Surabaya (Antara Jatim) - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kota Surabaya Tahun 2017  sebesar Rp8.561.484.147.400 akhirnya ditetapkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya, Rabu.
     
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Surabaya Reni Astuti mengatakan dalam anggaran tersebut, turut pula dianggarkan untuk pendidikan menengah SMK dan SMK Surabaya sebesar Rp180 miliar. 
     
 "Anggaran Bopda yang dialokasikan dalam APBD 2017 itu masih dalam bentuk program dan kegiatan. Padahal sudah jelas bahwa dalam aturan penggaran, pemerintah daerah tidak boleh mencantumkan penganggaran yang bukan dalam kewenangannya dalam bentuk program dan kegiatan. Maka anggaran Rp180 miliar di APBD 2017 ini tidak akan bisa dicairkan," tegas Reni dalam interupsinya.
     
Menurutnya jika bicara penyusunan APBD sudah ada pedoman yang jelas. Jika pemkot tetap ngotot untuk mengalokasikan anggaran dengan tetap menggunakan cantolan anggaran untuk program dan kegiatan, maka alokasi anggaran itu tidak akan bisa dimanfaatkan barang satu peserpun untuk sekolah menengah Surabaya yang kewenangannya sudah beralih ke pemerintah provinsi. 
     
Lebih lanjut, jika memang alokasi anggaran tersebut didasarkan optimisme bahwa tahun depan putusan Mahkamah Konsitusi akan goal dan pengelolaan SMA SMK akan kembali ke pemkot, menurut Reni hal tersebut sangat riskan. 
     
"Padahal seharusnya dalam penyusunan anggaran pijakan hukumnya harus pasti. Dan jika sampai putusan MK itu sampai tengah tahun putusan belum turun, maka akan sama saja alokasi anggaran itu tidak bisa dipakai," kata Reni.   
     
Terlebih dalam anggaran Rp180 miliar itu, lanjut dia, sudah termasuk anggaran untuk siswa tidak mampu. Artinya sampai anggaran ini digedok belum ada jaminan bahwa siswa miskin di Surabaya. 
     
Menurut data yang dimiliki Reni, jumlah siswa miskin di sekolah menengah ada sebanyak 126.178 orang atau sepuluh persen dari total jumlah siswa SMA/SMK Surabaya. 
     
"Anggaran yang kita butuhkan setidaknya untuk menjamin mereka yang miskin saja itu hanya butuh Rp45 miliar. Penganggarannya bisa seperti model pendaan Dinas Sosial yang memberikan bantuan pendidikan untuk kuliah di perguruan tinggi," ujar Reni.   
     
Ia mengatakan bisa saja menggunakan sistem bantuan personal, dimana bantuannya langsung ke satu per satu siswa. Tapi kalau pemkot masih mau memberi bantuan dan tidak hanya untuk warga miskin saja, masih ada peluang. 
     
 Tentunya, kata dia, hal itu harus dialokasikan dalam bentuk belanja bantuan keuangan khusus (BKK). Jadi bukan hanya mengandalkan pengalokasian anggaran dalam bentuk program dan kegiatan yang jelas tidak bisa dicairkan.
     
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan pihaknya terus memperjuangkan pendidikan SMA/SMK gratis, meski pengelolaannnya berada di bawah pemerintah provinsi. 
     
 Selain menunggu keputusan MK, pemerintah kota juga melakukan pendekatan kepada gubernur. Ia akan melobi ke gubernur agar bisa mengelola SMA / SMK , kendati berdasarkan undang_undang 23 Tahun 2014 tentang pemerintah Daerah kewenangannnya tetap berada di Gubernur Jatim.
     
 "Pusat juga nyampaikan satu lembar surat dari gubernur untuk pelimpahan pengelolaannya saja, kewenangannya tetap di provinsi, itu sudah cukup," katanya.
     
 Risma menegaskan, alasan pihaknya bersikeras mengelola SMA/SMK, disamping untuk pendidikan gratis, juga untuk menjamin gaji guru terutama Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT). "Jangan sampai guru tak gajian," katanya.
     
 Ia mengaku selama ini dalam anggaran gaji guru selalu defisit. Untuk membayar gaji guru yang nilainya mencapai Rp200 miliar sampai Rp300 miliar, pihaknya terpaksa mengambil sebagian Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam APBD 2017 yang nilainya mencapai Rp8,5 triliun, pemerintah kota tetap mengalokasikan anggaran pendidikan SMA/SMK dalam Bopda. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016