Jember (Antaranews Jatim) - Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, bahkan memiliki sumber daya alam melimpah dan tanah yang subur dengan keaneragaman hayati yang tinggi.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian juga terus mendorong peningkatan produksi sejumlah komoditas untuk mewujudkan tercapainya swasembada pangan, bahkan sejumlah stimulan bantuan dikucurkan, seperti alat mesin pertanian, bibit, dan sarana produksi pertanian.
Namun, di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membuat kebijakan yang membuat psikologis petani "terpukul" pada awal tahun 2018, yakni melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton dari Vietnam dan Thailand.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespons kenaikan harga beras medium yang terjadi di sejumlah daerah dan harganya di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp9.450,00 per kilogram untuk beras medium dan beras premium Rp12.800,00/kg.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Jember Jumantoro "berteriak keras" atas kebijakan impor beras tersebut karena dilakukan pada awal Januari dan beras impor tersebut tiba di Indonesia pada saat panen raya, Maret 2018.
Ia meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan impor beras yang dinilai merugikan para petani karena setiap tahun pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras menjelang panen sudah dimulai di sejumlah daerah.
Menurut dia, pemerintah seharusnya mengoptimalkan produk pangan di dalam negeri dan melakukan pengecekan distok penggilingan beras. Selain itu, lahan pertanian yang sudah panen sehingga mengetahui stok pangan yang riil di lapangan.
Jumantoro berharap pemerintah tidak hanya mengacu stok beras yang ada di Perum Bulog saja karena Bulog di daerah hanya mampu menyerap 10 persen gabah petani dan kebijakan tersebut tentu membuat cemas para petani yang akan melakukan panen raya.
"Bagi petani, kebijakan melakukan impor beras pada saat mendekati masa panen sama dengan membunuh ekonomi rumah tangga petani karena harga beras impor tentu lebih murah sehingga harga gabah dan beras akan anjlok," ucap petani asal Desa Candijati, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember itu.
Kebijakan impor yang dipaksakan menjelang panen raya dapat menyebabkan harga gabah dan beras jatuh sehingga petani akan merugi. Kalau itu terus dilakukan, ke depan sektor pertanian akan makin ditinggalkan.
Dengan kebijakan impor, lanjut dia, bukan kemandirian dan ketahanan pangan yang dirasakan. Namun, kehancuran pangan yang didapatkan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada petani, seperti impor beras.
Peningkatan produksi padi di dalam negeri harus dilakukan secara masif dan pemerintah harus melakukan kebijakan yang berpihak pada petani sehingga tidak ada lagi daerah yang rawan pangan di Indonesia.
"Impor bukan solusi yang tepat untuk mengendalikan harga komoditas pangan karena selama ini kenaikan harga selalu ditindaklanjuti dengan kebijakan instan, seperti impor. Hal itu sangat merugikan petani, apalagi impor berbarengan menjelang panen raya," ujarnya.
Jumantoro meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada petani karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah petani. Dengan demikian, harapan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan dapat terwujud.
Kabupaten Jember merupakan salah satu lumbung pangan di Jawa Timur, bahkan stok beras di gudang Bulog selalu surplus dan sebagian berasnya selalu dikirim ke beberapa daerah yang kekurangan beras seperti di luar Pulau Jawa.
"Jangan sampai beras impor yang transit atau tiba di Tanjung Perak Surabaya dan Tanjungwangi Banyuwangi sampai bocor dan beredar di Jawa Timur karena Gubernur Jawa Timur sudah tegas menolak impor beras," ucap Ketua Asosiasi Pangan Jatim itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih melakukan impor beras sepanjang Januari s.d. Oktober 2017 tercatat impor beras mencapai 256.560 ton dengan nilai 119,78 juta dolar Amerika Serikat. Namun, jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada impor periode Januari s.d. Desember 2016 seberat 1,28 juta ton dengan nilai 531,84 juta dolar AS.
Sementara itu, beras impor asal Vietnam sebanyak 20.000 ton yang diangkut oleh kapal MV Vinasip Diamond tiba dan bersandar untuk bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Wangi, Kabupaten Banyuwangi, 23 Februari 2018.
General Manager PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Wangi Lina Ratnasari mengatakan bahwa alokasi pembongkaran beras impor di Jawa Timur sebesar 150.000 ton dengan perincian di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sebanyak 130.000 ton dan Pelabuhan Tanjung Wangi sebanyak 20.000 ton.
Pihaknya sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Wangi telah melakukan persiapan jauh jauh hari sebelumnya untuk mendukung proses percepatan pelaksanaan kegiatan bongkar beras tersebut.
Selain menyiapkan alokasi tambatan, serta bongkar muat dan pelayanan pemanduan penundaan kapal, Pelindo III juga menargetkan proses kegiatan bongkar beras itu akan berlangsung selama 10 s.d. 12 hari.
Beras impor asal Vietnam tersebut akan didistribusikan kembali ke beberapa wilayah di Indonesia bagian timur dengan kapal berukuran lebih kecil sehingga beras tersebut tidak didistribusikan di Jatim dan hanya transit saja.
Kendalikan Impor
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo mengatakan bahwa ketahanan pangan harus dilihat dari prspektif yang luas karena menyangkut kestabilan ekonomi makro. Hal tersebut akan terjaga kalau harga pangan tidak fluktuatif.
Persoalannya bahan pangan sifatnya musiman sehingga saat paceklik harganya naik dan saat panen. Maka, harganya akan cenderung turun sehingga pemerintah tidak ingin terjadi flkutuasi harga yang sangat tinggi karena akan berdampak pada inflasi. Di sisi lain, inflasi dapat memengaruhi kestabilan ekonomi makro.
Saat terjadi harga bahan pokok yang cukup tinggi, lanjut dia, biasanya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang paling mudah dan untuk jangka pendek, yakni kebijakan impor dan hal itu sah-sah saja.
Namun, meningkatnya ketergantungan pada ketahanan pangan Idonesia pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.
Kebijakan impor, kata dia, bukanlah sesuatu yang dianggap haram karena pemerintah berhak melakukan impor untuk mencukupi kebutuhan komoditas pangan. Namun, jangan sampai impor itu menekan harga komoditas pangan yang dijual petani sehingga mereka tidak dapat untung karena biasanya harga impor lebih murah.
Di sisi lain, kestabilan harga pangan seharusnya juga dijaga oleh pemerintah sehingga kebijakan impor tidak berdampak signifikan pada gabah atau beras petani. Namun, yang paling utama adalah mendorong produktivitas bahan pangan, kata Direktur Program Pascasarjana Universitas Jember itu.
Menurut Rudi, kebijakan impor tidak bisa dihindari, tetapi tetap harus dikendalikan oleh Pemerintah agar tidak terjadi impor bahan pangan yang berlebihan dan berdampak pada anjloknya harga komoditas pangan di dalam negeri.
Ia mengatakan bahwa pemerintah boleh saja mengeluarkan kebijakan impor. Namun, juga harus dipertimbangkan waktunya karena impor beras yang dilakukan pada bulan Februari 2018 sangat tidak tepat karena awal Maret 2018 sudah dimulai nya panen raya, sehingga hal itu akan berdampak pada jatuhnya harga gabah/beras petani.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga menegaskan komitmennya untuk menolak impor beras. Sejak 2013 telah mengeluarkan peraturan gubernur yang melarang impor beras masuk ke Jatim karena produksi beras di wilayah provinsi setempat surplus sehingga tidak memerlukan beras impor.
Produksi beras di Jatim pada tahun 2017 mencapai 8,751 juta ton, sedangkan beras yang dikonsumsi oleh masyarakat sekitar 3,5 juta ton sehingga masih ada surplus sekitar 5 juta ton yang sebagian didistribusikan ke provinsi laun yang produksi berasnya minim.
Di akhir tahun 2017, ketersediaan surplus beras Jatim sebanyak 200.000 ton. Pada bulan Januari 2018, tercatat produksi beras mencapai 295.000 ton dengan kebutuhan konsumsi mencapai 297.000 ton sehingga stok beras masih aman, yakni sebesar 198.000 ton.
Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten lumbung pangan di Jatim karena stok beras di Bulog dan penggilingan setempat selalu surplus setiap tahunnya, bahkan Perum Bulog Jember selalu mendistribusian beras cadangan pemerintah ke sejumlah daerah di luar Pulau Jawa.
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jember juga mematok target produksi padi di Jember mencapai 1 juta ton pada tahun 2018. Berbagai upaya peningkatan produksi padi dilakukan untuk mencapai target produksi tersebut.
Kasi SDM Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jember Luluk Herman berharap kebijakan impor tersebut tidak berdampak signifikan pada harga gabah dan beras di lapangan karena panen raya dimulai pada bulan Maret hinga April 2018.
"Kami terus dorong petani untuk meningkatkan produksi panennya. Namun, ketika sudah ada kebijakan impor, dikhawatirkan akan menyebabkan harga gabah dan beras yang dipanen petani akan anjlok," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian juga terus mendorong peningkatan produksi sejumlah komoditas untuk mewujudkan tercapainya swasembada pangan, bahkan sejumlah stimulan bantuan dikucurkan, seperti alat mesin pertanian, bibit, dan sarana produksi pertanian.
Namun, di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membuat kebijakan yang membuat psikologis petani "terpukul" pada awal tahun 2018, yakni melakukan impor beras sebanyak 500.000 ton dari Vietnam dan Thailand.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespons kenaikan harga beras medium yang terjadi di sejumlah daerah dan harganya di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp9.450,00 per kilogram untuk beras medium dan beras premium Rp12.800,00/kg.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Jember Jumantoro "berteriak keras" atas kebijakan impor beras tersebut karena dilakukan pada awal Januari dan beras impor tersebut tiba di Indonesia pada saat panen raya, Maret 2018.
Ia meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan impor beras yang dinilai merugikan para petani karena setiap tahun pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras menjelang panen sudah dimulai di sejumlah daerah.
Menurut dia, pemerintah seharusnya mengoptimalkan produk pangan di dalam negeri dan melakukan pengecekan distok penggilingan beras. Selain itu, lahan pertanian yang sudah panen sehingga mengetahui stok pangan yang riil di lapangan.
Jumantoro berharap pemerintah tidak hanya mengacu stok beras yang ada di Perum Bulog saja karena Bulog di daerah hanya mampu menyerap 10 persen gabah petani dan kebijakan tersebut tentu membuat cemas para petani yang akan melakukan panen raya.
"Bagi petani, kebijakan melakukan impor beras pada saat mendekati masa panen sama dengan membunuh ekonomi rumah tangga petani karena harga beras impor tentu lebih murah sehingga harga gabah dan beras akan anjlok," ucap petani asal Desa Candijati, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember itu.
Kebijakan impor yang dipaksakan menjelang panen raya dapat menyebabkan harga gabah dan beras jatuh sehingga petani akan merugi. Kalau itu terus dilakukan, ke depan sektor pertanian akan makin ditinggalkan.
Dengan kebijakan impor, lanjut dia, bukan kemandirian dan ketahanan pangan yang dirasakan. Namun, kehancuran pangan yang didapatkan ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada petani, seperti impor beras.
Peningkatan produksi padi di dalam negeri harus dilakukan secara masif dan pemerintah harus melakukan kebijakan yang berpihak pada petani sehingga tidak ada lagi daerah yang rawan pangan di Indonesia.
"Impor bukan solusi yang tepat untuk mengendalikan harga komoditas pangan karena selama ini kenaikan harga selalu ditindaklanjuti dengan kebijakan instan, seperti impor. Hal itu sangat merugikan petani, apalagi impor berbarengan menjelang panen raya," ujarnya.
Jumantoro meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada petani karena mayoritas penduduk di Indonesia adalah petani. Dengan demikian, harapan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan dapat terwujud.
Kabupaten Jember merupakan salah satu lumbung pangan di Jawa Timur, bahkan stok beras di gudang Bulog selalu surplus dan sebagian berasnya selalu dikirim ke beberapa daerah yang kekurangan beras seperti di luar Pulau Jawa.
"Jangan sampai beras impor yang transit atau tiba di Tanjung Perak Surabaya dan Tanjungwangi Banyuwangi sampai bocor dan beredar di Jawa Timur karena Gubernur Jawa Timur sudah tegas menolak impor beras," ucap Ketua Asosiasi Pangan Jatim itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia masih melakukan impor beras sepanjang Januari s.d. Oktober 2017 tercatat impor beras mencapai 256.560 ton dengan nilai 119,78 juta dolar Amerika Serikat. Namun, jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada impor periode Januari s.d. Desember 2016 seberat 1,28 juta ton dengan nilai 531,84 juta dolar AS.
Sementara itu, beras impor asal Vietnam sebanyak 20.000 ton yang diangkut oleh kapal MV Vinasip Diamond tiba dan bersandar untuk bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Wangi, Kabupaten Banyuwangi, 23 Februari 2018.
General Manager PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Wangi Lina Ratnasari mengatakan bahwa alokasi pembongkaran beras impor di Jawa Timur sebesar 150.000 ton dengan perincian di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sebanyak 130.000 ton dan Pelabuhan Tanjung Wangi sebanyak 20.000 ton.
Pihaknya sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) Cabang Tanjung Wangi telah melakukan persiapan jauh jauh hari sebelumnya untuk mendukung proses percepatan pelaksanaan kegiatan bongkar beras tersebut.
Selain menyiapkan alokasi tambatan, serta bongkar muat dan pelayanan pemanduan penundaan kapal, Pelindo III juga menargetkan proses kegiatan bongkar beras itu akan berlangsung selama 10 s.d. 12 hari.
Beras impor asal Vietnam tersebut akan didistribusikan kembali ke beberapa wilayah di Indonesia bagian timur dengan kapal berukuran lebih kecil sehingga beras tersebut tidak didistribusikan di Jatim dan hanya transit saja.
Kendalikan Impor
Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo mengatakan bahwa ketahanan pangan harus dilihat dari prspektif yang luas karena menyangkut kestabilan ekonomi makro. Hal tersebut akan terjaga kalau harga pangan tidak fluktuatif.
Persoalannya bahan pangan sifatnya musiman sehingga saat paceklik harganya naik dan saat panen. Maka, harganya akan cenderung turun sehingga pemerintah tidak ingin terjadi flkutuasi harga yang sangat tinggi karena akan berdampak pada inflasi. Di sisi lain, inflasi dapat memengaruhi kestabilan ekonomi makro.
Saat terjadi harga bahan pokok yang cukup tinggi, lanjut dia, biasanya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang paling mudah dan untuk jangka pendek, yakni kebijakan impor dan hal itu sah-sah saja.
Namun, meningkatnya ketergantungan pada ketahanan pangan Idonesia pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.
Kebijakan impor, kata dia, bukanlah sesuatu yang dianggap haram karena pemerintah berhak melakukan impor untuk mencukupi kebutuhan komoditas pangan. Namun, jangan sampai impor itu menekan harga komoditas pangan yang dijual petani sehingga mereka tidak dapat untung karena biasanya harga impor lebih murah.
Di sisi lain, kestabilan harga pangan seharusnya juga dijaga oleh pemerintah sehingga kebijakan impor tidak berdampak signifikan pada gabah atau beras petani. Namun, yang paling utama adalah mendorong produktivitas bahan pangan, kata Direktur Program Pascasarjana Universitas Jember itu.
Menurut Rudi, kebijakan impor tidak bisa dihindari, tetapi tetap harus dikendalikan oleh Pemerintah agar tidak terjadi impor bahan pangan yang berlebihan dan berdampak pada anjloknya harga komoditas pangan di dalam negeri.
Ia mengatakan bahwa pemerintah boleh saja mengeluarkan kebijakan impor. Namun, juga harus dipertimbangkan waktunya karena impor beras yang dilakukan pada bulan Februari 2018 sangat tidak tepat karena awal Maret 2018 sudah dimulai nya panen raya, sehingga hal itu akan berdampak pada jatuhnya harga gabah/beras petani.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga menegaskan komitmennya untuk menolak impor beras. Sejak 2013 telah mengeluarkan peraturan gubernur yang melarang impor beras masuk ke Jatim karena produksi beras di wilayah provinsi setempat surplus sehingga tidak memerlukan beras impor.
Produksi beras di Jatim pada tahun 2017 mencapai 8,751 juta ton, sedangkan beras yang dikonsumsi oleh masyarakat sekitar 3,5 juta ton sehingga masih ada surplus sekitar 5 juta ton yang sebagian didistribusikan ke provinsi laun yang produksi berasnya minim.
Di akhir tahun 2017, ketersediaan surplus beras Jatim sebanyak 200.000 ton. Pada bulan Januari 2018, tercatat produksi beras mencapai 295.000 ton dengan kebutuhan konsumsi mencapai 297.000 ton sehingga stok beras masih aman, yakni sebesar 198.000 ton.
Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten lumbung pangan di Jatim karena stok beras di Bulog dan penggilingan setempat selalu surplus setiap tahunnya, bahkan Perum Bulog Jember selalu mendistribusian beras cadangan pemerintah ke sejumlah daerah di luar Pulau Jawa.
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jember juga mematok target produksi padi di Jember mencapai 1 juta ton pada tahun 2018. Berbagai upaya peningkatan produksi padi dilakukan untuk mencapai target produksi tersebut.
Kasi SDM Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jember Luluk Herman berharap kebijakan impor tersebut tidak berdampak signifikan pada harga gabah dan beras di lapangan karena panen raya dimulai pada bulan Maret hinga April 2018.
"Kami terus dorong petani untuk meningkatkan produksi panennya. Namun, ketika sudah ada kebijakan impor, dikhawatirkan akan menyebabkan harga gabah dan beras yang dipanen petani akan anjlok," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018