Rasa khawatir hingga ketakutan akan melemahnya rupiah terhadap dolar AS yang sebelumnya mencapai Rp15 ribu memang dirasakan sebagian masyarakat, hal itu sangat wajar mengingat hal yang sama pernah terjadi di tahun 1998.
Pelemahan rupiah waktu itu mengakibatkan beberapa harga terkerek naik secara drastis, khususnya di sektor rill, bahkan imbasnya sangat terasa langsung ke masyarakat, sehingga gejolak di masyarakat pun tak terkendali ditambah adanya tuntutan reformasi yang memperparah kondisi Indonesia pada periode tersebut.
Sehingga wajar apabila pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir dianggap sebagian masyarakat sebagai ancaman yang bisa terjadi hal serupa seperti tahun 1998.
Tentunya, setiap kejadian apa pun itu selalu mempunyai faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi. Artinya, setiap peristiwa yang terjadi selalu ada penyebabnya, dan ada faktor pendampingnya.
Pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir disebabkan faktor eksternal, terutama gejolak Turki dan Argentina, serta adanya kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Namun demikian, kondisi Indonesia saat ini masih mempunyai beberapa faktor pendamping yang cukup kokoh, sehingga meski terjadi pelemahan rupiah namun beberapa aktivitas ekonomi masih berjalan kondusif, dan sektor riil belum terasa begitu signifikan.
Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Timur Difi A Johansyah, pelemahan rupiah terhadap dolar tidak sepenuhnya mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk seperti tahun 1998, meski diakui beberapa produk yang dihasilkan dari impor berupa bahan baku harganya meningkat, karena membelinya harus menggunakan dolar AS.
Namun, majemuknya struktur ekonomi nasional dan kuatnya daya tahan ekonomi daerah mampu menahan gejolak yang terjadi.
Hal senada juga diakui Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jatim, Mufti Anam, yang menurutnya ekonomi Indonesia masih akan tetap kokoh menghadapi pelemahan rupiah, sebab kondisi fundamental Tanah Air terjaga dengan baik.
Kondisi fundamental ekonomi nasional saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi tahunan juga terkelola di level 3,2 persen, bahkan beberapa lembaga rating Fitch mengakui semua risiko ekonomi nasional masih terkelola dengan baik.
Sehingga, bisa diartikan pelemahan rupiah saat ini berbeda dengan tahun 1998 yang menyebabkan krisis, dan yang membedakan adalah posisi fundamental ekonomi jauh lebih baik dibanding 1998.
Oleh karena itu secara naluri sebagai manusia mempunyai rasa takut dan khawatir adalah sah-sah saja, namun apabila berlebihan akan menjadi ancaman yang secara perlahan-lahan menggerogoti imunitas atau daya tahan tubuh manusia.
Solusinya, butuh rasa optimistis yang tinggi dan selalu berfikir positif atau khusnudhon terhadap apa-apa yang akan terjadi, karena hal itu bisa mempertebal imunitas pola pikir kita. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Pelemahan rupiah waktu itu mengakibatkan beberapa harga terkerek naik secara drastis, khususnya di sektor rill, bahkan imbasnya sangat terasa langsung ke masyarakat, sehingga gejolak di masyarakat pun tak terkendali ditambah adanya tuntutan reformasi yang memperparah kondisi Indonesia pada periode tersebut.
Sehingga wajar apabila pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir dianggap sebagian masyarakat sebagai ancaman yang bisa terjadi hal serupa seperti tahun 1998.
Tentunya, setiap kejadian apa pun itu selalu mempunyai faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi. Artinya, setiap peristiwa yang terjadi selalu ada penyebabnya, dan ada faktor pendampingnya.
Pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir disebabkan faktor eksternal, terutama gejolak Turki dan Argentina, serta adanya kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Namun demikian, kondisi Indonesia saat ini masih mempunyai beberapa faktor pendamping yang cukup kokoh, sehingga meski terjadi pelemahan rupiah namun beberapa aktivitas ekonomi masih berjalan kondusif, dan sektor riil belum terasa begitu signifikan.
Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Timur Difi A Johansyah, pelemahan rupiah terhadap dolar tidak sepenuhnya mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk seperti tahun 1998, meski diakui beberapa produk yang dihasilkan dari impor berupa bahan baku harganya meningkat, karena membelinya harus menggunakan dolar AS.
Namun, majemuknya struktur ekonomi nasional dan kuatnya daya tahan ekonomi daerah mampu menahan gejolak yang terjadi.
Hal senada juga diakui Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jatim, Mufti Anam, yang menurutnya ekonomi Indonesia masih akan tetap kokoh menghadapi pelemahan rupiah, sebab kondisi fundamental Tanah Air terjaga dengan baik.
Kondisi fundamental ekonomi nasional saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi tahunan juga terkelola di level 3,2 persen, bahkan beberapa lembaga rating Fitch mengakui semua risiko ekonomi nasional masih terkelola dengan baik.
Sehingga, bisa diartikan pelemahan rupiah saat ini berbeda dengan tahun 1998 yang menyebabkan krisis, dan yang membedakan adalah posisi fundamental ekonomi jauh lebih baik dibanding 1998.
Oleh karena itu secara naluri sebagai manusia mempunyai rasa takut dan khawatir adalah sah-sah saja, namun apabila berlebihan akan menjadi ancaman yang secara perlahan-lahan menggerogoti imunitas atau daya tahan tubuh manusia.
Solusinya, butuh rasa optimistis yang tinggi dan selalu berfikir positif atau khusnudhon terhadap apa-apa yang akan terjadi, karena hal itu bisa mempertebal imunitas pola pikir kita. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018