Surabaya (Antaranews Jatim) - Pakar Konstruksi asal Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir Chomaedhi CES GEO mengatakan sisi kiri Jembatan Widang Tuban, Jawa Timur, perlu dipasang teknologi sensor di titik-titik tertentu sepanjang bentang yang mampu mendeteksi kondisi jembatan.
Dosen Teknik Infrastruktur Sipil ITS itu dalam keterangan persnya di Surabaya, Rabu, berpesan agar perbaikan Jembatan Widang nantinya memperhatikan berat beban yang diizinkan dengan menggunakan teknologi berupa sensor.
"Peraturan itu harus dipatuhi, jembatan harus benar-benar mengakomodasi peraturan beban kendaraan dan peraturan gempa," kata Dosen asal Pulau Bawean, Gresik tersebut.
Ia menduga ambruknya Jembatan Widang sisi barat yang menghubungkan Kabupaten Lamongan dengan Kabupaten Tuban diakibatkan kelebihan muatan yang menjadi penyebab robohnya jembatan cincin lama yang dibangun tahun 1983 karena pada saat kejadian terdapat satu dump truk dan dua truk tronton yang melewati bentang jembatan.
Ia menjelaskan saat melalui tahap perencanaan sudah ada peraturan yang mengatur besar beban yang diperbolehkan melewati jembatan, namun pada masa sekarang peraturan tersebut mulai berubah mengikuti pembaruan pemerintah.
"Jika dulu jembatan kelas satu memiliki batas muatan 45 ton saat ini bisa mencapai 50 ton. Pada kasus Jembatan Widang yang memakan dua korban tersebut beban total yang mampu ditahan jembatan hanya 45 ton dengan rasio toleransi keamanan 1,5 atau beban maksimumnya 70 ton," kata dia.
Ia menjelaskan, satu dump truk dan dua tronton bisa jadi peningkatan bebannya mencapai dua persen dengan demikian dugaan utamanya adalah kelebihan muatan.
Chomaedhi menguatkan argumennya itu dengan melihat posisi robohnya jembatan karena ada patahan yang hanya terjadi di satu bentang jembatan, sedangkan fondasi masih berfungsi dengan baik.
"Kalau truk itu lewat secara bergantian mungkin jembatan masih aman. Tapi kalau lewat secara bersamaan otomatis jembatan akan ambruk," tuturnya.
Di sisi lain, kata Chomaedhi, tidak adanya kontrol terhadap beban yang boleh melewati jembatan diduga menjadi salah satu faktor robohnya jembatan karena seperti yang diketahui di area tersebut tidak ada jembatan timbang yang berguna sebagai kontrol jumlah muatan yang diizinkan.
"Jembatan itu sudah lama, jika mengikuti peraturan baru dari pemerintah yang bisa "mark up" hingga 20 persen tentunya tidak akan kuat," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Dosen Teknik Infrastruktur Sipil ITS itu dalam keterangan persnya di Surabaya, Rabu, berpesan agar perbaikan Jembatan Widang nantinya memperhatikan berat beban yang diizinkan dengan menggunakan teknologi berupa sensor.
"Peraturan itu harus dipatuhi, jembatan harus benar-benar mengakomodasi peraturan beban kendaraan dan peraturan gempa," kata Dosen asal Pulau Bawean, Gresik tersebut.
Ia menduga ambruknya Jembatan Widang sisi barat yang menghubungkan Kabupaten Lamongan dengan Kabupaten Tuban diakibatkan kelebihan muatan yang menjadi penyebab robohnya jembatan cincin lama yang dibangun tahun 1983 karena pada saat kejadian terdapat satu dump truk dan dua truk tronton yang melewati bentang jembatan.
Ia menjelaskan saat melalui tahap perencanaan sudah ada peraturan yang mengatur besar beban yang diperbolehkan melewati jembatan, namun pada masa sekarang peraturan tersebut mulai berubah mengikuti pembaruan pemerintah.
"Jika dulu jembatan kelas satu memiliki batas muatan 45 ton saat ini bisa mencapai 50 ton. Pada kasus Jembatan Widang yang memakan dua korban tersebut beban total yang mampu ditahan jembatan hanya 45 ton dengan rasio toleransi keamanan 1,5 atau beban maksimumnya 70 ton," kata dia.
Ia menjelaskan, satu dump truk dan dua tronton bisa jadi peningkatan bebannya mencapai dua persen dengan demikian dugaan utamanya adalah kelebihan muatan.
Chomaedhi menguatkan argumennya itu dengan melihat posisi robohnya jembatan karena ada patahan yang hanya terjadi di satu bentang jembatan, sedangkan fondasi masih berfungsi dengan baik.
"Kalau truk itu lewat secara bergantian mungkin jembatan masih aman. Tapi kalau lewat secara bersamaan otomatis jembatan akan ambruk," tuturnya.
Di sisi lain, kata Chomaedhi, tidak adanya kontrol terhadap beban yang boleh melewati jembatan diduga menjadi salah satu faktor robohnya jembatan karena seperti yang diketahui di area tersebut tidak ada jembatan timbang yang berguna sebagai kontrol jumlah muatan yang diizinkan.
"Jembatan itu sudah lama, jika mengikuti peraturan baru dari pemerintah yang bisa "mark up" hingga 20 persen tentunya tidak akan kuat," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018