Trenggalek (Antaranews Jatim) - Seluruh nelayan di Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur menghentikan segala aktivitas melaut (mencari ikan di laut) demi menghormati ritual adat setempat, labuh laut Larung Sembonyo, Minggu.
Lebih dari 250 unit kapal jenis slerek (porse seine) dan 300-an kapal pancing labuh jangkar di kolam-kolam labuh dermaga.
Kalaupun ada aktivitas kapal hari itu adalah dalam rangka memeriahkan kegiatan larung sesaji sedekah laut, dengan mengangkut ratusan penumpang yang ingin menyaksikan proses larungan hingga ke batas teluk dengan perairan dalam (laut bebas).
"Ini sudah menjadi kesepakatan sosial antarnelayan di (Pelabuhan) Prigi. Bahwa selama gelaran Larung Sembonyo tak boleh ada yang melaut," kata Ketua Panitia Labuh Laut Larung Sembonyo, Sukariyanto.
Ia menjelaskan, penghentian aktivitas melaut berlaku selama tiga hari (3 x 24 jam), dimulai sejak Sabtu (28/7) dan akan berakhir pada Senin (30/7) malam,
"Setelah itu nelayan boleh melaut lagi. Kalau selama `sembonyoan` ada yang mencuri kesempatan melaut, akan dikenakan denda sesuai kesepakatan adat," katanya.
Aturan tidak melaut selama tiga hari berturut itu konon menjadi bagian tradisi yang dianut nelayan di Teluk Prigi sejak lama.
Maksud penghentian adalah untuk mencegah ada nelayan yang memanfaatkan kesempatan berburu ikan di saat mayoritas nelayan lain fokus menyiapkan pesta adat dan labuh laut yang juga digelar tiga hari berturut, mulai Sabtu (28/7) hingga Senin (30/7).
Rangkaian acara diawali dengan kegiatan keagamaan dan sosial, seperti salawatan karena mayoritas warga pesisir Prigi beragama Islam, santunan 125 yatim-piatu, dan pengajian pada Sabtu.
Dilanjutkan puncak prosesi larung sembonyo di dermaga utama Pelabuhan Prigi yang diselingi arak-arakan "buceng lanang" - "buceng wadon" dan hiburan campursari-dangdut pada Minggu.
Seluruh rangkaian acara dalam rangka tradisi sembonyo di Pelabuhan Prigi ditutup pada Senin (30/7) dengan acara pertunjukan wayang kulit semalam suntuk yang masih menjadi hiburan favoritas warga Trenggalek.
"Acara sembonyoan ini menghabiskan anggaran kurang lebih Rp200 juta yang merupakan hasil patungan seluruh nelayan, serta dukungan sponsor," kata Sukariyanto.
Sayang, Bupati Emil Elestianto Dardak maupun Wabup Mochammad Nur Arifin tak terlihat hadir dalam ritual adat terbesar di Trenggalek yang sebelum-sebelumnya selalu dihadiri kepala daerah terebut.
Camat Watulimo Retno Wahyudianto mengatakan, Bupati tidak bisa hadir lantaran sedang tugas dinas luar kota memenuhi undangan kegiatan Presiden Joko Widodo di Makasar, Sulawesi.
Sementara Wabup M Nur Arifin juga sedang berkegiatan di luar kota yang jadwalnya disebut Retno bersamaan dengan puncak acara larungan di Prigi.
"Semoga meski tanpa kehadiran beliau berdua, pelaksanaan labuh laut larung sembonyo yang sudah menjadi adat nelayan ke depan akan lebih berkembang lagi dan semakin baik, sehingga bisa menarik wisatawan," katanya
Pantauan selama gelaran acara, labuh laut larung sembonyo memantik minat belasan ribu warga lokal maupun wisatawan luarkota berdatangan untuk menyaksikan prosesi adat terbesar yang bertujuan sebagai tolak bala sekaligus wujud syukur dan harapan akan limpahan rezeki tangkapan ikan bagi para nelayan. (* )
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Lebih dari 250 unit kapal jenis slerek (porse seine) dan 300-an kapal pancing labuh jangkar di kolam-kolam labuh dermaga.
Kalaupun ada aktivitas kapal hari itu adalah dalam rangka memeriahkan kegiatan larung sesaji sedekah laut, dengan mengangkut ratusan penumpang yang ingin menyaksikan proses larungan hingga ke batas teluk dengan perairan dalam (laut bebas).
"Ini sudah menjadi kesepakatan sosial antarnelayan di (Pelabuhan) Prigi. Bahwa selama gelaran Larung Sembonyo tak boleh ada yang melaut," kata Ketua Panitia Labuh Laut Larung Sembonyo, Sukariyanto.
Ia menjelaskan, penghentian aktivitas melaut berlaku selama tiga hari (3 x 24 jam), dimulai sejak Sabtu (28/7) dan akan berakhir pada Senin (30/7) malam,
"Setelah itu nelayan boleh melaut lagi. Kalau selama `sembonyoan` ada yang mencuri kesempatan melaut, akan dikenakan denda sesuai kesepakatan adat," katanya.
Aturan tidak melaut selama tiga hari berturut itu konon menjadi bagian tradisi yang dianut nelayan di Teluk Prigi sejak lama.
Maksud penghentian adalah untuk mencegah ada nelayan yang memanfaatkan kesempatan berburu ikan di saat mayoritas nelayan lain fokus menyiapkan pesta adat dan labuh laut yang juga digelar tiga hari berturut, mulai Sabtu (28/7) hingga Senin (30/7).
Rangkaian acara diawali dengan kegiatan keagamaan dan sosial, seperti salawatan karena mayoritas warga pesisir Prigi beragama Islam, santunan 125 yatim-piatu, dan pengajian pada Sabtu.
Dilanjutkan puncak prosesi larung sembonyo di dermaga utama Pelabuhan Prigi yang diselingi arak-arakan "buceng lanang" - "buceng wadon" dan hiburan campursari-dangdut pada Minggu.
Seluruh rangkaian acara dalam rangka tradisi sembonyo di Pelabuhan Prigi ditutup pada Senin (30/7) dengan acara pertunjukan wayang kulit semalam suntuk yang masih menjadi hiburan favoritas warga Trenggalek.
"Acara sembonyoan ini menghabiskan anggaran kurang lebih Rp200 juta yang merupakan hasil patungan seluruh nelayan, serta dukungan sponsor," kata Sukariyanto.
Sayang, Bupati Emil Elestianto Dardak maupun Wabup Mochammad Nur Arifin tak terlihat hadir dalam ritual adat terbesar di Trenggalek yang sebelum-sebelumnya selalu dihadiri kepala daerah terebut.
Camat Watulimo Retno Wahyudianto mengatakan, Bupati tidak bisa hadir lantaran sedang tugas dinas luar kota memenuhi undangan kegiatan Presiden Joko Widodo di Makasar, Sulawesi.
Sementara Wabup M Nur Arifin juga sedang berkegiatan di luar kota yang jadwalnya disebut Retno bersamaan dengan puncak acara larungan di Prigi.
"Semoga meski tanpa kehadiran beliau berdua, pelaksanaan labuh laut larung sembonyo yang sudah menjadi adat nelayan ke depan akan lebih berkembang lagi dan semakin baik, sehingga bisa menarik wisatawan," katanya
Pantauan selama gelaran acara, labuh laut larung sembonyo memantik minat belasan ribu warga lokal maupun wisatawan luarkota berdatangan untuk menyaksikan prosesi adat terbesar yang bertujuan sebagai tolak bala sekaligus wujud syukur dan harapan akan limpahan rezeki tangkapan ikan bagi para nelayan. (* )
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018