Surabaya (Antaranews Jatim) - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli memaparkan potensi ancaman radikalisme yang bisa masuk di lingkungan perguruan tinggi saat menjadi pembicara di depan mahasiswa baru Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Selasa.

"Sebagai alumni ITS, saya tidak ingin mendapatkan laporan bahwa di ITS terdapat mahasiswa yang terpapar radikalisme. Apalagi sampai ada mahasiswa yang tidak diketahui keberadaanya karena masuk menjadi anggota kelompok radikal," kata Hamli di depan 4.994 mahasiswa baru ITS.

Hamli menjelaskan, terpengaruhnya orang menjadi kelompok radikal terorisme disebabkan tiga faktor, yakni kondisi global yaitu merasa bahwa umat Islam tertindas oleh barat sehingga banyak yang berangkat ke Afganistan.

Kedua faktor regional di mana terdapat wilayah Mindanao, Filipina yang ingin mendirikan negara Islam sehingga banyak orang Indonesia yang kemudian ikut berperang.

Faktor yang ketiga, lanjut Hamli adalah nasional yakni di mana dia merasa umat Islam terdzolimi sehingga banyak orang-orang yang tadinya di Filipina pulang dan kemudian melakukan pengeboman di Indonesia dan beberapa di antaranya berstatus mahasiswa.

"Tahun 1985 sudah ada rekrutmen terhadap mahasiswa yang diberangkatkan ke Afganistan untuk turut berperang," katanya.

Menurutnya, kelompok radikal adalah memaknai jihad secara sempit dan hanya berdasarkan penafsiranya saja. Mereka menafsirkan sesuai dengan kepentinganya sehingga jihad selalu dimaknai hanya perang dan menghalalkan darah orang atau kelompok yang bukan anggotanya.

Imbas dari penafsiran kelompok radikal yang sempit tersebut digabungkan dengan berbagai isu baik global, regional dan nasional yang telah mereka framing dalam propaganda.

Banyak kalangan anak muda yang terpapar paham radikal terorisme karena menganggap melakukan bom bunuh diri sebagai "Fardu Ain" dan akan mendapatkan 72 bidadari jika melakukan bom bunuh diri.

"Pemaknaan yang sempit dan serampangan inilah yang telah menyebabkan salah seorang anak muda melakukan bom bunuh diri di JW Marriot, Jakarta beberapa tahun silam dan virus paham seperti inilah yang juga merasuki satu anggota keluarga di Surabaya sehingga meledaklah bom yang membuat bangsa Indonesia khususnya warga Surabaya terluka," ujar Hamil.

Karenanya, dia mengimbau mahasiswa agar lebih berhati-hati terhadap segala bujuk rayu kelompok radikal supaya tidak terjadi konflik yang disebabkan oleh paham yang merusak tersebut. Dalam pandangan kelompok radikal, jika terjadi konflik maka pintu pahala telah terbuka untuk melakukan aksi-aksi teror.

"Konflik bagi kelompok radikal adalah lahan subur sebagai ladang meraih pahala," ucapnya.

Maka baginya, wajib bagi seluruh masyarakat terkhusus mahasiswa untuk dapat mengenal ciri dan pandangan kelompok radikal agar mahasiswa dapat terhindar dan yang lebih penting dapat menyuarakan perdamaian.

"Agar paham radikal dan terorisme tidak subur, diharapkan semua kalangan jangan menjadi silent majority, karena jika menjadi `silent majority` kelompok radikal yang akan menyuburkan pahamnya, maka semua elemen anak bangsa harus bergerak dan melawan narasi propaganda yang diproduksi oleh kelompok radikal terorisme baik secara daring maupun luring" kata Hamli.(*)

Pewarta: Willy Irawan

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018