Jember (Antara Jatim) - Pengamat hubungan internasional Drs Joko Susilo MSi mengatakan perlu adanya kerja sama trilateral antara ketiga negara yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk mengantisipasi adanya perompak yang melakukan penyanderaan di perbatasan perairan negara setempat.
"Perlu dilakukan kerja sama pengamanan menyusul berulangnya penculikan dan penyanderaan terhadap WNI yang menjadi anak buah kapal di perairan Filipina dan Malaysia, terutama oleh kelompok militan Abu Sayyaf," katanya di Jember menanggapi seringnya penyanderaan yang dialami oleh ABK asal Indonesia, Rabu.
Penyanderaan terhadap tiga warga negara Indonesia oleh kelompok bersenjata yang diduga Abu Sayyaf di Perairan Malaysia menambah jumlah WNI yang disandera menjadi sepuluh orang.
"Kerja sama yang dilakukan pemerintah dengan negara-negara tersebut bisa berupa pemberian izin bagi pengamanan kapal yang melintas di perbatasan perairan yang rawan perompak itu, sehingga perlu pengawalan dari TNI untuk setiap kapal yang melintasi perairan Malaysia dan Filipina," tuturnya.
Menurutnya, penyanderaan berulang di perairan Sabah, Malaysia dan Filipina karena jalur tersebut dikenal dengan "jalur neraka" karena rawan perompak dan penyandera tidak hanya bermotif ekonomi, tapi motif politik seiring penyandera adalah pemberontak terhadap pemerintahan yang sah Filipina.
"Kapal dagang Indonesia yang membawa batu bara menjadi sasaran empuk bagi kalangan perompak Abu Sayyaf, sehingga perlu anggota TNI untuk mengawal kapal perusahaan yang melintas di perairan tersebut untuk menghindari kejadian berulang penyanderaan WNI," katanya.
Joko menilai persoalan penyanderaan WNI tidak perlu diangkat dan dibawa ke tingkat ASEAN karena cukup diselesaikan oleh tiga negara yakni Indonesia, Filipina, dan Malaysia dengan membuat nota kesepahaman bersama yang dapat dijadikan acuan ketika ada penyanderaan di perairan perbatasan.
"Upaya pembebasan sandera oleh TNI tidak bisa semudah membalikkan telapan tangan. Apalagi, konstitusi di Filipina melarang keras masuknya angkatan bersenjata negara lain, sehingga solusinya adalah melakukan antisipasi dengan perjanjian trilateral yang ditandatangani Indonesia, Filipina, dan Malaysia," ujarnya.
Sebelumnya Wakil Presiden Yusuf Kalla di Jakarta mengatakan upaya pembebasan sandera secara militer di wilayah Filipina memerlukan proses panjang, namun pilihan tersebut tetap dipertimbangkan.
"Sejauh ini upaya kerja sama antarpemerintah untuk membebaskan WNI yang menjadi sandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf dilakukan dengan koordinasi antara Pemerintah Indonesia dan Filipina," tuturnya.
Ia menegaskan upaya patroli bersama antara TNI dan militer Filipina harus segera direalisasikan. Jika tidak, Filipina sendiri yang akan menderita karena pasokan batu bara ke negara itu menjadi terbatas yang bisa berdampak pada sebagian pasokan listrik di bagian selatan Filipina bisa berhenti.
"Saya mengimbau kepada seluruh pengusaha swasta, yang kapal dan karyawannya dibajak oleh perompak untuk tidak bernegosiasi atau memberikan uang kepada pihak penculik. Upaya permisif yakni dengan membayar tebusan kepada perompak justru akan berdampak pada potensi pembajakan berikutnya," katanya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016