Surabaya (Antara Jatim) - Kejahatan seksual bukan hanya soal kejahatan. Soal inilah yang gagal dipahami secara mendasar dalam melihat kejahatan seksual yang akhir-akhir ini marak.

Sesungguhnya, istilah kejahatan seksual itu terdiri dari dua kata yakni kejahatan dan seksual, namun titik tekan orang selama ini hanya pada kejahatan itu sendiri.

Karena itu, kejahatan seksual yang sudah tergolong "darurat" itu masih hanya dipahami secara sepihak dengan mencari pelaku, korban, standar hukuman, dan perlu-tidaknya diperberat.

Misalnya, kejahatan seksual yang menimpa YY, seorang siswi SMP asal Bengkulu yang meninggal setelah diperkosa oleh 14 orang, yang tujuh di antaranya adalah anak-anak.

Atau, kejadian memilukan yang dialami seorang remaja 18 tahun yang menjadi pekerja pabrik di Tangerang dan meninggal dengan gagang cangkul yang tertancap di alat vitalnya.

Atau, sejumlah anak yang menjadi korban dari bujuk rayu seorang pengusaha sekaligus kontraktor bernama SS.

Anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) itu diiming-imingi sejumlah uang serta dipenuhi kebutuhannya untuk sekadar mau memenuhi nafsu birahi pengusaha itu.

Polrestabes Surabaya juga telah menangkap delapan anak laki-laki dibawah umur yang menjadi pelaku kejahatan seksual terhadap seorang anak perempuan umur 13 tahun, warga Ngagel Kota Surabaya, 10 Mei 2016.

Kasus yang sama juga dilaporkan terjadi di Provinsi Lampung, Manado, dan Gorontalo. Semua kejahatan itu disoroti dalam aspek pelaku, korban, standar hukuman, dan perlu-tidaknya diperberat.

Misalnya, vonis untuk SS di Pengadilan Negeri Kota Kediri yang hanya sembilan tahun penjara dengan denda Rp250 juta subsidair empat bulan tahanan, itu masih dianggap ringan.

Atau, vonis untuk SS di PN Kabupaten Kediri yang juga mencapai 10 tahun dan denda Rp300 juta subsidair lima bulan tahanan, juga masih dianggap tidak sebanding dengan perbuatan dan dampaknya.

Pandangan "tidak sebanding" itu merujuk pada UU Perlindungan Anak yang menerapkan hukuman maksimal yakni 15 tahun plus denda Rp5 miliar.

Bahkan, sejumlah kalangan mengungkapkan jika Indonesia sudah tergolong "darurat kekerasan terhadap perempuan", sehingga perlu hukuman yang setimpal.

Soal "darurat kekerasan terhadap perempuan" itu merujuk data Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2015 mencatat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan atau naik 9 persen dari sebelumnya.

Akhirnya, wacana pun bergulir pada upaya pemerintah untuk membuat draf (rancangan) Perppu Harmonisasi dengan upaya menambah maksimal hukuman penjara selama 20 tahun serta memberikan hukuman pemberatan seumur hidup dan hukuman mati.

Bahkan, Mensos menambah jika korban tidak hanya satu anak, maka pelaku bisa ditambahkan dengan hukuman kebiri kimiawi atau alat deteksi elektronik atau publikasi identitas sang pelaku.

Terlepas dari efektivitas hukuman pada pelaku dan maraknya pemberitaan kejahatan seksual pada segenap penjuru Tanah Air, agaknya solusi (yuridis) masih belumlah cukup, bahkan tetap tidak memadai juga untuk "menghentikan" kejahatan itu.

Selain pemberatan hukuman yang dilakukan aparat penegak hukum atau pendampingan korban yang dilakukan jajaran Kementerian Sosial, agaknya akar masalah dalam kasus itu harus disentuh.
   
Keluarga 43 Persen
Akar masalah dalam kejahatan seksual itu ada pada kata "Seksual". Artinya, bagaimana cara meminimalkan berbagai tindak kejahatan seksual itu?

"Adanya kasus kekerasan serta asusila pada anak, sebagian besar dipengaruhi dari menonton video porno," kata Mensos Khofifah Indar Parawansa dalam kunjungan kerja ke Kediri, beberapa waktu lalu.  

Nah, konten pornografi yang disebut Mensos itulah yang memicu tindakan asusila maupun kekerasan seksual. Hal itu sudah diamatinya sejak menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Hubungan antara konten pornografi serta kekerasan itu didasari oleh fakta bahwa anak-anak saat ini sudah tidak asing dengan berbagai produk komputer," tuturnya.

Kecanggihan teknologi bisa lebih mudah bagi anak-anak untuk bisa mengakses berbagai konten, termasuk lewat telepon seluler.

"Saya tidak lakukan analisa, tapi saya punya data. Dari data yang saya dapat tahun 2000, ketika anak-anak mengakses konten video porno, maka 67-70 persen itu potensial 'addict' (kecanduan)," katanya.

Dampaknya juga bisa lebih jauh, ketika anak-anak sudah kecanduan menonton konten porno, maka akan menganggap hal yang semula tabu menjadi biasa. Bahkan, yang lebih parah, 39-49 persen potensial untuk ikut menirukan.

Dalam konteks inilah, Mensos menilai peran keluarga sangat penting untuk lebih mengawasi atau melakukan pendampingan anak-anaknya.

"Dengan menjadi sahabat, sehingga anak-anak pun akan merasa lebih nyaman berada di lingkungan keluarga, dan justru bukan lebih nyaman berada di lingkungan teman," ucapnya.

Peran lain keluarga yang juga vital adalah menanamkan pendidikan agama sejak dini. "Dengan pendidikan agama, anak pun diharapkan mempunyai akhlak yang lebih baik," ujarnya.

Satu lagi yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan reproduksi. Selama ini, sekolah hanya mengajarkan soal seksual secara biologis, misalnya bentuk dan organ reproduksi.

Namun, pemahaman anak terkait bagian yang tidak boleh disentuh maupun yang boleh disentuh justru tidak diajarkan, karena itu orang tua juga dapat memainkan peran yang belum dilakukan sekolah itu.

Bahkan, kata mantan Mendikbud Mohammad Nuh saat berbicara dalam seminar "Peran Guru BK dalam Mengatasi Penyalahgunaan IT" di Unusa (14/5/2016), orang tua/keluarga dapat bersinergi dengan sekolah (guru BK/Bimbingan Konseling) guna mengantisipasi kejahatan seksual itu.

Jadi, ada tiga pihak yang berperan dalam membentuk karakter anak-anak yang mendapat tantangan berat dari kemajuan teknologi yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan, bahkan peran keluarga tidaklah kecil.

Peran sekolah yang selama ini dianggap besar, ternyata sama besarnya dengan peran keluarga, karena anak muda ideal itu memiliki tiga karakter yakni intelektual, agama, dan pribadi.

Karakter intelektual itu dibentuk oleh sekolah dan orang tua (dua pihak), lalu karakter agama juga dibentuk sekolah dan orang tua (dua pihak), sedangkan karakter pribadi itu dibentuk oleh sekolah, orang tua, dan lingkungan (tiga pihak).

Artinya, peran sekolah itu tiga kali (intelektual, agama, karakter pribadi), peran orang tua juga tiga kali (intelektual, agama, karakter pribadi), dan peran lingkungan hanya satu kali (karakter pribadi). Jadi, peran sekolah : keluarga : pribadi adalah 3 : 3 : 1 (43 persen  : 43 persen : 14  persen).

Oleh karena itu, jangan salahkan anak-anak yang bisa terpapar kondisi "darurat kejahatan seksual", "darurat karakter", atau "darurat penyalahgunaan IT" tanpa pendampingan dari waktu ke waktu, bila keluarga belum memiliki peran 43 persen!. (*)

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016