Tulungagung (Antara Jatim) - Puluhan umat Hindu dari berbagai pelosok daerah di Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek, Jawa Timur, Rabu menggelar ritual persembahyangan Galungan di Pura Jagat Tulung Urip yang berlokasi di pinggiran hutan jati Desa Wajak Kidul.
Ibadah persembahyangan disertai sesaji simbol "pendarmaan" (amalan) kepada dewa dan agama tersebut berlangsung khidmat meski peribadatan dilakukan secara sederhana di situs pura berbentuk alam terbuka di kaki bukit batu dan hutan jati, Dusun Tenggong, Kecamatan Boyolangu tersebut.
Ritual berlangsung kurang lebih dua jam mulai pukul 15.00 WIB yang diawali dengan dengan melakukan tirta atau penyucian diri sebelum masuk ke area Pura Jagat Tulung Urip.
Umat Hindu yang telah berkumpul di altar pura alam yang telah dipasang tenda untuk mengantisipasi hujan tersebut kemudian melakukan pujian, penyucian terhadap lingkungan sekitar tempat ibadah, dan disusul prosesi terakhir yakni sembahyang.
Usai sembahyangan, seluruh umat Hindu berbaur dengan aparat keamanan melakukan "purak" sesaji aneka hidangan makanan dan buah-buahan yang sebelumnya dihajatkan dalam ritual peribadatan di depan altar pura.
"Ritual hari ini merupakan puncak dari serangkaian dari peringatan Hari raya Galungan bagi umat Hindu," kata Perwakilan umat Hindu I Nengah Sutedja.
Sebelumnya sejak Minggu (29/10), kata Sutedja, umat Hindu sudah melaksanakan doa secara khusus di rumah masing-masing, karena selama tiga hari kemarin (Minggu-Senin-Selasa (29-31/10) turun buto kala tigo (turunnya tiga buto atau sejenis jin raksasa) yang akan mengganggu umat manusia dan memberikan iman yang tidak baik.
Dalam pidato sambutan membuka rituan sembahyangan Hari raya Galungan itu I Nengah Sutedja yang berlatar polisi dan berdarah Bali ini menjelaskan makna Galungan sebagai momentum pengendalian diri, mengekang hawa nafsu.
"Dengan Galungan ini umat Hindu melatih diri sendiri untuk mengendalikan hawa nafsu pancaindera, sehingga mendapatkan iman baik. Baik sebelumnya, sesaatnya maupun sesudahnya (Galungan) demi mewujudkan jalan Dharma. Jika para peringatan ini belum bisa mewujudkan, maka umat itu harus introspeksi diri," katanya menjelaskan.
Sementara itu, pemimpin sembahyangan Romo Mangku Musiran mengatakan Hari Raya Galungan sebagai momentum peringatan kemenangan "dharma".
Jelas dia, ritual Galungan dilaksanakan bagi para umat Hindu yang bisa mengendalikan diri agar tidak terkena masalah apapun, baik keluarga, teman atau bahkan masalah hukum selama 210 hari atau sekitar tujuh bulan.
Jika tidak, lanjut Romo Mangku, bisa diartikan umat bersangkutan telah kalah dengan keburukan maka tidak diperbolehkan ikut hari raya Galungan.
"Jika kena masalah tidak boleh merayakan galungan. Karena tidak bisa mengendalikan hawa nafsu," katanya.
Setelah 10 Hari Raya Galungan tersebut, selanjutnya akan digelar Hari Raya Kuningan, atau dalam bahasa sansekerta berasal dari kata wuning yakni hening, karena keheningan tersebut akan menuju alam sunyo luri.
"Untuk doanya, kami meminta yang baik-baik. Seperti masyarakat bisa hidup tentram," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Ibadah persembahyangan disertai sesaji simbol "pendarmaan" (amalan) kepada dewa dan agama tersebut berlangsung khidmat meski peribadatan dilakukan secara sederhana di situs pura berbentuk alam terbuka di kaki bukit batu dan hutan jati, Dusun Tenggong, Kecamatan Boyolangu tersebut.
Ritual berlangsung kurang lebih dua jam mulai pukul 15.00 WIB yang diawali dengan dengan melakukan tirta atau penyucian diri sebelum masuk ke area Pura Jagat Tulung Urip.
Umat Hindu yang telah berkumpul di altar pura alam yang telah dipasang tenda untuk mengantisipasi hujan tersebut kemudian melakukan pujian, penyucian terhadap lingkungan sekitar tempat ibadah, dan disusul prosesi terakhir yakni sembahyang.
Usai sembahyangan, seluruh umat Hindu berbaur dengan aparat keamanan melakukan "purak" sesaji aneka hidangan makanan dan buah-buahan yang sebelumnya dihajatkan dalam ritual peribadatan di depan altar pura.
"Ritual hari ini merupakan puncak dari serangkaian dari peringatan Hari raya Galungan bagi umat Hindu," kata Perwakilan umat Hindu I Nengah Sutedja.
Sebelumnya sejak Minggu (29/10), kata Sutedja, umat Hindu sudah melaksanakan doa secara khusus di rumah masing-masing, karena selama tiga hari kemarin (Minggu-Senin-Selasa (29-31/10) turun buto kala tigo (turunnya tiga buto atau sejenis jin raksasa) yang akan mengganggu umat manusia dan memberikan iman yang tidak baik.
Dalam pidato sambutan membuka rituan sembahyangan Hari raya Galungan itu I Nengah Sutedja yang berlatar polisi dan berdarah Bali ini menjelaskan makna Galungan sebagai momentum pengendalian diri, mengekang hawa nafsu.
"Dengan Galungan ini umat Hindu melatih diri sendiri untuk mengendalikan hawa nafsu pancaindera, sehingga mendapatkan iman baik. Baik sebelumnya, sesaatnya maupun sesudahnya (Galungan) demi mewujudkan jalan Dharma. Jika para peringatan ini belum bisa mewujudkan, maka umat itu harus introspeksi diri," katanya menjelaskan.
Sementara itu, pemimpin sembahyangan Romo Mangku Musiran mengatakan Hari Raya Galungan sebagai momentum peringatan kemenangan "dharma".
Jelas dia, ritual Galungan dilaksanakan bagi para umat Hindu yang bisa mengendalikan diri agar tidak terkena masalah apapun, baik keluarga, teman atau bahkan masalah hukum selama 210 hari atau sekitar tujuh bulan.
Jika tidak, lanjut Romo Mangku, bisa diartikan umat bersangkutan telah kalah dengan keburukan maka tidak diperbolehkan ikut hari raya Galungan.
"Jika kena masalah tidak boleh merayakan galungan. Karena tidak bisa mengendalikan hawa nafsu," katanya.
Setelah 10 Hari Raya Galungan tersebut, selanjutnya akan digelar Hari Raya Kuningan, atau dalam bahasa sansekerta berasal dari kata wuning yakni hening, karena keheningan tersebut akan menuju alam sunyo luri.
"Untuk doanya, kami meminta yang baik-baik. Seperti masyarakat bisa hidup tentram," katanya. (*)
Video Oleh Destyan H Sujarwoko
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017