Surabaya (Antara Jatim) – Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi menganggap sekolah negeri di Surabaya belum ramah pada anak. Hal itu disebabkan masih banyak sekolah negeri yang masih menggunakan paradigma lama.

Ditemui setelah acara workshop dan seminar pendidikan tentang sekolah ramah anak dan Pembuatan RPP K-13 di SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya, Sabtu, Dia mengatakan hal itu dikarenakan pengajar di sekolah itu rata rata sudah di atas 40 tahun,

“Di sekolah itu masih belum sepenuhnya orang-orang muda yang progresif untuk menerima informasi dan masukan-masukan,” katanya.

Dia mengatakan, para guru di sekolah negeri itu lebih banyak menggunakan pendekatan-pendekatan teoristik seperti yang didapat ketika dia berkuliah. Teori tersebut kemudian  diterapkan ketika mengajar, padahal di dalam kelas itu para guru tersebut berhadapan dengan anak yang berbeda.

“Karena orangnya dia belum mengubah diri, maka di situlah potensi hak anak dan keinginan anak itu belum terakomodasi,” sambungnya.

Untuk menjadi, lajut Martadi sekolah negeri yang ramah anak, seharusnya sekolah betul-betul mengubah paradigma yang selama ini ada. Selama ini sekolah hanya menjadikan anak didiknya sebagai objek, padahal seharusnya menempatkan anak didik sebagai subjek.

Ia menambahkan, ketika anak ditempatkan sebagai subjek didik, maka yang terjadi maka akan dianggap sebagai sebuah pribadi yang harus diakomodasi dan dipertimbangkan keinginan, harapan, potensinya sesuai dengan fitrah mereka.

“Di situlah sekolah harus merancang program-programnya yang berorientasi kepada anak dan melibatkan anak. Karena selama ini, mohon maaf, di SMA pun kalau kita cermati berapa banyak sekolah yang meminta pendapat anak untuk menentukan visi misi program sekolah. Selama ini program sekolah hanya di kepala sekolah,” tegasnya.

Sedangkan untuk menjadikan sekolah ramah anak, setidaknya harus mampu menegakkan beberapa pilar. Yaitu orang tua, sekolah, masyarakat dan ditambah media.

Martadi menegaskan bahwa orang tua punya peran penting dalam mengembangkan pendidikan anak. Demikian juga dengan lingkungan yang seharusnya mengerti anak. Seperti kondisi lingkungan yang tidak menyatakan anak perorangan, namun sudah menjadikan anak sebagai bersama. Sehingga lingkungan punya tanggung jawab terhadap anak anak yang ada.

Lingkungan, kata dia juga bisa menjadi indikator apakah sudah ramah anak atau belum. Di antaranya apakah lingkungan sudah didesain dengan mengakomodasi kepentingan anak atau belum. Demikian juga disekolah, setidaknya apakah sekolah juga sudah mengakomdasi kepentingan dan keinginan anak anak, sehingga mereka merasa betah.

“Kalau anak-anak betah, berarti sekolah sudah mulai ada indikator, ada upaya untuk mengakomodasi keinginan anak,” imbuhnya.

Sementara itu, Andi Mariono, dosen teknologi pendidikan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan bahwa kurikulum 2013 atau yang lebih dikenal dengan K-13 sebenarnya sudah mengarah pada sekolah ramah anak. Pada K-13 sudah melibatkan kemampuan siswa baik secara kognitif maupun psykomotoriknya.

“Tapi tentu saja harus diikuti dengan tata aturan etika, moral, agama. Dan itu bisa dilaksanakan dengan tata aturan yang jelas,” tegasnya.(*)

Pewarta: willy irawan

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016