Jakarta, (Antara) - Perempuan dan anak kerap kali diloloskan dalam banyak pemeriksaan keamanan lantaran dianggap sebagai kaum yang tidak "membahayakan".

Celah itulah yang barangkali ingin dimanfaatkan kelompok teroris dalam melancarkan aksinya.

Sadisme, teror, dan rasa takut yang ditebarkan pun terasa akan lebih dramatis manakala aksi kekerasan yang terjadi justru dilakukan oleh kaum yang dianggap tidak membahayakan itu.

Maka jika dicermati ada pergeseran dan tren global di mana jaringan teroris terutama kelompok ISIS tampak mulai mengubah strategi dengan menggunakan pelaku perempuan dalam aksi mereka.

Dari beberapa jejak yang ditinggalkan memang harus diakui ada pergeseran strategi jaringan teroris kelompok ISIS dalam melakukan aksi terorisme termasuk di Indonesia.

Pengamat terorisme sekaligus Direktur The Islah Centre Mujahidin Nur melihat pergeseran tren tersebut dimana "lone wolf" yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki kini dilakukan oleh perempuan.

Ia mengamati aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh Puji Kuswanti di Surabaya dan penangkapan dua perempuan (Ditta Siska Millenia dan Siska Nurazizah) yang akan melakukan penusukan anggota Mako Brimob.

Menurut dia, tanda-tanda pergeseran strategi itu sebenarnya sudah bisa dibaca beberapa bulan terakhir ini di mana dalam video-video propaganda yang dibuat oleh ISIS sangat sering sekali memperlihatkan perempuan-perempuan ISIS melakukan pelatihan berbagai keahlian tempur baik menembak, memanah, maupun berbagai skill lapangan lainnya.

Kelompok ISIS juga dalam beberapa bulan terakhir ini mendorong para wanita yang berada di kelompok mereka untuk mengambil bagian dalam aksi-aksi teror di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Mujahidin mencontohkan perempuan yang akan melakukan penusukan seperti di Mako Brimob dan melakukan bom bunuh diri ("women kamikaze") seperti di Surabaya adalah fenomena yang sangat jarang terjadi.

Meski boleh jadi prosentase bom bunuh diri dan terorisme secara global di mana pelakunya adalah perempuan tetap kurang dari 10 persen.

Namun mewaspadai pergeseran tren ini dianggap sebagai sebuah langkah antisipasi yang baik.

                 Tren Global
Jika selama ini perempuan dan anak-anak lebih dianggap sekaligus menempati posisi sebagai obyek alias korban dalam berbagai peristiwa teror namun tren global beranjak berubah.

Mereka mengambil peran sebagai subyek penebar teror dan tak jarang menjadi martir sehingga aksi kelewat dramatis dan menyedihkan.

Aktivis perempuan Musdah Mulia pernah menuliskan bahwa di tingkat internasional keterlibatan perempuan sebagai subyek atau pelaku dalam aksi terorisme sejatinya sudah berlangsung lama, bahkan beberapa di antara mereka dipandang sebagai kunci kesuksesan kelompok teroris.

Misalnya saja pada pengujung abad 19, Vera Zasulich, seorang perempuan Rusia yang tercatat sebagai anggota kelompok revolusioner Narodnaya Volia tidak gentar melakukan aksi teror dengan mencoba membunuh Trepov, Gubernur St. Petersburg.

Saat berada di pengadilan, Zasulich mengatakan dirinya bukan pembunuh, tetapi dengan bangga menyebut: "saya adalah teroris".

Shcheblanova dan Yarskaya-Smirnova (2009), keduanya penulis dalam buku Gender Dynamics and Post-conflict Reconstruction menyatakan bahwa sekalipun Zasulich melakukan aksi teror, namun tetap dielukan sebagai pahlawan oleh publik karena berani melawan ketidakadilan sosial.

Selain di Rusia, Irlandia Utara dimana IRA berada, yaitu organisasi yang menuntut independensi Irlandia dari Kerajaan Inggris, juga melibatkan para perempuan mendukung aksi-aksi teror mereka.

Dua nama tercatat sebagai perempuan pemberani yang turut dalam aksi pengeboman Marian dan Dolores Price.

Pada 1973, mereka dijatuhi hukuman seumur hidup atas pengeboman di Old Bailey yang menyebabkan 216 orang luka-luka dan seorang meninggal.

Selanjutnya, Lindsey O'Rourke dari University of Chicago mencatat sejak 1980 di Lebanon, perempuan ambil andil dalam aksi terorisme untuk mengusir pasukan Israel.

                 Balas Dendam
Fenomena perempuan dalam lingkaran teroris nyatanya memang sudah berlangsung lama dengan berbagai motivasi yang melatarbelakangi peran-peran yang mereka ambil tersebut.

Di dunia internasional berbagai istilah yang melibatkan peran perempuan di antaranya istilah "Black Widows" di Chechnya, "Black Tiger" di Srilanka, bahkan fenomena perempuan yang berperan aktif dalam teror juga terjadi pada kelompok teror Boko Haram, di Nigeria.

Di Indonesia sendiri kata Mujahidin Nur, hal ini merupakan hal yang baru yang dilakukan oleh kelompok ISIS di mana bom bunuh diri dilakukan oleh perempuan seperti di Surabaya.

Hingga ia pikir ke depan tren perempuan menjadi bagian dalam aksi teror akan banyak terjadi termasuk di Indonesia.

Sebagaimana di negara-negara lain, Mujahidin menduga umumnya perempuan yang bisa direkrut dan mau melakukan aksi teror atau bom bunuh diri seperti terjadi di Mako Brimob dan Surabaya sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor motivasi-motivasi individual bisa balas dendam karena suaminya terbunuh karena aksi atau keterlibatan dalam terorisme, bisa karena suaminya dihukum karena tindakan terorisme.

Di Chechnya mulai tahun 2000-an, misalnya, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri sebagai balas dendam atas kematian suami mereka.

Di sisi lain, bisa juga sebagai wujud kemarahan kelompoknya (ISIS) pada pemerintah atau alasan lain karena merasa terisolasi atau termarjinalkan hingga bisa juga mereka (perempuan) melakukan bom bunuh diri untuk kepentingan kelompoknya (ISIS).

Bagi ISIS sendiri mereka bisa mendapatkan beberapa keuntungan ketika 'lone wolf' dengan melakukan bom bunuh diri ini dilakukan oleh perempuan.

Beberapa keuntungan itu yakni pertama, atensi atau pemberitaan media lebih maksimal ketika bom bunuh diri dilakukan oleh perempuan dan atensi besar itu merupakan tujuan utama tindakan terorisme.

Kedua, apabila mereka bisa memaksimalkan perempuan dalam aksi terorisme itu artinya mereka mempunyai jumlah "combatant" (petempur) lebih banyak lagi.

Ketiga, tentu saja pelaku teror perempuan lebih mudah melewati pemeriksaan keamanan di lapangan sehingga memudahkan aksi teror yang sudah direncanakan, kata Mujahidin.

Aktivis perempuan Musdah Mulia pun kemudian menyimpulkan bahwa sulit untuk tidak mengatakan fakta meski perempuan berperan sebagai subyek pelaku bom dan aktor utama dalam gerakan terorisme, namun sejatinya mereka justru hanyalah korban.

Korban dari ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan, korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik.

Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh para elit kekuasaan patriarki.

Oleh karena itu, Musdah menyarankan upaya mengatasinya harus dengan pendekatan dan sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama.

Pendekatan keamanan dengan kekuatan militeristik harus ditinjau ulang dan perlu disadari bahwa penggunaan pendekatan keamanan semata hanya akan membuat kelompok tersebut mati suri.

Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah dan lebih aktif menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat bergelora dan berujung dengan ledakan maut yang lebih dahsyat.

Hal paling penting adalah keinginan politik yang kuat dari negara dan seluruh elemen civil society untuk mengikis akar-akar penyebab terorisme, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang sudah sedemikian akut di masyarakat.
Ia menyadari bahwa tidak semua anggota kelompok ini adalah orang-orang miskin, seperti Dr. Azhari. Namun, narasi kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pintu utama penyebaran ideologi radikal mereka.(*)

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018