Wahyudi Widodo tak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT karena selamat dari gempa bumi berkekuatan 7,4 SR dan tsunami yang mengguncang Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah yang menyebabkan 1.700 lebih warga meninggal dunia.

Wahyudi yang juga atlet paralayang datang bersama rombongan kontingen paralayang dari Jawa Timur untuk mengikuti kejuaraan paralayang yang merupakan rangkaian Festival Pesona Palu Nomoni di Kota Palu.

Mantan jurnalis Radar Jember itu tiba di Kota Palu pada Senin (24/9) malam atau empat hari sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan kota setempat, namun sejumlah atlet paralayang lain sudah tiba lebih dulu di Palu.

Ia bersama sejumlah atlet paralayang Jatim menginap di Borneo guest house yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari bibir pantai karena keterbatasan dana, namun sejumlah atlet yang memiliki uang banyak memilih menginap di Hotel Roa-roa yang berada di tepi pantai.

"Saya tidak bisa membayangkan, apabila saat itu saya punya uang banyak dan memilih menginap di hotel Roa-roa. Mungkin saya sudah tidak punya harapan untuk hidup," katanya lirih.

Gempa bumi terjadi menjelang magrib saat sejumlah atlet tengah santai dan tiba-tiba semua barang-barang bergerak hingga dinding pembatas rumah penginapan ambruk, sehingga terdengar teriakan di sana-sini. 

Getaran gempa yang semakin kuat menyebabkan para atlet yang menginap di Borneo guest house dan warga sekitar sulit untuk berdiri tegak, bahkan tidak jarang mereka jatuh berguling-guling akibat getaran yang sangat kuat.

"Semuanya panik berhamburan keluar dan lari ke jalan untuk menyelamatkan diri, bahkan sudah banyak warga yang terluka di sepanjang jalan. Beruntung ada mobil pikap panitia yang disediakan di sekitar penginapan yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri," katanya.

Ia mengatakan tidak mudah untuk melalui jalan saat menyelamatkan diri karena banyak aspal yang mengelupas hingga jalan terbelah, tiang listrik roboh, listrik padam hingga gelap gulita, dan bangunan berserakan di mana-mana, bahkan ribuan warga berhamburan di jalanan untuk menyelamatkan diri.

"Kami juga sempat mengajak anak-anak dan orang tua yang berlarian di jalanan untuk menyelamatkan diri dengan naik mobil pikap karena terbayang ancaman tsunami, mengingat lokasi kami tidak jauh dari pantai," ujarnya.

Sepanjang jalan terlihat kehancuran bangunan di mana-mana dan fasilitas umum rusak parah, sehingga mobil yang dikendarai sejumlah atlet paralayang dan warga itu terus mencari lokasi yang aman, agar selamat dari terjangan tsunami.

Akhirnya sejumlah atlet paralayang itu berhasil selamat dan keesokan harinya dievakuasi menuju Makassar hingga diterbangkan ke Bandara Abdurrahman Saleh Malang, namun dua rekan atlet paralayang Jatim menjadi korban yakni Ardi Kurniawan dan Serda Fahmi Risky.

Wahyudi mengatakan sebanyak 34 atlet se-Indonesia yang ikut kejuaraan paralayang di Kota Palu dan tujuh di antaranya meninggal dunia yakni dua atlet Jatim dan satu atlet Korea Selatan.

Kengerian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah itu membuat Wahyudi sadar bahwa manusia harus selalu bersyukur apapun kondisinya karena harta yang melimpah tidak akan berarti ketika ajal menjemput.

"Kejadian gempa bumi yang saya alami itu seperti kiamat saja, kemudian saya sadar bahwa harta benda duniawi hanya bersifat sementara dan hanya titipan. Namun begitu juga sebaliknya, apapun kondisinya saat susah, harus tetap bersyukur karena kita diberi nikmat untuk hidup," ujarnya.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018