Saat ini, di berbagai media, baik media massa daring, konvensional, sosial media hingga sekadar percakapan warung kopi tingkat bawah sampai atas, sering terdengar istilah "Kids Jaman Now" (kata Jaman pakai huruf "J", bukan "Z" sebagaimana KBBI).

Namanya saja zaman sekarang, semua yang dikatakan dan ditulis meski itu salah, kadang dianggap benar karena mengikuti tren.

Maksudnya "Kids Jaman Now" adalah anak-anak yang hidup zaman sekarang, yaitu mereka yang mengenal dunia internet, mengetahui kecanggihan teknologi informasi hingga segala sesuatu yang serba ada dan tersedia.

Mau makan ini tinggal ambil ponsel. Mau barang itu tinggal order dari rumah. Bahkan, mau melihat apapun di belahan dunia tinggal duduk manis sambil memandang layar android.

Pokoknya semua serba mudah, gampang dan tak membutuhkan waktu lama untuk membuat keinginan kita menjadi nyata.

Efeknya? Ya ada yang baik, ada juga yang buruk. Baiknya karena semua efektif, kreatif dan tidak susah. Sedangkan, buruknya membuat anak menjadi menjadi malas, tidak sehat karena kurang bergerak dan tentu saja meremehkan karena serba mudah.

Lantas, kapan dan apa batasan disebut "Kids Jaman Now" ini? Kata "Kids" adalah Bahasa Inggris yang artinya anak-anak.

Nah, menurut Hurlock (1980), untuk lebih jelasnya tahapan perkembangan manusia dapat dilihat pada uraian: masa pra-lahir yaitu dimulai sejak terjadinya konsepsi lahir, kemudian masa jabang bayi adalah satu hari-dua minggu.

Berikutnya masa bayi adalah dua minggu-satu tahun. Masa anak atau masa anak-anak awal adalah 1 tahun-6 tahun, anak-anak adalah 6 tahun-12/13 tahun, masa remaja 12/13 tahun-21 tahun, masa dewasa 21 tahun-40 tahun, masa tengah baya 40 tahun-60 tahun, kemudian masa tua 60 tahun hingga meninggal dunia.

Zaman sekarang, masa anak-anak sudah akrab dan melek internet. Meski "cuman" youtube, namun penguasaan gawai oleh anak-anak sudah bukan hal mengherankan. Mereka bahkan lebih pintar dari orang tua sendiri yang memang saat kanak-kananknya belum muncul ponsel pintar.

Kini, seiring semakin "booming"-nya istilah di atas, muncul istilah-istilah baru yang tak menyadurnya, mulai "Pemuda Jaman Now", "Mother Jaman Now", hingga "Jaman Now-Jaman Now" lainnya.

Dalam konteks kali ini, mari kita berbicara yang positif-positif dari "Pemuda Jaman Now". Apalagi setiap 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Tak salah kita membahas pemuda sebagai aset bangsa, generasi penerus dan calon pemimpin masa akan datang.

Di Indonesia sekarang ngetren istilah pemuda "Milenial". Yang dikatakan milenial ini, adalah mereka kelahiran tahun 1980-2000. Tapi, 5-10 tahun di bawah 1980 juga masih sah dikatakan sebagai pemuda milenial.

Artinya, mereka yang berada di usia remaja hingga 45 tahunan tidak perlu diperdebatkan apakah dia pemuda era milenial atau tidak. Yang lebih penting, menurut saya, pada usia-usia tersebut mayoritas mereka "makan bangku" S1, bahkan S2.

Dengan demikian, bisa dikatakan mereka yang disebut pemuda milenial mengusai ilmu pengetahuan, memiliki wawasan luas hingga melek teknologi informasi.

Bahkan, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 2018, pemuda-pemuda inilah yang namanya mencuat dan dianggap mampu mengisi kursi pemerintahan di provinsi, meski masih sebagai pendamping calon Gubernur.

Sebut saja, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang kini resmi menyandang status bakal Calon Wakil Gubernur Jawa Timur mendampingi Saifullah Yusuf (Gus Ipul) melalui usungan PKB dan PDI Perjuangan.

Tak kaget jika Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri saat mengumumkan rekomendasi pasangan Cagub-Cawagub Jatim pada 15 Oktober 2017 di Jakarta menyebut Abdullah Azwar Anas sebagai generasi milenial yang memiliki segudang prestasi, baik pribadi maupun pemerintahannya.

Ada juga nama Bupati Trenggalek Emil Dardak, begitu juga wakilnya Mochammad Nur Arifin (peraih rekor MURI sebagai wakil bupati termuda di Indonesia saat dilantik dua tahun silam).

Tentu ada nama-nama pemuda lainnya, khususnya di Jatim, yang mungkin belum muncul di permukaan, namun memiliki potensi berkembang hingga berhasil di masa depan.

Tak itu saja, secara umum negara kita sejatinya diuntungkan dengan bonus demografi yang tentu bermanfaat untuk pembangunan negara karena usia produktif masyarakatnya berlimpah.

Berdasarkan catatan, data demografi Indonesia menyebutkan jumlah pemuda di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan usia antara 16-30 tahun berjumlah 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta orang (BPS 2014).

Maka secara kuantitas angka ini cukup besar, ditambah dalam waktu dekat ini mulai 2020 sampai 2035, Indonesia akan menikmati suatu era yang langka yang disebut dengan bonus demografi itu.

Sebuah kepercumaan dan kesia-siaan jika bangsa ini tak memanfaatkan mereka untuk memajukan Indonesia. Ini tak lain karena jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa ini, yaitu mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk hingga 297 juta jiwa.

Kesimpulannya, anak adalah cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional.

Anak adalah aset dan masa depan negara. Era mendatang  berada di tangan anak-anak zaman sekarang. Mereka akan tumbuh menjadi remaja, dewasa dan memimpin.

Semoga "kids-kids jaman now" dan "pemuda-pemuda jaman now" mampu merealisasikan impian rakyat Indonesia. Menjadikan negara ini menjadi lebih baik, lebih bermartabat dan lebih hebat.

Tak hanya dari segi politik pembangunan, tapi juga ekonomi, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, pariwisata, hingga olahraga (wabil khusus sepak bola).

Ayo buktikan wahai "Pemuda Jaman Now..!!"

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017