Nusa Dua (ANTARA News) - Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengawasi aktivitas dunia maya sebagai antisipasi penyebarluasan paham radikalisme melalui media siber.

"Perkembangan infomasi dan teknologi serta akses internet telah menjadi bahan propaganda terorisme," ujar Wapres JK di sela-sela acara Sidang Umum Interpol, di Nusa Dua, Bali, Senin.

Menurut Wapres, internet kerap dimanfaatkan sebagai wadah untuk menyebarluaskan paham radikalisme.

Keterbukaan akses internet yang luas, dinilai Wapres, kerap dijadikan celah bagi generasi muda untuk mempelajari paham radikal.

Wapres pun berpendapat bahwa saat ini banyak terjadi penyebaran sikap idealisme yang keliru sehingga mengarah ke penyebaran paham radikalisme.

"Internet banyak disalahgunakan. Mereka belajar membuat bom dan peledak dari sana," ujar Wapres.

Oleh karena itu, Wapres menekankan, perlu adanya kerja sama antarnegara untuk bersama-sama memerangi paham radikal dan menindak para pelakunya secara hukum.

Wapres menginginkan adanya kerja sama dalam bidang informasi intelijen yang akurat di setiap negara.

Terorisme menjadi tantangan besar bagi dunia sehingga menuntut Kepolisian Internasional (Interpol) harus melakukan tindakan tegas.

"Saya berharap sidang umum Interpol harus bisa mengekspresikan kepentingan global dalam melindungi masyarakat," kata Wapres.

Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang cukup berhasil memerangi terorisme, menurut Wapres, Indonesia tetap membutuhkan bantuan informasi intelijen dari negara lain sehingga perlu adanya kerja sama antarnegara untuk saling bertukar data terkait jaringan dan para pelaku terorisme.

Sidang Umum Interpol tersebut tidak hanya membahas mengenai penegakan hukum terhadap ancaman kelompok teroris ISIS, tetapi juga pencegahan dan pemberantasan dengan membendung paham radikalisme.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan bahwa sidang umum yang digelar pada 7-10 November 2016 itu membahas kejahatan siber, kejahatan terorganisir dan kejahatan lintas negara, seperti terorisme, perdagangan manusia, penipuan dan penggelapan kartu kredit.


NU Pemain Tunggal
Sementara itu, seorang peneliti dari UGM mengemukakan bahwa saatnya kini bagi umat Islam yang cinta damai, untuk secara serius mencegah dan mengatasi radikalisme agama.

"Jadi inilah saatnya bagi umat Islam yang cinta damai, untuk secara serius mencegah dan mengatasi kecenderungan radikalisme Islam," kata Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadjir Darwin saat ditemui di Kampus Program Doktor Studi Kebijakan UGM di Yogyakarta (30/10).

Menurut dia, Islam moderat adalah satu-satunya pilihan untuk dijaga dan dikembangkan, jika masyarakat Indonesia masih menginginkan negara yang berkarakter multikultural seperti Indonesia ini tetap terjaga.

"Kita masih ingin negara yang berkarakter multikultural seperti Indonesia ini tetap terjaga," ujarnya.

Ia menilai, saat ini ada kecenderungan baru yaitu redupnya politik Islam moderat, dan maraknya politik Islam radikal di panggung politik Indonesia, seperti yang disinyalir oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Sirodj.

Muhadjir melihat NU seperti menjadi pemain tunggal dalam menahan derasnya arus radikalisasi, sebab tidak ada organisasi Islam lain yang seberani NU dalam mempertahankan politik Islam Moderat, dan mengkritisi politik Islam radikal yang sekarang sedang marak dengan bahasa yang tegas dan lugas.

"Muhammadiyah sudah tidak lagi. Dan ini sangat disayangkan. Jika radikalisasi Islam dibiarkan, benar seperti yang dikhawatirkan oleh Said Aqil Sirodj bahwa Indonesia akan terjerembab ke dalam situasi seperti di Balkan atau Timur Tengah. Poso dan Maluku telah mengalaminya".

"Tetapi skalanya masih daerah, belum nasional. Tapi jika itu dibiarkan terjadi di Jakarta, dampaknya akan sangat besar bagi perpolitikan nasional," ungkap Muhadjir.

Ia menambahkan, bahwa Indonesia tidak boleh, dan jangan dibiarkan tercabik-cabik ke dalam konflik agama yang keras, yang dapat memecah belah anak-anak bangsa.

"Kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia terlalu mahal untuk dikorbankan," tutup Guru Besar Fisipol UGM itu. (*)

Pewarta: Anita Permata Dewi

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016