Biaya politik memang mahal, namun lebih mahal biaya dalam menyelesaikan pertikaian antarwarga, begitulah pesan Kepala Negara Joko Widodo yang disampaikan kepada masyarakat saat acara penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Desa Hattu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Apa yang dikatakan presiden tersebut tidaklah berlebihan, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara yang banyak memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras dan agama dibanding negara lain di dunia.
Sehingga pesan kerukunan menjadi wajib dan penting disampaikan siapa pun, apalagi di tahun politik, karena kunci maju tidaknya sebuah negara terletak pada "keguyuban" atau kerukunan antarmasyarakatnya itu sendiri.
Kesadaran pentingnya menjaga kerukunan tersebut harus menjadi prioritas cara berfikir bangsa. Apabila hal itu sudah tertanam dan mendarah daging dalam setiap insan bangsa Indonesia, apapun yang menimpa akan mudah dilewati.
Sejarah mencatat, untuk mencapai kekuasaan politik tidak jarang seorang pemimpin akan menggunakan berbagai cara agar tampil menjadi pemenang dalam percaturan demokrasi. Padahal, masa kepemimpinan dan proses demokrasi di negara ini hanya berlangsung lima tahun sekali.
Artinya, apabila setiap warga negara sadar bahwa proses demokrasi itu hanya berlangsung sekejap, mereka diharapkan tidak merusak hubungan antartetangga dan persaudara yang tidak mempunyai jangka waktu.
Seperti peribahasa yang pernah disampaikan leluhur, "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Hanya karena masalah kecil yang tidak ada artinya, seluruh hubungan sosial yang baik menjadi rusak.
Oleh karena itu, marilah berpolitik dengan bijak, jangan dikorbankan persaudaraan kita gara-gara hanya masalah politik. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
Apa yang dikatakan presiden tersebut tidaklah berlebihan, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara yang banyak memiliki keanekaragaman budaya, suku, ras dan agama dibanding negara lain di dunia.
Sehingga pesan kerukunan menjadi wajib dan penting disampaikan siapa pun, apalagi di tahun politik, karena kunci maju tidaknya sebuah negara terletak pada "keguyuban" atau kerukunan antarmasyarakatnya itu sendiri.
Kesadaran pentingnya menjaga kerukunan tersebut harus menjadi prioritas cara berfikir bangsa. Apabila hal itu sudah tertanam dan mendarah daging dalam setiap insan bangsa Indonesia, apapun yang menimpa akan mudah dilewati.
Sejarah mencatat, untuk mencapai kekuasaan politik tidak jarang seorang pemimpin akan menggunakan berbagai cara agar tampil menjadi pemenang dalam percaturan demokrasi. Padahal, masa kepemimpinan dan proses demokrasi di negara ini hanya berlangsung lima tahun sekali.
Artinya, apabila setiap warga negara sadar bahwa proses demokrasi itu hanya berlangsung sekejap, mereka diharapkan tidak merusak hubungan antartetangga dan persaudara yang tidak mempunyai jangka waktu.
Seperti peribahasa yang pernah disampaikan leluhur, "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Hanya karena masalah kecil yang tidak ada artinya, seluruh hubungan sosial yang baik menjadi rusak.
Oleh karena itu, marilah berpolitik dengan bijak, jangan dikorbankan persaudaraan kita gara-gara hanya masalah politik. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018