Bagaimana nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme dimasyarakatkan terutama di kalangan angkatan muda, baik yang terpelajar maupun yang awam, di era ketika demokrasi sudah menjadi landasan berpolitik?.

Pertanyaan itu, untuk tema yang lebih sempit yakni program bela negara, mendapat jawaban dari Presiden Joko Widodo dengan mengatakan bahwa sosialisasi program bela negara jangan dilakukan secara dogmatis dan instruktif.

Pekan depan, memasuki Agustus, momen penting menjelang perayaaan Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia, perbincangan tentang urgensi penumbuhan nilai-nilai kebangsaan akan menjadi salah satu topik utama di antara topik-topik hangat mutakhir lainnya.

Apa makna peringatan Presiden tentang metode sosialisasi program bela negara yang tak boleh secara dogmatis dan instruktif itu? Sedikitnya, Presiden tak mau para pejabat negara dan jajarannya di kementerian, antara lain Kementerian Pertahanan, menjadikan program bela negara sebagai program indoktrinasi.

Dalam konteks internal institusi negara, seperti kepada prajuri, metode dogmatis indoktinasi dan instruktif masih bisa dimaklumi namun kepada khalayak masyarakat luas, cara semacam itu jelas kontraproduktif bagi pematangan praktik demokrasi.

Sesungguhnya konsep bela negara di era ketika angin kebebasan beropini begitu kencang yang antara lain dihembuskan  lewat kemajuan teknologi informasi tak perlu dimaknai sebagai aktivitas eksklusif yang hanya dijalankan oleh institusi khusus.

Konsep bela negara itu  sendiri sebenarnya tak perlu dimaknai secara harfiah dalam konteks  imperatif warga menjalankan kewajibannya. Artinya, praksis bela negara memiliki banyak bentuk terutama ketika konsep itu ditempatkan pada skala yang lebih umum yang secara populer dikenal dengan konsep kebangsaan.

Secara naluriah pada dasarnya setiap orang terikat secara emosional terhadap asal usul eksistensinya. Tak mengherankan jika ada ungkapan bahwa hujan emas di negeri orang tak menghentikan kaum ekspatriat untuk kembali ke negeri asalnya. Bahkan lebih mengerucut secara geografis, kultur mudik pun mengindikasikan tentang kecintaan warga pada kampung halamannya.

Itu sebabnya bisa dimaklumi bila rasa kebangsaan pun dihayati oleh seorang manajer klub sepak bola kewarganegaraan Prancis Arsene Wenger, yang selalu mengutamakan membeli  pemain-pemain profesional warga Prancis untuk Arsenal yang memiliki penggemar di seluruh dunia.

Wenger adalah contoh bagaimana nasionalisme tetap bisa diwujudkan dalam hidup keseharian tanpa mengorbankan profesionalitas. Apakah Wenger saat remaja sering mendapat tempaan dogmatis instruktif dalam program bela negara Prancis? Mungkin ya mungkin tidak. Yang jelas, lewat proses belajar di institusi pendidikan dari jenjang dasar hingga sedikitnya menengah atas, nilai-nilai kebangsaan itu sudah ditanamkan kepada warga negara, di mana pun dan kapan pun.

    
Bukan monopoli aparat
     
Memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan bukanlah monopoli tugas aparat negara. Mengacu pada seruan kalangan cendekiawan, nasionalisme dengan sendirinya terwujud lewat pengutamaan pemakaian bahasa nasional, pemilihan produk kultural bangsa.

Dengan demikian, siapa pun yang dalam praktik berbahasanya selalu memuliakan martabat bahasa Indonesia dalam konteks percakapan sesama warga negara Indonesia pada dasarnya adalah nasionalis teladan.

Fenomena ini harus dipahami secara proporsional dalam arti pecinta bahasa Indonesia tidak perlu diterjemahkan sebagai penutur yang antibahasa asing. Malah sebaliknya, pecinta bahasa Indonesia perlu belajar bahasa asing.

Hanya dengan menguasai bahasa asing, orang Indonesia akan punya minat untuk selalu terlibat dalam perbaikan dan pengembangan bahasa Indonesia. Namun bukan dengan cara mencampuradukkan kosa kata asing dalam percakapan berbahasa Indonesia.

Anton M Moeljono (mendiang) adalah representasi nasionalis sejati di bidang perekayasa bahasa nasional. Ketika berbicara dan menulis dalam Bahasa Indonesia, tak satu pun kosa kata asing muncul di sana kecuali jika kata asing itu jadi bagian dari substansi pembahasan, bukan semata-mata sebagai medium pengungkap makna.

Begitu juga dengan pecinta (produk) kultural bangsa. Dalam konteks ini, pemahamannya perlu ekstra hati-hati. Sebab, warga yang nasionalis bukan berarti harus mengenakan batik Cirebon atau sepatu Cibaduyut dan menampik produk impor sama sekali.

Dalam pemaknaannya di dunia produk kesenian pun demikian. Warga tak mesti mendengar angklung Sunda atau keroncong gubahan Gesang yang didendangkan Waljinah dan menampik musikal opera klasik.

Nyatanya, pada kebanyakan pecinta musik sejati di skala musik dunia dari klasik hingga kontemporer, rata-rata mereka juga pecinta dan pengagum paling otentik terhadap musik-musik etnik yang tersebar di bumi nusantara.

Hanya dengan memahami secara mendalam dan meluas produk kesenian global, warga akan punya penghayatan yang lebih dalam terhadap produk kultur dalam negeri. Tony Prabowo, penggubah komposisi musik khusus untuk opera kelas dunia yang lebih banyak disanjung di luar negeri dan mengharumkan nama Indonesia adalah nasionalis yang layak dicontoh.

Begitu juga dengan kalangan sineas terkemuka saat ini. Bahkan, untuk menjadi nasionalis tulen bukan cuma mengunyah dan menyanjung yang berbau nasional sebagaimana selama ini banyak digembar-gemborkan oleh para pendidik, terutama di era otokratis. Sineas Garin Nugroho, Riri Riza dan rekan produsernya Mira Lesmana bekerja keras memblusuk ke desa-desa Sumba, Nusa Tenggara Timur, dalam berkarya, menghasilkan sinematografi berkelas internasional.

Kaum pemulia nilai-nilai kebangsaan yang sungguh bermakna dalam mewujudkan nasionalisme antara lain ya kaum penghasil produk budaya semacam Tony Prabowo dan para seniman lain yang sudah memasyarakatkan Indonesia bukan cuma di kalangan warganya sendiri tapi di kancah masyarakat dunia.

Mungkin itulah yang dimaksud Jokowi ketika presiden dari kalangan akar rumput itu mengatakan bahwa program bela negara jangan dilakukan secara dogmatis dan instruktif. (*)

--------------
*) Penulis adalah Ombudsman Perum LKBN Antara.

Pewarta: Supervisor

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017