dunia," kata John Doyle, wakil presiden untuk transaksi dan perdagangan di Tempus Inc di Washington seperti dikutip oleh Reuters. Kurva imbal hasil AS "adalah indikator resesi utama. Jerman, Italia, dan Inggris kemungkinan menuju resesi. Data Tiongkok hari ini sangat buruk."
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, naik 0,20 persen menjadi 98,0067 pada perdagangan akhir
Pada perdagangan akhir di New York, euro jatuh menjadi 1,1135 dolar AS dari 1,1173 dolar AS di sesi sebelumnya, dan pound Inggris naik menjadi 1,2058 dolar AS dari 1,2053 dolar AS di sesi sebelumnya. Dolar Australia turun menjadi 0,6745 dolar AS dari 0,6793 dolar AS.
Dolar AS dibeli 105,89 yen Jepang, lebih rendah dari 106,62 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS turun menjadi 0,9735 franc Swiss dari 0,9760 franc Swiss, dan naik menjadi 1,3322 dolar Kanada dari 1,3221 dolar Kanada. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019