Surabaya (Antara Jatim) - Jika harga cabai melonjak diibaratkan dengan  harga cabai semakin "pedas", maka harga garam yang naik dalam beberapa pekan terakhir barangkali bisa dianalogikan dengan harganya yang semakin "asin".  

Harga garam di berbagai daerah dalam beberapa pekan terakhir naik. Kenaikan harga garam tersebut tidak hanya dirasakan di Jatim yang memiliki "Pulau Garam" Madura, tapi cukup merata di  Indonesia, seperti Jateng,  Lampung dan Jabar. 

Harga garam dapur halus di sejumlah pasar tradisional di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jateng, melonjak drastis dari Rp7.500 menjadi Rp13.000 per bal isi 20 bungkus. Sedangkan garam dapur kotak naik dari Rp5.000 per kantong isi 20 biji  menjadi Rp7.000-Rp8.000 per kantong isi 20 biji.

Kenaikan juga dirasakan masyarakat di Lampung sehingga produsen ikan asin di daerah itu yang membutuhkan garam untuk proses produksinya, merasakan imbas kenaikan tersebut. 

"Sekarang harga garam untuk ikan asin mencapai Rp250.000 per 50 kg atau per karung , padahal sebelumnya hanya Rp50 ribu/karung. Kenaikan harga garam ini memberatkan perajin, karena biaya produksi menjadi membengkak," kata Sarnoto, salah satu perajin ikan asin di Pulau Pasaran 
Bandarlampung.

Masyarakat di wilayah Madiun, Blitar, Probolinggo dan daerah lainnya di Jatim  kini juga merasakan hal yang sama. Masyarakat di Kabupaten Blitar  misalnya, merasakan garam di pasar setempat cukup langka,  sehingga Tim Satgas Pangan daerah ini harus turun tangan untuk mengecek di lapangan.

"Sudah tiga pekan ini di wilayah kami garam agak langka. Jadi kami sidak apakah distributor melakukan penimbunan atau tidak," kata Petugas Penindakan Tim Satgas Pangan Kota Blitar yang juga Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polresta Blitar AKP Heri Sugiono.

Tim Pangan Pangan Kota Blitar terus melakukan penyelidikan dan koordinasi karena kelangkaan garam bukan hanya terjadi di Kota Blitar, tetapi juga di daerah lain. Apalagi penghasil garam ada di berbagai daerah, bukan di Kota Blitar.

Berdasarkan pengecekan di lapangan, Tim Pangan belum menemukan unsur penimbunan.  Kendati begitu, sejumlah kalangan menduga penyebab melonjaknya harga garam tersebut akibat hukum pasar, yakni produksi garam turun, sementara permintaan cukup stabil atau bahkan naik.

Contohnya, distributor garam di Blitar, Ana Anggraini,  mengakui hal itu dan membatasi pembelian konsumen maksimal 50 kg.  "Bahan baku susah, permintaan banyak. Ini juga antre. Bahkan untuk permintaan juga tidak semuanya dapat dipenuhi, seperti minta 100, tidak diberi penuh 100," 
katanya menjelaskan.

Sementara itu, data di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jatim menunjukkan harga garam konsumsi cenderung naik  yakni Rp 2.984 pada Juli 2014 menjadi Rp3.308 per kilogram  pada Juli 2015, Rp 3.883 perkilogram pada Juli 2016 dan pada Juli 2017 meningkat tajam menjadi Rp 5.792 per kilogram.

Dengan kondisi tersebut masyarakat kini meminta pemerintah bisa mengambil langkah-langkah solutif agar garam cukup tersedia dan harganya stabil. Sebab, kendati garam tidak seperti halnya kebutuhan pokok lain di antaranya beras, minyak goreng, kedelai,  atau komoditas lain, tapi jika tidak cukup tersedia akan menimbulkan gejolak di masyarakat.

Cuaca

Banyak pihak mengakui Indonesia memiliki panjang pantai yang besar, yakni sekitar 99.000 kilometer. Apalagi  sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan. 

Namun demikian, tidak semua wilayah tersebut mampu memproduksi garam karena untuk bisa menghasilkan garam harus memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan teknis. 

Seperti diketahui, jika melihat proses produksi garam di sejumlah Indonesia, utamanya di "Pulau Garam" Madura, selama ini masih dilakukan secara konvensional.  Proses produksi garam secara konvensional yang banyak dilakukan petani sangat tergantung cuaca, kondisi tanah, dan kualitas air laut.

Untuk memproduksi garam dibutuhkan kandungan garam air laut yang cukup dan tidak asam. Cuaca juga harus terik, tidak hujan,  agar bisa mendukung proses penguapan guna menghasilkan kristal garam. Sedangkan tanah untuk proses produksi juga tidak boleh cepat merembes agar dihasilkan garam secara maksimal.

Sementara itu, terkait dengan naiknya harga garam  Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf atau biasa disapa Gus Ipul menduga kondisi tersebut berhubungan dengan turunnya produksi garam petani. Produksi garam petani cenderung turun dampak cuaca yang tidak kondusif untuk mendukung proses produksi.

Akibat musim hujan pada tahun 2016 yang panjang sehingga petani garam di Jatim hanya mampu menghasilkan 123.873 ton garam dari target produksi sebesar 1,2 juta ton. "Target 1,2 juta ton per tahun, tapi hingga bulan ini petani hanya mampu menghasilkan 689 ton," katanya.

 Padahal, Jatim selama ini dikenal sebagai daerah produsen garam dan memasok sekitar 40 persen kebutuhan nasional. Sedangkan kebutuhan garam konsumsi masyarakat Jatim sekitar 150 ribu ton per tahun. 

Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi dan bahkan kelangkaan garam di Jatim maka akan berdampak pula ke sejumlah daerah di Indonesia.
     
Alih Fungsi

Meski ada dugaan produksi garam kini cenderung turun akibat cuaca, yakni kemarau basah,  tapi  sejumlah pihak  menengarai alih fungsi lahan juga menjadi penyebab turunnya produksi garam belakangan ini. 

Jika menyusuri di kawasan "Pulau Garam" Madura misalnya, sebagian di antaranya kini beralih fungsi untuk budi daya udang vaname yang dinilai lebih menguntungkan. Masyarakat setempat mencoba peruntungan mengembangkan budi daya udang vaname. 

Alih fungsi lahan untuk budi daya komoditas lain di luar kebiasaan,  biasa dilakukan pula oleh para petani di daerah tertentu, seperti dari tanaman padi ke tanaman palawija saat musim kemarau, karena lebih menguntungkan. Alih fungsi tersebut  diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan petani.  
Namun,  alih fungsi lahan yang masif akan bisa menyebabkan menyusutnya lahan untuk budi daya kompoditas tertentu, seperti halnya garam, dan berdampak terhadap "keseimbangan" pasokan di pasar.

Terlepas dari dugaan penyebab langkanya garam di pasar,  ekonom yang juga anggota International Fund for Agricultural Development (IFAD),   Dr James Adam MBA meminta pemerintah  mengkaji lagi tata niaga garam dan urusan impornya guna mengoptimalkan potensi garam di daerah dan mengontrol impornya agar tidak merembes ke pasar dan membuat petambak garam nasional merugi.

Tata niaga garam dan urusan impornya harus  dilihat kembali oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian  Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.    

Sebab, menurut mantan Dosen Ekonomi Unkris Atrha Wacana Kupang ini, fakta di lapangan banyak 
konsumen masih mengeluhkan tingginya harga komoditas ini.

Tingginya harga garam itu bisa saja diakibatkan oleh belum maksimalnya pelaksanaan dan implementasi dari tata niaga di tingkat pelaku pasar. Tata niaga garam agar diatur sampai harganya mencapai posisi riil yang ditetapkan dalam peraturan bersama.

Selain itu, peredaran garam impor benar-benar diawasi mulai dari gudang hingga pembeli untuk memastikan garam tersebut benar-benar digunakan untuk industri yang membutuhkan, bukan dijual untuk konsumsi rumah tangga. (*)

     

Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017