Jember (Antara Jatim) - Koordinator Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia Herlambang P. Wiratraman menilai hukum saat ini digunakan sebagai instrumen penindasan hak asasi manusia (HAM) karena ada beberapa contoh kasus yang dilakukan penguasa untuk menindas masyarakat di beberapa daerah.

"Sehari menjelang peringatan Hari HAM internasional, yang jatuh 10 Desember 2016, rakyat Indonesia disuguhi sandiwara hukum (administrasi) sebagai alat baru menindas rakyat, terutama perizinan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, terkait industri tambang semen," kata Herlambang dalam siaran persnya memperingati Hari HAM Internasional di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Menurut dia, putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung telah keluar pada 5 Oktober 2016 dan putusan PK tersebut (No Register 99 PK/TUN/2016) memenangkan atau mengabulkan permohonan warga Kendheng atas pembatalan izin lingkungan salah satu investor semen yang dikeluarkan perizinannya oleh Gubernur Jawa Tengah. 

"Dalam amar putusannya, majelis hakim mengabulkan permohonan warga Kendheng yang menyatakan batal SK Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 Tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh salah satu produsen semen di Kabupaten Rembang dan mewajibkan Gubernur Ganjar untuk mencabut SK tersebut," tuturnya.

Ia mengatakan janji untuk menaati hukum tidak dilakukan dan diam-diam membuat kebijakan dengan instrumen hukum administrasi dilakukan dengan mencabut SK dan sekaligus menerbitkan baru lagi (SK No. 660.1/30 Tahun 2016, tertanggal 9 November 2016), tanpa lagi memperhatikan realitas cacat administratif dan penolakan hadirnya investor semen itu.

"Ini semua, bukan semata soal pembelajaran buruk bagi kewajiban penguasa untuk mematuhi asas-asas pemerintahan yang baik atau "Good Governance", melainkan lebih dari itu, jelas bentuk penindasan yang menggunakan instrumen hukum formal administratif sebagai karpet merah industrialisasi yang mengancam kehidupan sosial masyarakat," katanya.

Dari sejumlah pemberitaan, lanjut dia, terbaca keberpihakan pemerintah pada industri semen yang selalu dikaitkan dengan nasionalisme dan investasi yang sudah mendekati Rp5 triliun.

"Dasar ini, jelas sesat fikir dalam hidup bernegara demokrasi. Kami memandang nasionalisme itu bukan dibangun dengan menyingkirkan hak-hak dasar warna negara, bukan memiskinkan, bukan mencerabut kehidupan sosial dan komunitas tradisionalnya, dan bukan dibangun atas penderitaan rakyatnya," ujarnya.

Herlambang mengatakan SEPAHAM menilai apa yang telah dilakukan Pemprov Jateng telah bertentangan dengan mandat konstitusionalisme hak asasi manusia untuk memastikan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." (Pasal 28D ayat 1 UUD Negara RI 1945).

"Tidak hanya kasus tersebut karena setahun terakhir, Republik Indonesia ini menyingkap begitu banyak kebijakan hukum administratif yang memberi karpet merah bagi pemodal, namun menghajar hajat hidup rakyat banyak. Peralihan hak atas tanah HGU menjadi HGB di areal tanah rampasan tanah rakyat di Wongsorejo Kabupaten Banyuwangi, dengan kawalan aparat militer saat pemeriksaan tanah, seakan dibiarkan realitas penindasan ini oleh pemerintah setempat," katanya.

Ia mengatakan janji mediasi dinilai hanya isapan jempol, bahkan sebaliknya, kawasan industri Banyuwangi Industrial Estate Wongsorejo ditancapkan tanpa sepengetahuan warga dan dampak industrialisasi tersebut. 

"Belum lagi terkait industrialisasi pertambangan emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) yang sudah jelas menghancurkan ekologi kawasan hutan lindung di Tumpang Pitu Banyuwangi dan belum lagi pendekatan kekerasan pun masih digunakan dalam penyelesaian konflik agraria, sebagaimana terjadi dalam kasus Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat baru-baru ini," ujarnya.

Selama tahun 2016, lanjut dia, potensi ancaman kebebasan ekspresi, kebebasan akademik, dan kebebasan media pula masih dominan dan mudah terjadi. 

"Kriminalisasi dengan penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), serta sejumlah peristiwa pembubaran diskusi, bedah buku, pemutaran film, serta pemberangusan buku (book sweeping) yang terjadi di Bandung dan Yogjakarta masih menjadi catatan penting bertahannya warisan otoritarianisme Orde Baru dalam wacana demokrasi saat ini," tuturnya.

Selain itu, berkembangluasnya aksi intoleran atas nama agama, atau kelompok etnisitas tertentu menjadikan nilai-nilai pluralisme dan toleransi menjadi "terkapar" dihajar oleh kepentingan politik ekonomi tertentu. 

"Hukum dalam konteks ini, justru digunakan sebagai alat membungkam kritik dan ekspresi, dengan kriminalisasi dan ancaman hukum yang justru menjadikan kualitas demokrasi dan kebebasan menjadi rendah kualitasnya," tuturnya.

Atas dasar situasi itu, lanjut dia, Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia menyatakan sikap bahwa pemerintah harus meneguhkan mandat konstitusionalitas hak asasi manusia, terutama dalam menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. 

"Mandat tersebut bukan semata dimaknai seremonial seperti penganugerahan Kota Peduli HAM yang diobral untuk menjadi tameng penindasan," katanya.

Kemudian pemerintah harus meneguhkan keberpihakannya terhadap rakyat dan perlindungan hak-hak dasaranya, bukan berlindung dibalik hukum formal administratif dalam rangka memuluskan jalan pemilik modal dan sarat kepentingan politik ekonomi penguasa. 

"Kami juga mendesak pemerintah harus berani bertanggung jawab untuk merawat keberagaman dan penghormatan atas situasi dan realitas keberagaman itu. Karena Indonesia dibangun atas keberagaman, kebhinekaan, yang mendasar bagi kehidupan sosial kebangsaan bagi masa depan Indonesia," ucapnya.

Selanjutnya pemerintah harus dijalankan dengan meneguhkan prinsip demokrasi, membuka ruang kritik, serta menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bentuk jaminan kehidupan politik ekonomi yang lebih berkeadilan sosial.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Akhmad Munir


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016