Malang, (Antara Jatim) - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengemukakan selama kurun waktu 10 tahun sejak 2003 hingga 2013, ratusan ribu rumah tangga nelayan menghilang karena sumber daya laut tidak mampu menopang kebutuhan hidup mereka.
Sekitar 50 persen rumah tangga nelayan menghilang, yakni dari 1,6 juta rumah tangga nelayan turun menjadi tinggal sekitar 800 ribu rumah tangga nelayan, kata Susi saat memberikan orasi ilmiah di hadapan ratusan wisudawan/wisudawati Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Jawa Timur, Sabtu..
"Menghilangnya ratusan ribu rumah tangga nelayan itu karena hidup sebagai nelayan tidak lagi mampu menopang kebutuhan akibat sumber daya laut kita yang terus berkurang karena ribuan kapal asing setiap hari mengambil ikan-ikan kita," kata Susi menegaskan.
Ia mencontohkan, sepuluh tahun lalu di Tuban, Cirebon dan sejumlah daerah penghasil ikan, pasokan dan produktivitasnya cukup melimpah, namun sekarang tidak ada lagi. Kondisi ini karena alat tangkap nelayan asing lebih canggih dan ikan-ikan kecil pun disasar.
Dulu, lanjutnya, sumber daya perikanan laut di Indonesia cukup melimpah. Namun, setelah pemerintah membuat kebijakan terkait lisensi kapal-kapal asing yang boleh menangkap ikan di perairan Indonesia dengan kompensasi pengolahan ikan bagi masyarakat sekitar.
Ia menilai dalam peraturan tahun 2004 terkait lisensi kapal asing itu, pemerintah telah membuat kesalahan dengan memperbolehkan kapal asing masuk dengan syarat harus membuat unit pengolahan ikan di Indonesia. Faktanya, syarat itu tidak pernah terpenuhi, malah nelayan asing ilegal mencapai ribuan.
Dengan diterbitkannya lisensi itu, lanjutnya, masyarakat (nelayan) diberikan kompensasi mengolah ikan melalui unit pelaksana teknis (UPT)-UPT di sejumlah daerah, namun kenyataan di lapangan, UPT-UPT ini tidak jalan, sementara kapal-kapal asing yang mengeruk kekayaan laut Indonesia tetap jalan, bahkan jutaan ton mereka ambil dari negeri ini
Selain rumah tangga nelayan yang menghilang, katanya, akibat kebijakan lisensi kapal asing itu, sekitar 150 eksportir juga kehilangan usahanya. Usahanya ditutup dan mereka mengalami kerugian hingga miliaran dolar AS. "Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya kita menghadap ke laut, jangan lagi 'memunggungi' laut karena masa depan kita ada di laut," urainya.
Saat ini, kata Susi, bagaimana negeri ini mengembangkan sumber daya kelautan, terutama dalam hal penangkapan ikan, sebab sebellumnya penangkapan ikan 100 persen dikuasai penenaman modal asing (PMA), justru industri pengolahannya hanya 50 persen.
Sekarang, ujarnya, harus dibalik, penangkapan ikan harus dikuasai nelayan lokal 100 persen dan industri pengolahan hasil lautnya ditangani PMA maksimal 60 persen. "Karena kebijakan menghilangkan izin kapal-kapal asing ini, nilai tukar nelayan menjadi lebih baik atau meningkat," urainya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Sekitar 50 persen rumah tangga nelayan menghilang, yakni dari 1,6 juta rumah tangga nelayan turun menjadi tinggal sekitar 800 ribu rumah tangga nelayan, kata Susi saat memberikan orasi ilmiah di hadapan ratusan wisudawan/wisudawati Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Malang, Jawa Timur, Sabtu..
"Menghilangnya ratusan ribu rumah tangga nelayan itu karena hidup sebagai nelayan tidak lagi mampu menopang kebutuhan akibat sumber daya laut kita yang terus berkurang karena ribuan kapal asing setiap hari mengambil ikan-ikan kita," kata Susi menegaskan.
Ia mencontohkan, sepuluh tahun lalu di Tuban, Cirebon dan sejumlah daerah penghasil ikan, pasokan dan produktivitasnya cukup melimpah, namun sekarang tidak ada lagi. Kondisi ini karena alat tangkap nelayan asing lebih canggih dan ikan-ikan kecil pun disasar.
Dulu, lanjutnya, sumber daya perikanan laut di Indonesia cukup melimpah. Namun, setelah pemerintah membuat kebijakan terkait lisensi kapal-kapal asing yang boleh menangkap ikan di perairan Indonesia dengan kompensasi pengolahan ikan bagi masyarakat sekitar.
Ia menilai dalam peraturan tahun 2004 terkait lisensi kapal asing itu, pemerintah telah membuat kesalahan dengan memperbolehkan kapal asing masuk dengan syarat harus membuat unit pengolahan ikan di Indonesia. Faktanya, syarat itu tidak pernah terpenuhi, malah nelayan asing ilegal mencapai ribuan.
Dengan diterbitkannya lisensi itu, lanjutnya, masyarakat (nelayan) diberikan kompensasi mengolah ikan melalui unit pelaksana teknis (UPT)-UPT di sejumlah daerah, namun kenyataan di lapangan, UPT-UPT ini tidak jalan, sementara kapal-kapal asing yang mengeruk kekayaan laut Indonesia tetap jalan, bahkan jutaan ton mereka ambil dari negeri ini
Selain rumah tangga nelayan yang menghilang, katanya, akibat kebijakan lisensi kapal asing itu, sekitar 150 eksportir juga kehilangan usahanya. Usahanya ditutup dan mereka mengalami kerugian hingga miliaran dolar AS. "Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya kita menghadap ke laut, jangan lagi 'memunggungi' laut karena masa depan kita ada di laut," urainya.
Saat ini, kata Susi, bagaimana negeri ini mengembangkan sumber daya kelautan, terutama dalam hal penangkapan ikan, sebab sebellumnya penangkapan ikan 100 persen dikuasai penenaman modal asing (PMA), justru industri pengolahannya hanya 50 persen.
Sekarang, ujarnya, harus dibalik, penangkapan ikan harus dikuasai nelayan lokal 100 persen dan industri pengolahan hasil lautnya ditangani PMA maksimal 60 persen. "Karena kebijakan menghilangkan izin kapal-kapal asing ini, nilai tukar nelayan menjadi lebih baik atau meningkat," urainya.(*)
Video oleh: Ipung
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017