Situbondo (Antara Jatim) - Konflik antara nelayan tradisional dan nelayan modern seringkali terjadi di Situbondo, Jawa Timur, Mulai dari permasalahan zona penangkapan ikan nelayan tradisonal dan modern, hingga persoalan pembelian bahan bakar solar nelayan yang dibatasi karena harus mendapat rekomendasi dari dinas terkait.
Pada Kamis (12/5) sejumlah nelayan mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Situbondo. Perwakilan nelayan asal Desa/Kecamatan Jangkar itu mengadu tentang kesulitan memperoleh solar karena harus menggunakan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.
"Kami sebagai perwakilan nelayan dari Desa Jangkar datang ke Komisi II DPRD Situbondo untuk mengadukan permasalahan yang selama ini sering terjadi di kalangan nelayan. Oleh karena itu kami menyampaikan aspirasi kami kepada anggota dewan agar dapat membantu mencari jalan keluar permasalahan ini," ujar Tokoh Nelayan asal Desa/ Kecamatan Jangkar, Situbondo, Agus Jumariyanto.
Ia mengemukakan sebenarnya setuju dengan adanya rekomendasi untuk membeli solar bersubsidi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Situbondo. Akan tetapi rekomendasi tersebut seharusnya bisa memenuhi kebutuhan para nelayan untuk melaut.
Menurutnya, rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui dinas terkait, selama ini belum bisa mengakomodir kebutuhan nelayan. Karena ada sebagian besar nelayan yang membutuhkan solar melebihi dari yang ditentukan dari rekomendasi pemerintah.
"Kami melaut terkadang tiga hari tiga malam, sementara pembelian solar dibatasi sehari 50 liter bagi nelayan tradisional, untuk nelayan modern juga dibatasi 100 hingga 150 liter per hari. Padahal nelayan melaut tidak menentu, masak harus kembali ke darat untuk membeli solar lagi," tuturnya.
Tidak hanya pembatasan rekomendasi mendapatkan Solar, kata Agus, akibat membeli solar melebihi dari rekom itu, banyak nelayan ditangkap oleh polisi setempat karena melebihi rekomendasi yang sudah ditetapkan oleh dinas terkait.
“Nelayan Desa Jangkar sudah ada tiga orang yang terjerat hukum lantaran membeli solar melebihi dari rekomendasi. Saya sangat prihatin nelayan yang hidupnya bergantung pada laut dengan mencari ikan susah payah, justru hanya membeli solar untuk mesin perahunya ditangkap. Hal ini harus ada solusi dari pemerintah," kata Ketua Koperasi Unit Desa Mina Harta Desa/ Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo itu.
Selain kesulitan memperoleh solar, dia juga mengeluhkan tidak adanya rambu-rambu di zona penangkapan ikan yang menjadi pembatas tangkap ikan bagi nelayan tradisional dan modern. Karena hal tersebut kerapkali memicu terjadinya konflik antarnelayan.
"Memang peraturannya sudah jelas, tapi rambu-rambunya di laut tidak ada. Nelayan modern sering ditangkap karena menangkap ikan pada zona satu yang seharusnya zona tersebut areal tangkapan ikan nelayan tradisional," paparnya.
Ia menyampaikan bahwa selama ini nelayan tradisional dan modern sering bentrok karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait pembagian zona penangkapan ikan.
"Nelayan modern kan hanya peralatan menangkap ikannya yang modern, tapi untuk zona tangkapan ikan mereka tidak tahu. Makanya pemerintah harus memasang rambu-rambu di zona satu dan dua," ujarnya.
Sementara Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Situbondo Janur Sastra Ananda mengatakan berjanji kepada perwakilan nelayan untuk menindaklanjuti apa yang menjadi permasalahan masyarakat nelayan. Pihaknya akan segera mempertemukan nelayan dengan pihak-hak terkait untuk menemukan solusinya.
"Kita akan segera memanggil Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perdagangan, Bagian Ekonomi, dan Polres Situbondo, selaku aparat keamanan. Dengan kepolisian kita juga akan mencari solusi bagaimana permasalahan ini bisa ditindaklanjuti, karena sudah banyak nelayan ditangkap akibat membeli solar melebihi dari jumlah rekomendasi maupun karena menangkap ikan di zona larangan bagi nelayan modern," katanya.
Sementara Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Eko Prayudi mengatakan bahwa rekomendasi pembelian solar bagi nelayan sudah dilakukan survei sebelumnya terkait kebutuhan bahan bakar untuk melaut per hari.
“Nelayan mengajukan ke kami melalui UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, dan rekomendasi pembelian solar sudah sesuai yang dibutuhkan masing-masing perahu nelayan tradisonal maupun modern," katanya.
Ia juga menyampaikan jika dalam rekomendasi pembelian bahan bakar perahu nelayan masih kurang, nelayan bisa langsung mengajukan ke UPTD DKP setempat.
"Nelayan sebenarnya juga bisa sekaligus membeli bahan bakar solar melebihi dari rekomendasi asal melakukan pemberitahun terlebih dahulu. Misalnya dalam rekomendasi 50 liter solar, kalau mau melaut tiga hari bisa langsung membeli 150 liter sekaligus untuk tiga hari," ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa (10/5), konflik antara nelayan tradisonal dan modern nyaris terjadi karena nelayan modern menangkap ikan di zona satu. Nelayan Desa Tanjungkamal, Kecamatan Mangaran, memprotes ulah nelayan perahu gardan asal Kecamatan Jangkar karena dinilai telah merusak rumpon ikan milik mereka.
Beruntung, Satuan Polisi Air dan Udara (Satpol Airud) Polres Situbondo langsung turun tangan. Untuk meredakan konflik antarnelayan itu Satpol Airud juga langsung mengamankan kedua belah pihak ke kantor Polres setempat.
Konflik antarnelayan itu, sebenarnya dipicu masalah klasik yaitu zona tangkap ikan. Nelayan perahu gardan asal Jangkar dituding telah merusak rumpon ikan, karena menangkap ikan di sekitar rumpon ikan milik nelayan tradisonal di Kecamatan Mangaran.
Ada empat perahu gardan yang disebut-sebut menangkap ikan di kawasan rumpon ikan. Bahkan salah satu jaring perahu gardan tak bisa diangkat ke atas perahu karena menyangkut rumpon ikan.
Menurut Tolak, salah satu nelayan Mangaran, dirinya bersama pemilik rumpon lainnya protes karena rumpon mereka rusak terkena jaring nelayan berperahu gardan. Tolak menambahkan, dirinya memiliki enam rumpon ikan dan tiga di antaranya rusak karena terkena jaring perahu gardan.
Untuk membuat rumpon ikan, kata Tolak, membutuhkan biaya cukup besar. Setiap rumpon diperkirakan menghabiskan dana Rp3 juta hingga Rp5 juta. Apalagi rumpon miliknya sudah berusia 4 tahun, sehingga cukup bagus menjadi tempat perkembangbiakan ikan.
Tolak juga berharap Dinas Kelautan dan Perikanan Situbondo, dapat melindungi nelayan kecil atau tradisional dengan mempertegas aturan zona tangkap ikan dan perlu diberikan rambu-rambu zona penangkapan ikan.
Salah satu nelayan modern asal Desa/Kecamatan Jangkar Arnamo mengaku tidak tahu batas-batas atau zona tangkap ikan bagi perahu gardan yang menggunakan alat tangkap jaring tersebut.
"Saya tidak tahu batasnya dimana, karena tidak ada tandanya atau rambu-rambu untuk kami. Kalau hitungan mil saya tidak paham," katanya.
Sementara Kasubag Humas Polres Situbondo Ipda Pol Nanang Priambodo mengatakan kedua belah pihak sudah sama-sama dimintai keterangan terkait nyaris terjadinya bentrok itu. Petugas berjanji akan menyelesaikan perselisihan para nelayan itu secara kekeluargaan.
Melihat bentrok nelayan tradisional dan nelayan modern yang selama ini sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, agaknya pemerintah perlu benar-benar serius menangani permasalahan itu.
Penegasan zona tangkapan ikan antara nelayan tradisonal dan modern dirasa penting agar bentrok antarnelayan tidak lagi terjadi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016
Pada Kamis (12/5) sejumlah nelayan mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Situbondo. Perwakilan nelayan asal Desa/Kecamatan Jangkar itu mengadu tentang kesulitan memperoleh solar karena harus menggunakan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo.
"Kami sebagai perwakilan nelayan dari Desa Jangkar datang ke Komisi II DPRD Situbondo untuk mengadukan permasalahan yang selama ini sering terjadi di kalangan nelayan. Oleh karena itu kami menyampaikan aspirasi kami kepada anggota dewan agar dapat membantu mencari jalan keluar permasalahan ini," ujar Tokoh Nelayan asal Desa/ Kecamatan Jangkar, Situbondo, Agus Jumariyanto.
Ia mengemukakan sebenarnya setuju dengan adanya rekomendasi untuk membeli solar bersubsidi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Situbondo. Akan tetapi rekomendasi tersebut seharusnya bisa memenuhi kebutuhan para nelayan untuk melaut.
Menurutnya, rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui dinas terkait, selama ini belum bisa mengakomodir kebutuhan nelayan. Karena ada sebagian besar nelayan yang membutuhkan solar melebihi dari yang ditentukan dari rekomendasi pemerintah.
"Kami melaut terkadang tiga hari tiga malam, sementara pembelian solar dibatasi sehari 50 liter bagi nelayan tradisional, untuk nelayan modern juga dibatasi 100 hingga 150 liter per hari. Padahal nelayan melaut tidak menentu, masak harus kembali ke darat untuk membeli solar lagi," tuturnya.
Tidak hanya pembatasan rekomendasi mendapatkan Solar, kata Agus, akibat membeli solar melebihi dari rekom itu, banyak nelayan ditangkap oleh polisi setempat karena melebihi rekomendasi yang sudah ditetapkan oleh dinas terkait.
“Nelayan Desa Jangkar sudah ada tiga orang yang terjerat hukum lantaran membeli solar melebihi dari rekomendasi. Saya sangat prihatin nelayan yang hidupnya bergantung pada laut dengan mencari ikan susah payah, justru hanya membeli solar untuk mesin perahunya ditangkap. Hal ini harus ada solusi dari pemerintah," kata Ketua Koperasi Unit Desa Mina Harta Desa/ Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo itu.
Selain kesulitan memperoleh solar, dia juga mengeluhkan tidak adanya rambu-rambu di zona penangkapan ikan yang menjadi pembatas tangkap ikan bagi nelayan tradisional dan modern. Karena hal tersebut kerapkali memicu terjadinya konflik antarnelayan.
"Memang peraturannya sudah jelas, tapi rambu-rambunya di laut tidak ada. Nelayan modern sering ditangkap karena menangkap ikan pada zona satu yang seharusnya zona tersebut areal tangkapan ikan nelayan tradisional," paparnya.
Ia menyampaikan bahwa selama ini nelayan tradisional dan modern sering bentrok karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait pembagian zona penangkapan ikan.
"Nelayan modern kan hanya peralatan menangkap ikannya yang modern, tapi untuk zona tangkapan ikan mereka tidak tahu. Makanya pemerintah harus memasang rambu-rambu di zona satu dan dua," ujarnya.
Sementara Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Situbondo Janur Sastra Ananda mengatakan berjanji kepada perwakilan nelayan untuk menindaklanjuti apa yang menjadi permasalahan masyarakat nelayan. Pihaknya akan segera mempertemukan nelayan dengan pihak-hak terkait untuk menemukan solusinya.
"Kita akan segera memanggil Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perdagangan, Bagian Ekonomi, dan Polres Situbondo, selaku aparat keamanan. Dengan kepolisian kita juga akan mencari solusi bagaimana permasalahan ini bisa ditindaklanjuti, karena sudah banyak nelayan ditangkap akibat membeli solar melebihi dari jumlah rekomendasi maupun karena menangkap ikan di zona larangan bagi nelayan modern," katanya.
Sementara Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo Eko Prayudi mengatakan bahwa rekomendasi pembelian solar bagi nelayan sudah dilakukan survei sebelumnya terkait kebutuhan bahan bakar untuk melaut per hari.
“Nelayan mengajukan ke kami melalui UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, dan rekomendasi pembelian solar sudah sesuai yang dibutuhkan masing-masing perahu nelayan tradisonal maupun modern," katanya.
Ia juga menyampaikan jika dalam rekomendasi pembelian bahan bakar perahu nelayan masih kurang, nelayan bisa langsung mengajukan ke UPTD DKP setempat.
"Nelayan sebenarnya juga bisa sekaligus membeli bahan bakar solar melebihi dari rekomendasi asal melakukan pemberitahun terlebih dahulu. Misalnya dalam rekomendasi 50 liter solar, kalau mau melaut tiga hari bisa langsung membeli 150 liter sekaligus untuk tiga hari," ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa (10/5), konflik antara nelayan tradisonal dan modern nyaris terjadi karena nelayan modern menangkap ikan di zona satu. Nelayan Desa Tanjungkamal, Kecamatan Mangaran, memprotes ulah nelayan perahu gardan asal Kecamatan Jangkar karena dinilai telah merusak rumpon ikan milik mereka.
Beruntung, Satuan Polisi Air dan Udara (Satpol Airud) Polres Situbondo langsung turun tangan. Untuk meredakan konflik antarnelayan itu Satpol Airud juga langsung mengamankan kedua belah pihak ke kantor Polres setempat.
Konflik antarnelayan itu, sebenarnya dipicu masalah klasik yaitu zona tangkap ikan. Nelayan perahu gardan asal Jangkar dituding telah merusak rumpon ikan, karena menangkap ikan di sekitar rumpon ikan milik nelayan tradisonal di Kecamatan Mangaran.
Ada empat perahu gardan yang disebut-sebut menangkap ikan di kawasan rumpon ikan. Bahkan salah satu jaring perahu gardan tak bisa diangkat ke atas perahu karena menyangkut rumpon ikan.
Menurut Tolak, salah satu nelayan Mangaran, dirinya bersama pemilik rumpon lainnya protes karena rumpon mereka rusak terkena jaring nelayan berperahu gardan. Tolak menambahkan, dirinya memiliki enam rumpon ikan dan tiga di antaranya rusak karena terkena jaring perahu gardan.
Untuk membuat rumpon ikan, kata Tolak, membutuhkan biaya cukup besar. Setiap rumpon diperkirakan menghabiskan dana Rp3 juta hingga Rp5 juta. Apalagi rumpon miliknya sudah berusia 4 tahun, sehingga cukup bagus menjadi tempat perkembangbiakan ikan.
Tolak juga berharap Dinas Kelautan dan Perikanan Situbondo, dapat melindungi nelayan kecil atau tradisional dengan mempertegas aturan zona tangkap ikan dan perlu diberikan rambu-rambu zona penangkapan ikan.
Salah satu nelayan modern asal Desa/Kecamatan Jangkar Arnamo mengaku tidak tahu batas-batas atau zona tangkap ikan bagi perahu gardan yang menggunakan alat tangkap jaring tersebut.
"Saya tidak tahu batasnya dimana, karena tidak ada tandanya atau rambu-rambu untuk kami. Kalau hitungan mil saya tidak paham," katanya.
Sementara Kasubag Humas Polres Situbondo Ipda Pol Nanang Priambodo mengatakan kedua belah pihak sudah sama-sama dimintai keterangan terkait nyaris terjadinya bentrok itu. Petugas berjanji akan menyelesaikan perselisihan para nelayan itu secara kekeluargaan.
Melihat bentrok nelayan tradisional dan nelayan modern yang selama ini sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, agaknya pemerintah perlu benar-benar serius menangani permasalahan itu.
Penegasan zona tangkapan ikan antara nelayan tradisonal dan modern dirasa penting agar bentrok antarnelayan tidak lagi terjadi. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016