Juba (Antara) - Pertempuran di Sudan Selatan dalam sepekan ini telah menewaskan sedikitnya 60 orang, kata militer, Jumat, hingga menyebarkan kekhawatiran bahwa kawasan itu bisa kembali jatuh ke situasi perang.
Juru bicara Angkatan Darat Lul Ruai Koang menuding para pemberontak telah melakukan aksi "pembakaran warga sipil dan gedung-gedung", mencederai perempuan serta menculik anak-anak".
Kalangan di Angkatan Darat yang setia kepada mantan Wakil Presiden Riek Machar mulai Sabtu lalu hingga Kamis ini telah membunuh 11 tentara pemerintah dan 28 warga sipil, kata Koang dalam pernyataan kepada pers.
Dua puluh satu pemberontak juga tewas, ujarnya.
Juru bicara pihak pemberontak belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Sudan Selatan, negara termuda di dunia, jatuh ke jurang perang saudara pada 2013 setelah Presiden Salva Kiir yang berasal dari suku Dinka, memecat Machar, dari suku Nuer, dari jabatannya sebagai wakil presiden.
Kesepakatan perdamaian yang dicapai pada 2015 kelihatannya berhasil mengakhiri perang, namun perjanjian itu berulang kali dilanggar. Bentrokan-bentrokan sengit terjadi lagi pada Juli.
Machar keluar dari negara itu dan mencari perawatan medis di Afrika Selatan. Posisinya sebagai wakil presiden telah digantikan oleh Jenderal Taban Deng Gai.
Pemerintah menginginkan masyarakat internasional untuk menganggap para pemberontak sebagai teroris dan melakukan tindakan yang bersifat menghukum bagi pemberontak.
Kong mengatakan tindakan yang dimaksud bisa seperti "larangan bepergian, pembekuan aset serta mengekstradisi ke Mahkamah Kejahatan Internasional (di Den Haag) terhadap para pemain kunci, termasuk Riek Machar."
Pada Senin, misi Perserikatan Bangsa-bangsa di Sudan Selatan (UNMISS) mengatakan pihaknya telah menerima laporan soal terjadinya serangan-serangan mengerikan, termasuk pembakaran orang hingga tewas.
UNMISS mendesak kedua pihak bertikai untuk mengendalikan pasukan mereka. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016