Jakarta, (Antara) - Pemerintah Indonesia diminta lebih melindungi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir, yang semakin kehilangan akses mata pencaharian dan daerah penangkapan ikan akibat pembangunan infrastruktur, pariwisata, pencemaran lingkungan, penangkapan ikan ilegal, serta cuaca ekstrem.

"Nelayan tradisional adalah orang-orang paling miskin di seluruh dunia, yang membantu menyediakan ikan sebagai sumber protein paling murah yang bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat," kata Pelapor Khusus Dewan HAM PBB untuk Hak atas Pangan Hilal Elver dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Salah satu pembangunan yang merugikan hak-hak nelayan tradisional adalah reklamasi di Teluk Jakarta. Meskipun pembangunan proyek ini ditahan sementara, tetapi reklamasi yang dilakukan telah mengurangi 80 persen tangkapan ikan nelayan.

Hilal, yang telah menyaksikan kehidupan warga di pesisir Teluk Jakarta, menilai bahwa hilangnya mata pencaharian para nelayan akan mendorong mereka ke jurang kemiskinan yang ekstrem.

Banyak di antara anggota komunitas nelayan telah direlokasi empat kali, namun mereka bertekad mempertahankan kehidupan mereka dimanapun berada.

Untuk setiap konsesi di darat atau di air, kata Hilal, pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak masyarakat yang terkena dampak dihormati sepenuhnya. Warga yang terdampak harus diberitahu secara memadai tentang dampak yang diantisipasi secara tepat waktu, dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.

"Mereka juga perlu diberi pemulihan yang memadani jika terjadi pelanggaran hak-hak mereka," ujar Hilal.

Di sisi lain, PBB mengapresiasi upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah menerapkan kebijakan dan praktik pengawasan yang ketat untuk menghentikan kapal penangkap ikan ilegal memasuki perairan Indonesia.

Sekitar 17 ribu pulau di Indonesia menawarkan beragam potensi perikanan dan kelautan yang menjanjikan. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia telah menjadi salah satu eksportir ikan terkemuka dengan target ekspor hasil perikanan sebesar 5 miliar dolar AS pada 2018.

Hilal Elver melakukan kunjungan resmi ke Indonesia sejak 9 April lalu untuk menilai bagaimana rakyat Indonesia menikmati hak atas pangan, juga memberikan rekomendasi praktik kebijakan atas tantangan yang dihadapi saat ini.

Selama 10 hari di Indonesia, ia berkunjung ke Yogyakarta, Palembang (Sumatera Selatan), dan Ambon (Maluku) untuk mempelajari praktik-praktik dan isu khusus yang berkaitan dengan perbedaan wilayah.

Di Maluku, ia mengunjungi Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan Kate-Kate, Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan Laut, Balai Budidaya Laut, serta Sekolah Umum Perikanan Menengah. Hilal juga menyempatkan bertemu dengan Menteri KKP Susi Pudjiastuti pada hari terakhir kunjungannya di Jakarta.

Dalam akun instagramnya, Menteri Susi mengunggah sebuah foto bersama Hilal yang disertai keterangan bahwa pelapor khusus PBB itu telah menilai hasil kerja KKP dalam menjamin hak atas pangan masyarakat di daerah pesisir dan memberantas "IUU fishing" yang berdampak pada peningkatan stok ikan sehingga masyarakat Maluku mendapat hasil tangkapan yang melimpah.

"Alhamdulillah, kehormatan ini adalah untuk seluruh pihak yang bersama-sama bekerja dengan KKP dalam menyukseskan capaian yang kita peroleh. Semoga ini dapat menjadi motivasi bagi bangsa dan negara lain untuk menerapkan hal yang sama," tulis Susi dalam foto yang diunggahnya melalui akun @susipudjiastuti115, Rabu.(*)

Pewarta: Yashinta Difa

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018