Surabaya (Antara Jatim) -  Kawasan Pecinan di seputar Kembang Jepun hingga Kapasan Surabaya pernah menjadi pusat usaha seni pahat batu nisan "Bongpay" hingga pertengahan 1990-an, namun saat ini tinggal tersisa satu perusahaan "Tjwan Tik Sing".

Berlokasi di pojok perempatan Jalan Kembang Jepun – Kapasan, tepatnya di sisi paling ujung Jalan Bunguran, Surabaya, Jawa Timur, sekitar lima orang pekerja terlihat sibuk memahat  batu nisan "Bongpay", Jumat. 

Memanfaatkan salah satu ruangan Ruko di lantai bawah seluas 4 x 5 meter, masing-masing pekerja menyelesaikan satu bidang nisan dengan ragam gambar dan tulisan yang berbeda-beda. 

"Sekarang enak sudah ada mesin yang mempermudah kerja kita sehingga bisa cepat selesai. Kalau dulu serba manual, memahat dan mengukir pakai tangan, jadi selesainya lama," ucap Pengelola Perusahaan pahat nisan "Tjwan Tik Sing" Suwanto Susetyo.
   
"Bongpay" berasal dari bahasa China. "Bong artinya kuburan, sedangkan Pay adalah tempat persembahyangan di kuburan. Usaha kita adalah membuat pahatan batu nisan sekalian membuat ukiran tulisan pada tempat persembahyangannya," jelas Suswanto. 

Suswanto adalah generasi ketiga yang mengelola perusahaan batu bongpay Tjwan Tik Sing yang dirintis oleh kakeknya,  Tjio Kim Ek, sejak tahun 1930-an. Suswanto melanjutkan usaha ayahnya, Tjio Tik Ting atau akrab disapa Sutikno, yang mulai uzur.

"Saya membatu Papa menjalankan usaha ini sejak SMP. Sekarang papa sudah berusia 80 tahun, mau gak mau saya harus melanjutkannya," ujarnya.  

Suswanto mengenang, di kawasan pecinan seputaran Kembang Jepun hingga Kapasan dulu usaha pahat batu nisan "bongpay" ada banyak. 

"Seingat saya, ketika saya sudah SMP membantu papa, pada tahun 1990-an, di Jalan Kembang Jepun ada dua. Di kapasan ada satu. Lalu di depan Jalan Bunguran ini juga ada satu," kenangnya. 

Bisa jadi para pesaingnya itu gulung tikar seiring tidak ada generasi keturunan yang tidak mau melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh nenek-moyangnya. Namun menurut  Suswanto, menjalankan usaha pahat nisan "bongpay" memang tidak semudah seperti menjual produk televisi ataupun mebel.  

"Terlebih jasa pemakaman sekarang sekarang sudah 'include' satu paket. Mereka melayani dari pengurusan jenazah, peti mati, hingga pemakaman termasuk batu nisannya. Praktis usaha yang kita jalankan gak laku," ungkapnya.  

Batu Marmer

Suswanto menggambarkan, sulitnya menjalankan usaha pahat batu nisan adalah mencari bahan bakunya, yaitu batu gunung. Menurutnya, pada awal saat usaha ini masih dijalankan oleh kakeknya, bahan baku gunung diimpornya langsung dari negeri China.

"Awal mula Engkong buka usaha pahat batu nisan bongpay di Surabaya karena dulunya adalah eksportir batu gunung untuk para pengusaha Bongpay di Makassar. Entah bagaimana ceritanya kemudian Engkong buka sendiri di Surabaya," ujarnya. 

Suswanto mengatakan, kakeknya berasal dari Hui An, China, yang ternyata di kawasan itu mayoritas penduduknya hidup dari usaha pahat batu nisan bongpay. 

"Sekali saya pernah ke Hui An bersama Papa, dan setelah melihat geliat usaha pahat batu nisan bongpay oleh para penduduk di sana, saya menjadi bersemangat untuk melanjutkan usaha ini di Surabaya," katanya. 

Itu pula yang membuat Suswanto kemudian berinvestasi dengan membeli mesin alat pahat ukir "CNC Router" seharga ratusan juta pada sekitar dua tahun yang lalu. "Dengan CNC Router, kita bisa memasukkan gambar ke dalam komputer yang kemudian mesin ini secara otomatis bisa memahat dan mengukir dengan sendirinya," jelasnya. 

Kembali ke masalah bahan baku batu gunung, Suswanto mengisahkan, lama kelamaan sang kakek harus mencari batu gunung di dalam negeri, karena biaya impor dari China dirasa lebih mahal dan sampainya ke Indonesia juga memakan waktu sebulan lebih.

"Kita pernah ambil batu gunung dari Makassar, ternyata hasilnya jelek. Lalu ambil batu gunung dari Salatiga, yang ternyata juga gak bagus. Hingga akhirnya menemukan kualitas batu gunung terbaik dari Purwakarta," katanya. 

Suswanto akhirnya beralih ke batu marmer setelah pada penghujung tahun 1990-an pesanan yang ukirannya timbul pada batu gunung itu sudah mulai jarang. 

"Pada awalnya batu marmer ini cuma tempelan. Yaitu menggantikan ukirannya yang dulu dipahat dan diuukir di batu gunung, sedangkan seluruh bahan lainnya tetap dari batu gunung," ucapnya. Namun kemudian Suswanto mengganti seluruh bahan seluruhnya dari batu marmer yang ternyata juga diterima pasar. 

Pengembangan Bisnis

Setelah mengunjungi tanah kelahiran kakeknya di Hui An, China, dan melihat langsung bagaiamana masyarakat setempat mengembangkan usaha pahat batu bongpay, Suswanto mencoba menerapkannya di Surabaya. 

"Ternyata mereka di Hui An tidak menyediakan pahatan untuk kuburan saja. Mereka juga memahat untuk hiasan taman maupun dinding di rumah," katanya. Itulah yang coba diterapkannya di Surabaya. 

Di antaranya Suswanto mendesain gambar pahatan perjamuan makan yang menonjolkan sosok Isa Al Masih bersama para kerabatnya. Harapannya, desain pahatan perjamuan makan ini bisa dipesan untuk hiasan dinding rumah.

"Lah kok ternyata pahatan perjamuan ini kemudian dibeli oleh sebuah pemakaman dan ditempelkan di kawasan pintu masuk pemakaman," ucapnya. Sejak itu Suswanto berpikiran, masyarakat masih risih untuk memesan desain pahatan dari sebuah perusahaan batu yang selama ini dikenal untuk "Bongpay".

"Ya, mau gimana lagi. Sampai sekarang akhirnya kita tetap menyediakan pahatan batu nisan untuk bongpay, meski ada beberapa yang pesan untuk hiasan di rumah, tapi itu tidak banyak," katanya.

Suswanto tetap bertahan mejalankan usahanya di tengah monopoli jasa pengurusan pemakaman yang sudah include seluruhnya. 

"Setidaknya, perusahaan yang mendapat order dari jasa pengurusan pemakaman itu masih butuh rekanan untuk menyelesaikan garapannya tepat waktu. Dan saya selalu terima 'second order' itu, walaupun tentunya biayanya sudah dipotong, daripada para pekerja saya menganggur," imbuhnya. (*)

Pewarta: Hanif N

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017