Surabaya (Antara Jatim) - Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya mengungkap pabrik merica palsu yang dikelola oleh industri rumahan di Jalan Ploso Timur 1, Surabaya. 
     
"Ini adalah hasil kerja dari Tim Satuan Tugas Pangan Polrestabes Surabaya,"  ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Polisi Shinto Silitonga kepada wartawan di Surabaya, Minggu.
     
Shinto menyebut produk merica palsu dari industri rumahan ini bermerk "Cap Dua Lombok".
     
"Pelaku usaha Cap Dua Lombok menjual produk kemasan merica bubuk, dengan komposisi merica yang telah dihaluskan dicampur nasi karak yang juga telah dihaluskan," katanya.
     
Dia menjelaskan, komposisi dalam produk merica bubuk palsu Cap Dua Lombok yang dicampur nasi karak ini perbandingannya 5 : 1.
     
"Lebih banyak nasi karak daripada mericanya, yaitu 5 nasi karak berbanding 1 merica," ujarnya.
     
Pelaku usaha Cap Dua Lombok berinisial J mengaku memilih nasi karak sebagai bahan campuran produk kemasan merica bubuk karena setelah dihaluskan warnanya sama dengan merica. 
     
Namun dia berdalih baru mencampur bahan baku merica bubuk dengan nasi karak sekitar setahun terakhir, dari keseluruhan usahanya yang telah berjalan selama 10 tahun.  
     
Per bulan, rata-rata dia mampu memproduksi 2,5 ton bubuk merica palsu, yang kemudian mengemasnya per 50 miligram. 
     
Lantas menjualnya Rp15 ribu per lusin, yang dipasarkan ke berbagai pasar tradisional di Surabaya dan sekitarnya. 
     
"Bagi kami bukan soal harganya apakah lebih miring atau sama dengan harga kemasan produk merica bubuk lainnya.  Tapi pelaku usaha telah melakukan pelanggaran, yaitu mencampur bahan baku yang tidak sesuai dengan mutunya dengan tujuan mengurangi nilai produksi," kata Shinto. 
     
Terlebih, dia menambahkan, produk kemasan merica bubuk Cap Dua Lombok tersebut tidak mengantongi izin edar dari Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 
     
"Di kemasan merica bubuk Cap Dua Lombok hanya tertera izin dari Departemen Kesehatan. Setelah kita telusuri perizinan itu mereka dapatkan sejak 10 tahun yang lalu," katanya. 
     
Namun polisi masih belum menetapkan J sebagai tersangka dengan alasan masih melakukan pengembangan penyelidikan. 
     
"Pelaku terancam Pasal 142 Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 62 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hukumannya minimal lima tahun penjara," ujar Shinto. (*)

Pewarta: Hanif N

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017