Pamekasan (Antaranews Jatim) - Pelaksanaan pilkada serentak tanggal 27 Juni 2018 membutuhkan komitmen semua pihak, baik penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasangan calon bupati dan wakil bupati, tim pemenangan, partai politik pengusung, tokoh agama dan elemen masyarakat lainnya.

Hal ini karena pilkada adalah pesta rakyat, dan dalam pelaksanaannya melibatkan semua elemen masyarakat. Dengan demikian, sukses tidaknya pesta demokrasi lima tahunan yang digelar untuk memilih pasangan calon yang hendak menjadi pemimpin rakyat tersebut ditentukan oleh peran dan komitmen semua elemen masyarakat itu sendiri.

Kekompakan semua elemen masyarakat dalam berupaya mewujudkan pesta demokrasi yang aman, dan damai merupakan kunci sukses pelaksanaan pilkada yang sesuai harapan. Sebaliknya, riak-riak politik yang berpotensi memicu terjadinya konflik, kendatipun oleh sebagian kelompok kepentingan, maka berpotensi untuk menciptakan suasana tidak nyaman, termasuk timbulnya konflik sosial.

Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan merupakan sebagian kabupaten di Jawa Timur yang akan menggelar pilkada serentak yakni pilkada bupati dan wakil bupati sekaligus pilkada gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur yang akan digelar 27 Juni 2018.

Dua dari empat kabupaten yang ada di Pulau Garam tersebut, memiliki catatan sendiri dalam sejarah pemilu di Indonesia selama ini, terutama konflik pemilu.

Pencoretan bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati oleh institusi penyelenggara pemilu pada pilkada sebelumnya hingga mengakibatkan semua anggota KPU Pamekasan dipecat, sempat mewarnai proses pilkada di Kabupaten Pamekasan sebelumnya. Sedangkan di Kabupaten Sampang, pernah ditemukan adanya surat suara tercoblos tanpa ada proses pemungutan suara juga sempat terjadi, hingga KPU memutuskan untuk menggelar pemungutan suara ulang di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS).

Riak politik yang juga menyita perhatian semua pihak pada proses pilkada serentak 2018 ini adalah tantangan carok yang disampaikan "Lora" yakni putra kiai yang merupakan pendukung salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan kepada "lora" atau putra kiai lain yang berbeda dukungan.

Pesan tantangan "carok" atau perkelahian dengan menggunakan senjata tajam jenis celurit melalui pesan rekaman itu disampaikan secara berantai melalui pengguna aplikasi messenger whatshApp masyarakat Pamekasan, dan menimbulkan reaksi emosional sebagian masyarakat Pamekasan. Belum lagi aksi saling hujat di jejaring sosial antarpendukung masing-masing pasangan calon yang menambah situasi semakin memanas.

Kapolda turun tangan
Situasi politik yang kian memanas seperti tantangan "carok" melalui rekaman pesan media sosial yang dilakukan oleh pendukung pasangan calon bupati dan wakil bupati Pamekasan itu, menjadi perhatian tersendiri Kapolda Jatim Irjend Polisi Machfud Arifin.

Bahkan Sabtu (23/6) orang nomor 1 di institusi Polda Jatim itu, turun langsung ke Pamekasan dan Sampang berkoordinasi dengan petugas keamanan setempat, perwakilan institusi penyelenggara pemilu, tokoh masyarakat dan tokoh agama dari dua kabupaten itu.

Kapolda datang ke Pamekasan didampingi Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal TNI Arif Rahman. Kedua pejabat di dua institusi berbeda tersebut, langsung menggelar pertemuan terbatas dengan pejabat Polres Pamekasan, dan para kapolres se-Madura (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan), perwakilan institusi penyelenggara pemilu, panitia pengawas pemilu (Panwaslu) Pamekasan, tokoh masyarakat dan perwakilan tokoh ulama Pamekasan.

Kapolda meminta dukungan ulama dan semua elemen masyarakat terkait penyelenggaraan pilkada serentak di Jawa Timur yang akan digelar 27 Juni 2018. Sebab, menurut Kapolda, dukungan semua elemen masyarakat dan para ulama sangat berarti dalam menyukseskan pelaksanaan pilkada serentak di Jawa Timur ini yang aman, damai dan kondusif.

Kapolda tiba di Pamekasan sekitar pukul 09.00 WIB, dan hingga pukul 10.30 WIB pertemuan terbatas antara Kapolda dengan pejabat Polres Pamekasan, perwakilan tokoh masyarakat dan tokoh ulama masih berlangsung.

Ketua KPU Pamekasan Moh Hamzah dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pamekasan, serta Komandan Kodim 0826 Pamekasan Letkol Infantri Nuryanto juga hadir dalam pertemuan terbatas dengan Kapolda Irjend Machfud Arifin di aula Mapolres Pamekasan itu.

Setelah melakukan pertemuan terbatas itu, Kapolda Jatim dan Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal TNI Arif Rahman mengunjungi gudang penyimpanan logistik KPU Pamekasan dan melihat secara langsung kesiapan logistik pilkada serentak yang akan digelar 27 Juni 2018.

Kapolda datang ke gudang penyimpanan logistik KPU Pamekasan didampingi Pangdam V Brawijaya Surabaya Mayjen TNI Arif Rahman, Kapolres Pamekasan AKBP Teguh Wiboyo dan Komandan Kodim 0826 Pamekasan Letkol Infantri Nuryanto, serta sejumlah perwira Polres Pamekasan.

Selanjutnya, Kapolda dan Pangdam V Brawijaya menuju Kabupaten Sampang dan menggelar pertemuan institusi penyelenggara pemilu, Panwaslu dan Forpimda Pemkab Sampang, serta perwakilan ulama Sampang.

Sebagaimana di Pamekasan, di Sampang Kapolda juga menekankan pentingnya peran tokoh informal, yakni ulama berperan aktif mensukseskan pelaksanaan pilkada.

Kapolda Jatim ini juga meminta agar Polres Sampang mempertebal pengamanan saat pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Komitmen tokoh agama dan masyarakat untuk membantu menyukseskan pelaksaan pilkada tanpa konflik, menurut Kapolda sangat penting, disamping tingginya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi itu.

Ia juga berharap ada kekuatan masyarakat yang menghendaki perdamaian. Alasan itu disebabkan karena pesta demokrasi adalah pesta kegembiraan rakyat dalam memilih pemimpin. Yang juga perlu diantisipasi pascpencoblosan dan perhitungan suara di Sampang yakni beredarnya informasi yang tidak akurat soal kemenangan pasangan calon. Untuk itu, masyarakat harus menunggu hasil perhitungan langsung dari KPU setempat.

Peran ulama
Perhatian khusus Kapolda Jatim pada ulama di Madura dalam upaya ikut menciptakan situasi politik yang aman, damai dan kondusif, memang sangat wajar, karena tokoh informal ini memiliki peran penting dalam ikut mengarahkan tatanan sosial masyarakat di Pulau Madura.

Hasil penelitian akademisi Abdur Rozaki menyebutkan, selain ulama atau kiai, tokoh informal berpengaruh di Madura adalah blater. Kiai dan blater merupakan dua elite lokal dalam kehidupan sosial politik masyarakat Madura dan merupakan elite utama. Pengaruh kiai cukup beragam tergantung pada asal usul keturu?nan, kedalaman ilmu agama yang dimiliki, kepribadian, kesetiaan menyantuni umat, dan faktor pendukung lainnya.

Sedangkan pengaruh blater banyak ditentukan oleh kekuatan/ ketangkasan adu fisik, keberanian, kepribadian, kemenangannya dalam setiap menyelesaikan sengketa dan konflik sosial, serta faktor pendukung lainnya.

Ulama dan blater hidup di "dunia" berbeda, keduanya memiliki sumber kekuasaan dan pengaruh berbeda, namun keduanya bisa membangun relasi.

Dalam dalam buku berjudul "Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim kembar di Madura" yang diterbitkan pertama kali tahun 2004 oleh Pustaka Marwa, penulis buku menjelaskan, bahwa dalam hal perebutan kekuasaan politik lokal di Madura, kedua kelompok berbeda ini bisa bekerja sama saling menguntungkan dalam rangka mendukung upaya meraih kuasa bagi calon yang hendak didukungnya.

Relasi kiai-blater di Madura ini terjadi, karena dari sudut pandang sosial, blater dapat muncul dari strata dan kelompok sosial mana pun di dalam masyarakat Madura. Apakah itu di dalam lingkungan dengan latar belakang sosial keagamaan yang ketat, atau lingkungan sosial blater.

Maka, menurut hasil penelitian itu, tidak jarang ditemukan pula, seseorang yang sebelumnya pernah menjadi santri di pondok pesantren dalam perjalanan hidupnya berubah menjadi seorang blater.

Blater yang memiliki latar belakang santri, umumnya pandai mengaji dan membaca kitab kuning. Bagi masyarakat Madura sendiri bukanlah sesuatu yang aneh bila seorang blater pandai mengaji dan membaca kitab kuning karena dalam tradisi masyarakat Madura, pendidikan agama diajarkan secara kuat melalui "langgar" (mushalla), surau, masjid dan lembaga pesantren yang bertebaran di hampir setiap kampung dan desa.

Konteks ini pula yang membuat blater dengan latar belakang santri memiliki jaringan kultural dan tradisi menghormati sosok kiai.

Peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam Nazahtut Thullab (STAI Nata) Sampang, Madura, Jawa Timur Dr Moh Wardi menilai, relasi kiai dan blater di Madura itu tercipta, karena blater umumnya mampu menyenangkan hati kiai dengan berbagai cara yang mereka lakukan, tanpa sepengetahuan yang sang kiai, kendatipun yang dilakukan sang blater menentang nilai-nilai keagamaan.

Dalam catatan sejarah politik di Madura, menurut dia, pemenang dalam kontestasi politik adalah mereka yang umumnya didukung oleh dua kelompok berpengaruh tersebut, yakni kiai dan blater.

Pemerhati masalah-masalah sosial keagamaan ini lebih lanjut menilai, upaya pimpinan institusi Polri di Jawa Timur melakukan pendekatan khusus kepada ulama dalam upaya menciptakan situasi politik yang aman, dan damai saat pilkada serentak 27 Juni 2018 merupakan upaya yang tepat.

Namun demikian, pendekatan secara informal terhadap kelompok blater harus juga dilakukan, mengingat kedua (kiai dan blater) memang merupakan rezin kembar berpengaruh yang mewarnai bahkan bisa menentukan situasi politik lokal di Madura. (*)

Pewarta: Abd Aziz

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018