Surabaya, (Antaranews Jatim) - Polemik validasi data pertanian perlu diselesaikan dan  Badan Pusat Statistik sebagai salah satu lembaga yang diakui negara perlu melakukan pembahasan bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Kementerian Pertanian.

"Data BPS itu lagu lama. Sejak beberapa tahun lalu orang sudah meragukan data yang disampaikan BPS. Misalnya teman teman di pengusaha, mereka lebih senang nyari data sendiri daripada menggunakan data yang disampaikan BPS," kata salah satu pengamat pertanian yang juga Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja.

Dalam keterangan persnya yang diterima di Surabaya, Jumat, Entang mengatakan bahwa pengusaha lebih suka mencari data sendiri ketimbang mengikuti gonjang-ganjing perdebatan validasi data, karena ketidakpercayaan dari sejumlah pengusaha terhadap data resmi pemerintah yang dikeluarkan BPS.

Menurutnya, para pengusaha sudah bosan dengan perbedaan data BPS dan lembaga lain yang tak pernah sinkron. Lembaga data yang diakui negara ini bahkan dianggap angin lalu karena sikapnya yang sering berubah-ubah.

"Nah, sekarang, menurut saya, sejauh mana lembaga data yang satu-satunya diakui di negara kita ini melakukan semacam pencarian data yang betul-betul baik dan benar," katanya.

Keraguan pengusaha salah satunya dengan melihat survei data di lapangan. Kata Entang, selama ini BPS tidak memiliki aparat sampai ke tingkat desa.

"BPS hanya sampai mantik-mantik di tiap kecamatan. Nah, dari mana BPS dapat data, pasti kan dari orang-orang pertanian atau penyuluh. Jadi, menurut saya, kalau mau revolusi data yang revolusioner lah. Intinya, BPS harus punya aparat sampai ke tingkat desa," katanya.

Menurut Entang, pemuktahiran data harus kembali dulu ke titik nol dan harus maju ke depan, jangan mundur ke belakang.

"Ke depan yang harus kita bentuk dengan baik berdasarkan data yang diterapkan BPS adalah kerja sama dengan ATR, dengan BIG, dengan BPPT. Dan kita anggap itu sebagai titik nol untuk melangkah ke depan," katanya.

Sebelumnya, polemik data BPS kembali mencuat, setelah Kementerian ATR/BPN merilis prediksi persentase pengurangan lahan sawah dengan berpijak pada data luas lahan sawah BPS yang menggunakan pendekatan baru Kerangka Sampel Area (KSA). 

Pengamat kemudian mengaitkan keterangan ini dengan penggunaan anggaran Kementerian Pertanian, dengan masih menggunakan data BPS yang lama. (*)

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018