Surabaya (Antara Jatim) - Sebanyak 17 seniman dan pelukis mengikuti pameran lukisan bertajuk "Obah Ora Owah" yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Jatim di Grand Kalimas, Jl KH Mas Mansur, Surabaya pada 19 November hingga 18 Desember 2016.

"Pameran yang dibuka secara resmi oleh Ketua PWNU Jatim KH M Hasan Mutawakkil Alallah pada Sabtu (19/11) pukul 15.00 WIB itu jarang ada, karena merangkum seniman dan pelukis yang memiliki ciri khas masing-masing," kata Ketua PW Lesbumi NU Jawa Timur, Nonot Sukrasmono, di Surabaya, Jumat.

Nonot yang juga fungsionaris Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur itu menjelaskan "Obah Ora Owah" itu berarti "Bergerak (tapi) Tidak Berubah" yang bermakna sebagai daya kerja yang terus menerus dilakukan, tapi tidak mengubah identitas dan kesejatiannya.

"Kita harus terus memaknai hidup dengan melakukan segala aktivitas berkesenian, yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Namun, di tengah kita beraktivitas dan bergerak itu, kita tidak tercerabut dari identitas diri masing-masing," katanya.

Dalam konteks eksistensi kesenian adalah "to be yourself" (jadilah dirimu sendiri) yang bergerak untuk mengubah kondisi yang kurang baik menuju pada kondisi yang lebih baik.

"Adanya 17 seniman mengandung makna dari jumlah rakaat dalam shalat lima waktu dalam sehari-semalam sebanyak 17 rakaat, sehingga pergerakan kita dalam memaknai hidup tidak terlepas dari makna kewajiban kita sebagai seorang Muslim yang seniman, kepada Sang Khaliq," tuturnya.

Ke-17 seniman adalah Andik Eko, Dian Chrisna, Edy Supriyanto, Ida Fitriyah, Lukman Hakim, Luqman Hidayat, Nabila Dewi Gayatri, Nasar Batati, Ngadiono, Nonot Sukrasmono, Ramadantil, Sigit Handari W, Slamet Riantono, Syamduro, Teddy Sumilang, Toby, dan Wadji MS.



Paradoks Kemerdekaan

Dalam waktu yang hampir sama, Harian Kompas berkolaborasi dengan Museum "House of Sampoerna" (HoS) menyelenggarakan pameran fotografi jurnalistik bertemakan "Paradoks Kemerdekaan Indonesia" di Galeri Seni "HoS" Surabaya pada 10 November 2016 sampai 3 Desember 2016.

"Pameran fotografi jurnalistik `Paradoks Kemerdekaan Indonesia` itu menampilkan 75 potret rekaman paradoks kemerdekaan Indonesia yang saat ini telah mencapai 71 tahun," kata Manajer Museum dan Marketing `HoS` Rani Anggraini.

Potret paradoks itu antara lain ketimpangan pembangunan kewilayahan antara timur dan barat, antara desa dan kota, lebarnya kesenjangan sosial, "social trust" serta tantangan kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi.

"Tema paradoks itu dipilih untuk membuka mata kita bahwa masih banyak pekerjaan rumah pembangunan Bangsa Indonesia yang ada di sekitar kita yang tanpa disadari harus terus diperjuangkan kemerdekaanya," katanya.

Rangkaian foto yang ditampilkan merupakan refleksi atas tantangan bangsa yang harus diselesaikan dengan kemauan dan segenap kemampuan, baik pemerintah maupun rakyat Indonesia, demi menyongsong 100 tahun Indonesia Merdeka.

Ia menambahkan pameran foto itu dimeriahkan dengan Diskusi Foto dengan tema perjuangan pada 3 Desember 2016 bersama pewarta foto senior Harian Kompas Agus Susanto dan Iwan Setiawan.

"Diskusi Fotografi ini mengajak peran masyarakat Surabaya dan sekitarnya untuk turut berkontribusi menyebarkan semangat baik dan positif perjuangan bangsa melalui potret paradoks disekitar kita," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016