Akhir November lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy melontarkan rencana moratorium ujian nasional (UN). Meski masih harus dimatangkan di tingkat rapat terbatas, lontaran rencana kebijakan tersebut ibarat hembusan angin segar di tengah sesak dada para akademisi dan pemerhati pendidikan menyaksikan polusi dan kebangkrutan model UN selama satu dekade terakhir.

Dari aspek paedagogis-akademis, kebangkrutan teori yang dijadikan landasan pelaksanaan UN sebenarnya sudah lama terjadi. Kalau toh secara teoretik dapat diterima nalar, tapi praktek pelaksanaan UN selalu jauh dari harapan dan diwarnai kecurangan. Hanya kuasa politik saja yang membuat pelaksanaan UN memenangkan pertarungan wacana selama 13 tahun terakhir.

Polemik dan pertarungan wacana seputar UN dapat dirunut sejak disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Selama itu pula, pelaksanaan UN sebagai instrumen pemetaan dan uji mutu pendidikan belum menemukan bentuk yang baku.

Karena itu, keberanian Mendikbud Muhadjir Effendy melontarkan rencana moratorium UN patut diapresiasi. Apalagi, Kemendikbud telah menyiapkan model pengganti UN yang disebut sebagai Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN).

Selain itu, rencana kebijakan tersebut juga hadir pada dua momentum yang tepat. Pertama, dalam pelaksanaan UN 2016, Mendikbud Anies Baswedan --pendahulu Muhadjir Effendy-- telah membukakan "pintu masuk" dengan menghapus fungsi UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Jadi, rencana moratorium tersebut bisa dibaca sebagai kelanjutan dari kebijakan menteri sebelumnya.

Kedua, rencana moratorium itu dimunculkan pada momentum peralihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi pada 1 Januari 2017. Dengan demikian, rencana kebijakan --yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai desentralisasi UN itu (AntaraNews.com 28/11/2016)-- mengindikasikan adanya semangat integrasi dan sinkronisasi kebijakan pendidikan antara pusat dan daerah.

Kembali ke Khittah
Jika dirunut ke belakang, model pendekatan USBN yang digambarkan oleh Mendikbud saat ini, sebenarnya mirip dengan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) di Bogor pada 15-17 Juli 2003.

Dalam rapat yang berlangsung sepekan setelah disahkannya UU Sisdiknas oleh Presiden Megawati Soekarnoputri itu, sebenarnya sudah diputuskan bahwa sekolah setempat (SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA) sebagai pelaksana ujian akhir nasional (disingkat UAN) mulai 2004.

Depdiknas, menurut pernyataan Mendiknas (saat itu) Abdul Malik Fadjar, hanya memberikan pedoman dan beberapa materi soal UAN yang harus diujikan sekolah sesuai standar nasional, dan tidak ada lagi UAN ulangan. Depdiknas juga akan membentuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk menilai pelaksanaan UAN di sekolah. Jika sekolah tidak serius melaksanakan UAN, maka akreditasi UAN sekolah dinyatakan rendah (Kompas Cyber Media, 18/7/2003 dan Media Indonesia Online, 19/7/2003).

Anehnya, dalam tempo kurang dari tiga bulan kemudian, Mendiknas justru mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 153/U/2003 tentang UAN 2004 yang isinya sangat bertentangan dengan keputusan Rakernas. Padahal, jika dicermati, keputusan Rakernas Depdiknas 2003 justru lebih sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebab evaluasi hasil belajar peserta didik adalah kewenangan pendidik (pasal 58 ayat 1). Sementara, tugas pemerintah dan pemerintah daerah adalah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59 ayat 1).
Satu-satunya keputusan Rakernas yang dipenuhi oleh SK  No. 153/U/2003 tentang UAN 2004 adalah penghapusan UAN ulangan.

Dalam perkembangannya, ketentuan itupun dicabut
dengan SK No. 037/U/2004 yang dikeluarkan Mendiknas setelah ada respons (baca: ancaman) dari DPR. Sejak saat itu, pelaksanaan UN kemudian seperti permainan roller coaster yang menguntungkan pengelolanya, tapi membuat tegang dan stres penumpangnya.

Atas nama standarisasi mutu, ratusan ribu peserta didik, termasuk yang tinggal di berbagai pelosok terpencil Nusantara, dipaksa melompat dengan standar yang sama dengan anak-anak Jakarta dan kota-kota besar lain. Jeritan dan teriakan mereka tidak pernah didengar oleh para pemegang kuasa. Para elite politik itu juga seakan menutup mata terhadap praktek "doping" dan kecurangan yang terjadi secara massal, demi klaim capaian lompatan sesuai standar nasional.

Saat itu, penulis yang sedang menjabat Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur, berusaha menggalang gerakan advokasi dan mendesak agar Depdiknas konsisten menerapkan UU Sisdiknas. Bersama elemen pelajar lain (Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Pelajar Islam Indonesia), aspirasi tersebut terus disuarakan, meski tetap diabaikan. Adanya dukungan dari akademisi seperti Prof. Anita Lie menjadi suplemen energi yang membuat "anak-anak kecil" itu tetap berani menyuarakan penolakan UN.

Namun, sebagaimana diketahui, mesin roller coaster itu tetap melaju di lintasannya. Bahkan, ketika gugatan citizen lawsuit yang diajukan Kristiono dan 57 orang korban UN lainnya dimenangkan di tingkat kasasi pada 2009, kebijakan UN yang sentralistik tidak pernah direvisi.

Dalam konteks itu, penulis teringat pendapat guru agama di sebuah sekolah swasta ketika ditanya tentang UN. "UN itu bukan tidak ada manfaatnya. Tetapi, ia mirip khamar (minuman keras). Selain memabukkan, dosa penghamburan uang rakyat yang diakibatkannya pun jauh lebih besar dibandingkan kenikmatan yang dirasakan oleh para pengambil kebijakan," tuturnya.

Semoga, rencana moratorium dan desentralisasi UN kali ini benar-benar menjadi indikasi kesadaran pemerintah atas salah kaprah kebijakan selama ini. Bukan sekadar untuk pencitraan para pejabat dan politisi. Sebab, meminjam istilah Simon Sinek, sebuah kepemimpinan sejatinya adalah untuk menyiapkan generasi berikutnya. Bukan menyiapkan pemilu berikutnya. (*).

-------------
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Jawa Timur 2011-2016.

Pewarta: Oleh Nur Hidayat *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016