Kalau ingin mencari contoh ringan tentang pengalaman dan gagasan yang ditulis dalam bahasa Jawa Ngoko--salah satu tingkatan bahasa Jawa yang dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari--mungkin buku berjudul Damar Ublik ini patut dibaca. 
Buku bersampul hitam dengan fokus utama sebuah pelita yang menyala ini adalah karya Dodik Priyambada, Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dodik telah berhasil mendokumentasikan pernik-pernik menarik dari sekelumit kisah hidup dan pemikirannya dalam bentuk esai yang dibalut dengan nilai-nilai luhur bersumber pada budaya Jawa yang diyakininya.
Penulis hingga kini masih aktif mengikuti kegiatan Pramuka di almamaternya di Institut Teknologi Surabaya. Penulis mengaku mencintai budaya Jawa yang tercermin dari berbagai aktivitas yang salah satunya adalah kerap diminta untuk menjadi pembawa acara pernikahan adat Jawa.
Buku ini memuat 30 judul esai, namun tidak saling terkait, sehingga pembaca bebas memilih untuk mulai membaca dari bagian mana saja.
Salah satu yang menarik adalah pembahasan yang menyorori stereotip orang Jawa yang kerap digambarkan lamban dan tidak lincah pada esai berjudul Alon-Alon Waton Klakon (halaman 63).
 
Menurut Dodik, sejatinya yang dimaksud dengan idiom tersebut adalah efektivitas. Dia mengatakan untuk mencapai sebuah keberhasilan dan kemuliaan jika mensyaratkan untuk dijalani dengan ritme perlahan-lahan maka lakukanlah dan jangan tergesa-gesa, ikutilah proses dan prosedurnya.
Ada banyak tema yang diangkat penulis dengan sentuhan falsafah Jawa seperti tentang ajakan untuk tidak meremehkan segala sesuatu (ojo dumeh), ajakan menanam kebaikan dan menyemai keutamaan-keutamaan hidup dan tema lainnya yang dikemas dengan gaya bertutur lugas sehingga mudah difahami bahkan bagi orang yang baru belajar bahasa Jawa sekalipun.
Bisa dikatakan bahwa ekspresi pikiran dan perasaan yang didokumentasikan dalam bentuk buku ini dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan nilai-nilai kehidupan dari anak-anak yang lahir pertengahan tahun 1960-an, yaitu generasi dimana penulis lahir dengan anak-anak yang lahir sesudahnya bahkan terus berlanjut hingga "kids zaman now" (anak jaman sekarang).

Penulis memang menaruh harapan agar bahasa Jawa tetap lestari dengan norma dan tata nilai luhur yang harus tetap dipertahankan lintas generasi.Satu-satunya yang mengganggu adalah tidak dicantumkannya alasan pemilihan judul buku, mengapa memakai diber judul Damar Ublik. Penulis mungkin lupa dan tidak menjelaskan maksud dan maknanya pada kata pengantar buku.
 
Meskipun pertanyaan itu sudah terjawab bila membaca esai halaman 65 yang berjudul Urip Iku Urup yang kerap digambarkan dengan sebuah pelita yang menyala dalam gelap, yang menerangi sekitar.
Pada bagian ini penulis memaknai bahwa hidup harus memberi arti dan berguna bagi masyarakat sekitarnya.
Sejatinya banyak parameter untuk menilai keberhasilan sebuah tulisan.
Parameter dasar untuk menilai tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki gagasan menarik dan memiliki misi yang ingin disampaikan.
Selain itu tulisan yang bagus adalah tulisan yang mencerminkan kedalaman dan keluasan berfikir penulisnya yang disampaikan dengan kecakapan berbahasa yang mumpuni. Bila itu yang menjadi tolok ukur, maka buku ini memang belum sempurna.
Namun hal yang menarik adalah buku ini berhasil membuat pembacanya turut merasakan suasanan hati penulisnya, bahkan testimoni beberapa pembaca terlihat mengucurkan air mata tatkala membaca bab pertama yang berkisah tentang perasaan kehilangan penulis terhadap putrinya.
 
Pada bagian ini terekam bagaimana suasana batin penulis, ketegarannya untuk mengihlaskan kepergian ananda menghadap Yang Maha Kuasa.
Pada tulisan tentang "Aja Nangis Ya, Le" pada halaman 36, penulis mengekspresikan rasa kangen terhadap ayahandanya yang telah berpulang dengan kisah kilas balik interaksi masa kecilnya dengan sang ayah.
Tulisan itu diakhiri dengan kalimat berbahasa Jawa yang artinya anak lelakimu yang selalu merindu. "Sugeng tindak bapak, mugi Allah paring papan kang sasae-saenipun dhumateng penjenengan." (selamat jalan bapak, semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu).

Mungkin, buku ini bisa dikatakan berhasil menjalankan misinya seperti yang dikatakan Nadirsyah Hosen dalam bukunya Tafsir Al-Quran di Medsos (2017).

Menurut ahli hukum sekaligus Rois Syuriah Pengurus Cabang Instimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia dan Selandi Baru itu, sebuah tulisan yang dahsyat akan mengajak pembaca menyusuri tepian imajinasi penulis dan mendorong pembaca mengembangkan imajinasinya sendiri.

"Saat imajinasi penulis bertemu dengan imajinasi pembaca, buku atau artikel yang anda baca telah berhasil menjalankan misinya," kata dia dalam tulisnya.
Buku kecil berjudul Damar Ublik dengan tebal 98 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Sahabat Mandiri Surabaya.

Menurut penulisnya, buku ini memang tidak dilengkapi dengan foto ataupun ilustrasi karena pesan visual terhadap teks memiliki penanganan yang khusus dengan tingkat kerumitan yang berbeda. Selain itu foto dan ilustrasi dalam konteks buku ini dianggab bisa mengurangi pesan yang ingin ditampilkan.

Editor buku ini adalah Sugeng Adipitoyo, seorang dosen bahasa Jawa pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Sugeng mengapresiasi buku ini sebagai sebuah karya yang menunjukkan kecintaan penulisnya terhadap budaya Jawa di tengah kering kerontangnya kebiasaan menulis.
Mungkin benar, bahwa pilihan untuk menuangkan ekspresi diri menggunakan bahasa Jawa dirasa tepat dan relevant saat ini sebagai salah satu bentuk merawat kebhinekaaan Indonesia. (*)
   
Peresensi adalah alumni Paramadina Graduate School of Communication  

Pewarta: Dyah Sulistyorini

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018