Jember (Antara Jatim) - Juru bicara Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur (Papanjati) Lasminto mengatakan reforma atau pembaruan agraria yang gagal dapat memicu langgengnya pemiskinan sosial karena selama ini petani belum sejahteta karena macetnya agenda reforma agraria. 

"Konflik agraria di Jawa Timur terjadi secara sistematik dan meluas, serta mengakibatkan penyengsaraan dan pemiskinan sosial," katanya usai pertemuan konsolidasi gerakan petani untuk kedaulatan pangan dan keadilan agraria di Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, Sabtu.

Bahkan, kekerasan demi kekerasan terus menerus terjadi, seperti kasus yang terjadi di Wongsorejo Banyuwangi, kemudian intimidasi dan kriminalisasi di kasus Sengon Blitar.

Menurutnya, konflik tanah dan ketidakadilan sosial yang demikian disebabkan oleh perampasan tanah masa lalu yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan negara/PTPN maupun swasta, TNI, dan Perhutani. 

"Jumlah kasus tanah di Jatim mencapai 102 kasus yang tersebar di 16 Kabupaten. Ini menempatkan Jatim sebagai provinsi yang paling produktif penyumbang konflik agraria nasional," ucap Lasminto yang juga Ketua Forum Komunikasi Tani Sumberanyar Pasuruan.

Ia menilai kasus ketidakadilan agraria itu dibiarkan terbengkalai tanpa penyelesaian, tanpa upaya pengungkapan kebenaran, dan pengakuan hak atas tanah rakyat. Bahkan manipulasi administrasi pertanahan melahirkan ketidakadilan dan pemiskinan sosial kian parah situasinya. 

"Di sisi lain, penyusutan lahan produktif untuk alih fungsi proyek-proyek pembangunan, serta peralihan kawasan hutan lindung menjadi area pertambangan telah melahirkan situasi penghancuran ekologi dan perusakan lingkungan, yang berdampak pada kehidupan sosial budaya dan ekonomi rakyat," tuturnya.

Bahkan, lanjutnya, desentralisasi melahirkan arogansi elit daerah dengan didukung aparat keamanan yang memicu kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat seperti yang terjadi dalam kasus industri tambang emas PT BSI di Gunung  Tumpang Pitu Banyuwangi dan pasir besi di Lumajang.

"Konsentrasi penguasaan lahan berskala besar untuk industri perkebunan nyatanya tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, justru mereka hanya menjadi buruh. Pada kenyataannya, kebijakan tersebut tetap melanggengkan ketimpangan agraria," ujarnya.

Di Jatim terdapat 126 perusahaan perkebunan (swasta dan PTPN) yang menguasai lahan skala besar dan diduga tidak melakukan kewajiban sebagaimana perintah undang-undang.

Ia menjelaskan banyaknya kriminalisasi terhadap petani dan pejuang keadilan agraria di Indonesia dalam satu dasawarsa ini memperlihatkan pula karakter pemerintahan yang tidak berubah dari paradigma lama yang mengandalkan otoritas hukum untuk menindas. 

"Hal ini juga menunjukkan bahwa aparat penegak hukum senyatanya tidak memahami esensi konflik agraria. Kasus Petani Tulang bawang, Sumatra, Petani Surokonto, Jateng, Kasus tanah Sengon yang memenjarakan Pak Daroini di Blitar adalah realitas penindasan tersebut," katanya. 

Lasminto mengatakan ketidakadilan agraria mengancam kedaulatan pangan, krisis ekologi, dan penghancuran sosial budaya, yang situasinya terjadi terus menerus, tidak hanya di Jawa Timur, melainkan pula di dalam kasus Rembang dan Pati dalam upaya menolak industri semen, serta banyak tempat lainnya. 

"Realitas inilah yang menegaskan apa yang dicitakan Presiden Joko Widodo dalam agenda Nawacita bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Kami menuntut pemerintah mempertanggungjawabkan situasi ketidakadilan agraria, keterpurukan ekologi dan sosial yang mengancam kedaulatan rakyat atas hak-hak sumberdaya alam yang seharusnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan menyegerakan penuntasan konflik agraria sebagai mandat konstitusionalisme Indonesia," ucapnya dengan tegas.

Konsolidasi Paguyuban Petani Mandiri Jawa Timur yang digelar di Kabupaten Jember itu juga dihadiri sejumlah aktivis Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Malang Corruption Watch (MCW), YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya.

Kemudian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), KontraS Surabaya, Koalisi Masyarakat Pegiat Antikorupsi dan Peradilan BERSIH (KOMPAK BERSIH), CHRM2 (Centre for Human Rights Multiculturalism and Migration) Unej dan BEM Fakultas Hukum Unair.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017